Khansa’ binti Khadzam al-Anshari merupakan sosok perempuan yang hidup di zaman Rasulullah SAW. Ia berasal dari keturunan Bani Amr bin Auf bin Aus. Ketika masih belia, Khansa’ pernah bertemu dengan Rasulullah SAW saat datang ke Madinah. Khansa’ juga salah seorang shabiyah yang juga meriwayatkan beberapa hadis dari Rasulullah SAW. Dalam kisahnya, ia pernah menolak perjodohan dari orang-tuanya.
Khansa’ binti Khadzam adalah perempuan yang menjadi korban pernikahan paksa oleh ayahnya, karena dinikahkan dengan lelaki yang tidak diinginkannya. Pada waktu itu, ada dua laki-laki yang melamar Khansa’ Binti Khadzam. Pertama, Abu Lubabah bin Abdul Mundzir, salah seorang pahlawan pejuang dan sahabat Nabi SAW. Kedua, seorang laki-laki dari Bani Amr bin Auf, yang masih kerabatnya sendiri.
Khansa’ sejatinya lebih tertarik pada Abu lubabah, sedangkan ayahnya lebih tertarik kepada laki-laki yang masih ada hubungan kerabat dengannya. Sehingga akhirnya Khansa’ dinikahkan dengan anak pamannya tersebut. Setelah kejadian tersebut, Khansa’ menemui Rasulullah SAW sambil berkata; “Sesungguhnya bapak saya telah memaksa saya untuk menikah dengan orang yang diinginkannya, sedangkan saya tidak mau”.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda; “Tidak ada nikah dengannya, menikahlah dengan orang yang kamu cintai”. Kemudian Khansa’ menikah dengan Abu Lubabah. Dalam riwayat ini, para ahli hadis berselisih pendapat tentang status Khansa’ ketika menikah dengan Abu Lubabah, apakah masih perawan atau janda, karena ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Khansa’ sudah menikah dengan lelaki yang masih ada hubungan kerabatnya lalu bercerai.
Dalam kitab Al-Mabsuth, terdapat riwayat lain terkait kalimat yang diucapkan Khansa’ ketika menghadap Rasulullah SAW, “Sesungguhnya bapak saya memaksa saya menikah dengan keponakannya”. Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Laksanakan saja yang dimaui bapakmu.” Kemudian Khansa’ mengatakan kembali kepada Rasulullah SAW, “Saya tidak suka denga hal tersebut.” Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Kalau begitu, pergilah dan nikahlah kamu dengan orang yang kamu sukai.”
Dari kisah di atas menunjukkan bahwa sebuah pernikahan tidak boleh ada paksaan. Maka janga heran jika menemukan seorang perempuan yang menentang kesewenang-wenangan yang dia terima dari keluarganya atau walinya soal jodoh dan pernikahan.
Menyepelekan pendapat anak dan menikahkannya dengan orang yang tidak sehati karena tidak cinta, apalagi jika hanya karena materi dan harta, adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Perempuan dalam Islam diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan kebebasan dalam memilih pasangan hidup dan lain sebagainya.
Perempuan mempunyai hak dalam memilih pasangannya, dan mempunyai prioritas dalam menentukan pilihan. Rasulullah SAW yang dimintai pendapat tentang masalah tersebut juga tidak serta merta menyalahkan orang-tua Khansa’, juga tidak memaksa Khansa’ agar memenuhi permintaan orang tuanya.
Tetapi Rasulullah SAW memberikan sebuah pilihan kepada Khansa’ sebagai orang yang akan menjalani hidupnya sendiri dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.
Dalam kitab Nisa’ Haula Rasul, Khansa’ mengungkapkan kekecewaannya yang kurang lebih sebagai berikut, “Wahai ayahku, engkau telah menyiksaku dan membebankan kepadaku suatu beban yang berat. Engkau antarkan diriku kepada orang yang memandang rendah diriku”.
“Wahai ayahku, kalau bukan karena kegundahan yang begitu menghimpitku, aku tidak memohon kepadamu untuk melepaskan darinya. Alangkah anehnya seorang perawan cantik yang gaunnya ditarik untuk disandingkan denga orang tua dari suatu kaum. Pria tua tersebut mengatakan kepadanya bahwa dia mempunyai tali kerabat, maka celakalah buat anak paman, baik dari ayah maupun ibu”.
Walaupun begitu, Rasulullah SAW tetap memberikan saran agar mengutamakan untuk menuruti bapaknya terlebih dahulu, sebagai wujud bakti anak kepada orang tuanya. Akan tetapi dalam urusan perjodohan, bakti juga ada batasnya, yaitu kebahagiaan sang anak itu sendiri. Bila bakti harus mengorbankan perasaan sang anak, Rasulullah SAW menyarankan untuk menikah dengan seseorang yang mampu membuat hati tentram.
Wallahu A’lam.