Kenapa Sistem Zonasi Bermasalah dan Masalah Serius Paradigma Sekolah Favorit

Kenapa Sistem Zonasi Bermasalah dan Masalah Serius Paradigma Sekolah Favorit

Sistem PPDB lewat zonasi bermasalah, lantas apa masalahnya? Tulisan ini coba mengulik kembali permasalahan itu

Kenapa Sistem Zonasi Bermasalah dan Masalah Serius Paradigma Sekolah Favorit
Potret siswa sekolah.

Jika pada bulan September kita sering melihat perdebatan isu PKI, maka Juni hingga Juli umumnya kita jumpai tulisan tentang sengkarut PPDB, terutama terkait sistem zonasi. Dan, tahun ini, banyak sekali masalah yang muncul ke permukaan.

Sistem zonasi adalah sistem penerimaan siswa yang mendasarkan kriteria penerimaan tidak hanya nilai, namun juga pada kriteria lain seperti jarak tempat tinggal. Sistem zonasi sebenarnya tidak hanya ada Indonesia, negera negara seperti australia, prancis, dan amerika juga menggunakan sistem ini.

Zonasi di Indonesia bertujuan untuk menghapus praktek pemalsuan nilai peserta didik, praktek jual beli kursi di sekolah yang diunggulkan, serta menghapuskan kastanisasi sekolah favorit dan non-favorit, kata Muhadjir selaku Menko PMK dalam sebuah wawancara.

Namun, seringkali sistem ini dicurangi dengan mengubah Kartu Keluarga (KK). Orang tua yang ingin memasukkan anaknya di satu sekolah, mengganti keterangan tempat tinggal. Mengapa sampai rela usaha begitu? Yak benar, masih ada sisa-sisa status sekolah favorit di benak orang tua. Mungkin perlu kita akui, strata memanglah ada. Tidak serta merta setara.

Katakanlah sistem zonasi sendiri bermasalah, karena kurangnya pengetatan di bidang pendataan penduduk. Namun, sebenarnya apa masalah mendasarnya? Mengapa kebijakan yang bertujuan mulia ini tidak dapat lancar dilaksanakan?

Dalam praktiknya, kecurangan demi kecurangan dilakukan oknum orang tua agar anak bisa masuk ke sekolah yang dulunya dianggap favorit. Tidak hanya di Indonesia, di Australia yang juga menggunakan sistem zonasi, praktik serupa juga terjadi.

“Banyak keluarga yang hanya menyewa apartemen yang masuk dalam zona sekolah tersebut. Karena harga untuk membeli properti di daerah ini lebih mahal dibandingkan daerah lain yang tidak memiliki sekolah publik dengan nilai akademik yang baik,” kata Rizka, seorang WNI yang menyekolahkan anaknya di australia dalam sebuah wawancara.

Saya pikir, ini bukan masalah yang bisa diselesaikan secara administrasi atau aturan, ini adalah sebuah perubahan paradigma yang memang perlu waktu.

Asumsi saya, mengapa sekolah favorit begitu dielu-elukan, tak lepas dari anggapan bahwa sekolah menjadi faktor penentu utama untuk kesuksesan anak. Lebih detail, hal ini terkait dengan beberapa faktor seperti kualitas sekolah, jejaring sosial, dan status sosial.

Kualitas sekolah biasanya dilihat dari dua hal, fasilitas dan nilai rata-rata atau prestasi anak yang bersekolah di sana.

Maka tak heran, saat sekolah memasuki musim PPDB dan membuat brosur, yang sering ditampilkan adalah fasilitas yang didapat dan prestasi yang dicapai siswa sebelumnya. Padahal berbicara tentang kualitas, narasinya tidak tunggal. Setidak-tidaknya, kualitas dapat dilihat dari kepemimpnan kepala sekolah, budaya intelektual yang dibangun, kurikulum yang kontekstual, sistem perencanaan yang matang, hingga komunitas sekolah yang mendukung (menurut Kemendikbud). Poin-poin yang tidak seksi digunakan untuk ‘jualan’ sekolah.

Belum lagi bicara tentang faktor lain seperti jejaring sosial, hal ini menjadi pertimbangan umum yang dilakukan oleh orang tua. Seorang teman, misalnya, memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang mahal padahal ia berpenghasilan pas-pasan.

Ia tengah mencoba untuk merangsek masuk ke dalam komunitas orang tua yang dikenal tajir di komunitas itu. Harapannya, ia bisa memasukkan barang-barangnya ke dalam jejaring bisnis yang dimiliki orang tua lain.

Jadi, masuk sekolah tertentu adalah upaya untuk memperkuat basis sosial dan ekonomi seseorang. Ia percaya bahwa faktor penentu kesuksesan seseorang adalah jaringan.

Hal ini juga berkorelasi dengan aspek nomor 3, yaitu status sosial. Orang ketika masuk ke dalam sekolah tertentu, berarti ia sedang menambahkan atau menunjukkan bahwa ia bagian dari komunitas sosial tertentu. Misalnya, orang masuk ke sekolah A karena ia tahu, bahwa masyarakat menganggap bahwa masuk sekolah A adalah sekolahnya orang-orang tertentu, pejabat misalnya.

Kembali lagi ke zonasi, zonasi sebenarnya punya tujuan mulia untuk menghapuskan sekat-sekat ini secara perlahan. Sebuah upaya mengantisipasi fenomena segregasi yang dalam bahasa Romo Mangun disebut dengan “Darwinisme sosial”, dalam arti bahwa orang-orang yang punya kemampuan untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah mahal akan berkumpul dengan orang-orang serupa, sebaliknya, orang-orang yang punya kemampuan finansial rendah akan berkumpul di sekolah yang berkemampuan finansial rendah.

Semakin lama, jurang akan semakin jauh dan yang kuat akan memakan yang lemah. Namun mungkin asumsi ini agak ekstrem. Coba kita perhalus, kita ganti kemampuan finansial dengan kemampuan akademik. Anak yang berkemampuan akademik bagus akan berkumpul dengan anak yang berkemampuan akademik bagus juga karena mereka disaring dengan instrumen yang sama yang membuat orang-orang yang tidak berkemampuan akademik bagus tidak lolos.

Sehingga, sekolah ini, yang isinya anak-anak pintar semua. Semakin cepat melaju dan menorehkan prestasi. Karena banyak prestasi, maka kepercayaan publik semakin naik. Jadilah satu sebutan yang kita sebut sebagai sekolah favorit, yang dibangun, sepertinya, bukan karena gurunya yang bagus-bagus, tapi memang murid-muridnya sudah ‘bagus’ dalam artian akademik.

Satu pandangan yang sebenarnya sudah usang, di saat dunia mulai mengenal konsep Kecerdasan Ganda (multiple intelligence) yang mengakui bahwa setiap orang punya kecerdasannya sendiri-sendiri.