Kisah Cak Nur Naik Haji, Semua Sama di Hadapan-Nya

Kisah Cak Nur Naik Haji, Semua Sama di Hadapan-Nya

Kisah Cak Nur Naik Haji, Semua Sama di Hadapan-Nya

pengalaman ibadah haji ? Pengalaman haji bagi saya sangat pribadi sekali sifatnya. Saya naik haji pertama tahun 1969. Tetapi sebelumnya saya pernah umrah pada tahun 1968. Kesan pertama saya naik haji, ya terang , muncul perasaan khusus karena berada di tempat yang selama ini menjadi titik orientasi setiap perbuatan kita. Kita shalat menghadap kesana. Nabi lahir di sana dan Al-Quran lahir disana, dsb. Dan setiap hari kita mengarahkan wajah dan pikiran kita ke sana. Atau state of mind kita tertuju ke sana, ke Makah. Maka kita melihat tempat itu dengan sendirinya hati bisa tersentuh sekali. Seolah – olah kita menyaksikan pusat dari etos kita dan makna hidup kita. Apalagi Ka’bah merupakan orientasi kesatuan seluruh umat Islam di dunia. Sehingga variasi dan refleksinya macam – macam, misalnya banyak yang terharu, menangis , dll.

Banyak orang waktu beribadah haji mendapatkan pengalaman metafisis. Hal itu terjadi karena memang Ka’bah dan sekitarnya merupkan tempat spiritualitas yang sifatnya ritual atau keagamaan, yang juga menyangkut hubungan sosial. Memang wujudnya macam – macam, termasuk bagaimana jual beli menurut orang Arab. Kok orang Arab itu kasar sekali dan lain sebagainya. Bagi yang tidak memahaminya mungkin akan kecewa sekali. Tetapi kalau kita memahami mungkin kita bisa menghargai. Bagaimana cara berbicara dengan orang yang ada di sana baik dari gaya dan dialeknya yang begitu variatif. Karena pengaruh Islam yang kuat sebagai agama generic, orang Arab umumnya memiliki prinsip “persamaan umat’’ bahwa manusia sebenarnya sama.

Di sana tidak ada hierarki dan batasan. Seseorang sopir misalkan bisa saja bicara kepada polisi dengan sekeras – kerasnya. Dan di sana polisi tidak tersinggung. Berbeda dengan di sini. Di sana mulut orang bisa berbicara saling keras, tetapi tidak terjadi bentrok fisik karena hukumannya secara langsung. Karena prinsip persamaan manusia itulah maka maka tempat suci di sana, apa itu Multazam,  Makam Ibrahim, Hijir Ismail, dsb. Terbuka di semua orang . Kita juga bisa mencium Hajar Aswad , seperti orang lain bisa. Jadi sama sekali idak ada perbedaan.

Beda dengan tempat suci orang Hindu misalnya, di kota suci Benares, India, sebagai  misal, kasta rendah tidak bisa masuk, mungkin hanya bisa melihat dari jauh. Tetapi bagi kasta tinggi boleh masuk secara bebas. Dan kasta rendah hanya bisa mengharapkan belas kasih daroi kasta yang lebih tinggidan bisa masuk Benares dengan tunduk dan cium kaki, misalnya. Karena itu kalau di Makah orang tidak mengert realitas umat Islam dan ajarannya, akan kecewa sekali misalnya, kita bisa berdampingan dengan orang yang bau badannya dan tidak karuan karena mungkin tidak pernah mandi atau karena datang dari jauh dengan jalan kaki. Dan mungkin miskin sekali waktu di Tanah Suci tidur di sembarang tempat. Dahulu tahun 1969 / 1968 suasana seperti itu terasa sekali. Sekarang mungkin suasananya suadah lain dank arena tingakt kemakmuran umat Islam sudah lebih tinggi atau btelah maju kehidupannya. Dulu terasa sekali, kekurangan umat Islam. Sekarang umat Islam sudah banyak yang mengerti bahwa bagaimanapun mereka bisa melihat atau hadir secara langsung di rumah Tuan. Makanya kiswah Ka’bah di gantungkan engan demikian agar tidak terjangkau tangan karena kiswah itu sering di gantungi oleh para jamaah. Mereka memilki kegirangan dan kepuasan secara batin karena bisa bertemu langsung dengan rumah Allah.

*) Umi Hani, mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon

**) Disarikan dari buku Haji Sebuah Perjalanan Air Mata (Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh), Mustofa W. Hasyim & Ahmad Munif, (Yogyakarta: Bentang, 1993)