Hari selasa lalu (21/6/2022), terjadi tindakan diskriminasi dan persekusi terhadap penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung (Laroma) di desa Tondei Dua Jaga II, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Seperti yang dikutip oleh situs palakat.id, aksi brutal itu mengkoyak bangunan Wale Paliusan (rumah pertemuan penghayat Laroma).
Tindakan anarkis itu dimulai sekitar pukul 10 pagi oleh seseorang berinisial FL alisan Kengki. Dia mulai menghancurkan dinding rumah bagian belakang, kemudian samping dan depan. Tidak puas, dia kemudian menghancurkan pintu dan seluruh isi rumah. Hal itu membuat GL, anak berumur 9 tahun yang berada di dalam rumah, merasa tertekan ketika puing-puing dinding rumah berhamburan di atas meja makan.
Sementara itu dua orang menyusul datang di tempat itu, FS alias Endi dan YS alias Yonce, mereka langsung melakukan intimidasi dengan berbagai tuduhan sesat, penyembah berhala kepada orang-orang yang berada di tempat itu. Seperti yang dilaporkan palakat.id, Irma Sual, anak dari pemilik rumah, sempat bertanya mengenai sumber informasi macam-macam tuduhan itu, dan katanya menurut Yonce sumber informasi itu hanya didapat dari cerita-cerita orang alias desas desus.
Laroma merupakan organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYE) yang resmi terdaftar di Direktorat Kepercayaan Terhadap TYE dan Masyarakat Adat Indonesia.
Suhari, S. Sos, Kepala Kelompok Kerja (Kapokja) Kepercayaan terhadap TYE mengatakan, dikutip oleh suluthebat.com, bahwa organisasi kepercayaan berikut dengan ajaran kepercayaannya adalah pelestari budaya spiritual bangsa Indonesia. Menjaga ajaran kepercayaan ini berarti turut melestarikan pemajuan kebudayan terhadap nilai-nilai luhur budaya spiritual bangsa.
Penyerangan terhadap penghayat kepercayaan tersebut seolah melanggengkan mimpi buruk bagi realitas keberagaman di Indonesia. Terhadap perbedaan agama dan keyakinan, khususnya, masyarakat Indonesia masih cenderung “gagap”, untuk tidak mengatakan “anti”.
Sebenarnya, mengklaim kebenaran agama atau kepercayaan sendiri bukanlah hal yang salah. Namun, cukuplah itu menjadi urusan pribadi masing-masing dengan yang Maha Kuasa. Dalam aspek sosial, klaim kebenaran itu bisa jadi bisa disalurkan namun dalam forum yang bisa dipertanggungjawabkan. Dialog antar agama, misalnya.
Frase “ masyarakat yang gagap” di sini bisa ditafsirkan juga sebagai masyarakat sumbu pendek yang mudah tersulut seperti daun kering yang terpicu percikan api. Artinya, sisi emosional dan sentimen kita seringkali keluar terlebih dahulu ketimbang sisi kritis dan objektif. Bayangkan saja, para penyerang itu hanya mendengar rumor dan desas-desus untuk sampai pada keputusan menghancurkan rumah dan mempersekusi sesama saudaranya, alih-alih hanya sekedar menasehati atau mengajak diskusi.
Kita harus sepakat bahwa manusia membawa hak-hak yang melekat bahkan sejak ia dilahirkan, salah satunya adalah hak atas keamanan diri dan kebebasan berpikir. Hak atas keamanan itu, utamanya, yang akan menghasilkan konsep bahwa segala bentuk kekerasan, penindasan, dan penjajahan harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Bahkan, jika rezim yang demokratis ini pada akhirnya melakukan tekanan dan kekejaman fisik, maka kita sebagai warga negara harus melawan.
Sama halnya dengan penghayat Laroma, bukan hanya sebagai manusia, sebagai warga negara pun mereka berhak mendapat akses keamanan dan kesejahteraan yang dilindungi Undang-undang. Tidak ada seorangpun di Indonesia yang ingin dipersekusi, termasuk para pelaku penyerangan rumah itu.
Hak yang juga sama esensialnya adalah hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam kasus ini, hak itu bertandem dengan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hak-hak itu sudah tertulis dalam Perjanjian Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang berbunyi,
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri.”
UUD 1945, rumusan Pasal 29 ayat (2) juga telah menyatakan,
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Oleh karena itu, mengganggu hak-hak dasar orang lain menjadi sesuatu yang sangat tidak dibenarkan.
Kasus penghayat Larome mencerminkan kondisi sebagian masyarakat kita yang masih darurat toleransi dan pluralisme. Kedua istilah itu bukan dalam arti membenarkan semua agama, namun saling bersepakat bahwa kita adalah sama-sama manusia yang punya hak atas kehidupan yang damai, merdeka, dan sejahtera. Jika masing-masing sudah sadar akan hal itu, maka tidak ada lagi persekusi yang lain, tidak ada lagi diskriminasi yang lain. Semua akan saling menjaga atas nama perdamaian dan cinta kasih.