Lina Mukherjee pekan lalu ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama karena membuat konten yang dipandang memenuhi unsur penghinaan terhadap Islam. Konten yang dia buat adalah memakan kulit babi dan mendahuluinya dengan bacaan basmalah. Tindakan ini dipandang oleh sebagian kelompok Islam sebagai bentuk penistaan terhadap Islam.
Ternyata hal serupa yang dialami oleh Lina Mukherjee juga dialami di tempat lain. Alvin Tan dan Vivian Lee, pasangan di Malaysia, pada tahun 2015 dijerat hukuman yang hampir serupa. Mereka mengunggah makan sop babi di sosial media pada Bulan Puasa dengan mengatakan “Selamat Berbuka Puasa dengan Ba Kut Teh… Wangi, enak, dan menyelerakan!”.
Bagi sebagian umat Islam, tindakan seperti ini tidak bisa ditolerir karena di dalamnya mengandung unsur “penghinaan” terhadap keyakinan umat Islam. Mungkin dari perspektif sebagian itu, hal yang diharamkan adalah mengosumsi hal yang haram dengan mencampuradukkan dengan ajaran Islam. Bagi komunitas Muslim di Indonesia, mengonsumsi babi dengan membaca basmalah memang dianggap sebagai tindakan yang tidak biasa.
Barangkali, orang seperti Lina Mukherjee dan pasangan di negara tetangga itu menganggapnya sebagai hal biasa, bergurau, dan tidak serius ketika mengunggahnya. Tapi tidak demikian halnya bagi sebagian umat Islam. Di Indonesia, khususnya, hal itu dianggap serius dan berkaitan dengan keyakinan.
Kekuatan Penghakiman Moralitas Publik
Apa yang terjadi di atas, dan mungkin masih banyak kasus serupa terjadi di masa datang, bisa dilihat sebagai konsekuensi semakin kuatnya pengaruh dan pendayagunaan public morality dan norma agama sebagai pertimbangan untuk menghukum. Dalam hal ini, moralitas publik dan norma keagamaan yang bersumber dari agama itu sendiri digunakan sebagai sumber atau referensi hukum di ruang publik Indonesia.
Seperti misalnya, baru-baru ini terdapat netizen yang mengeluhkan larangan bagi umat Hindu untuk beribadah di Pelataran Candi Ijo Yogyakarta. Dalam akun Twitter @JogjaVibes, seorang perempuan yang mengaku beragama Hindu mengeluh karena ia dilarang melakukan sesi ritual menggunakan dupa di area candi. Pihak pengelola beralasan, Candi Ijo merupakan Kawasan wisata, bukan tempat ibadah.
Tidak sedikit yang menganggap itu sebagai kasus intoleransi. Namun banyak juga yang mendebat soal urgensi keluhan yang bersangkutan dalam video tersebut. Sebagian yang mengkritik bahkan juga beragama Hindu. Dalam konteks ini, moralitas publik bisa lahir melalui narasi-narasi warganet di kolom komentar. Benar tidaknya tindakan yang dilakukan oleh yang bersangkutan akan bergantung pada norma publik yang dibentuk oleh warganet dalam satu unggahan itu.
Sayangnya, publik morality ini cenderung rawan terhadap standar ganda. Jika mengacu pada kasus Lina, mencampuradukkan antara larangan dan ajaran Islam adalah bentuk penistaan agama. Karena itu, Lina Mukherjee ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama. Namun, logika ini tidak diterapkan, misalnya, dalam kasus korupsi dana haji oleh mantan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 22 Mei 2014. Dia diduga terlibat korupsi penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012-2013. Ia memang sudah didakwa dan dihukum penjara. Namun, ia bebas dari tuntutan pasal penistaan agama. Jika mengacu pada logika Lina Mukherjee, Suryadharma Ali bisa dikenakan pasal penistaan agama karena bagaimanapun kasusnya memuat tindakan korupsi sebagai sebuah kejahatan dan ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam.
Pasal Karet Penistaan Agama
Beberapa pihak mengatakan bahwa Lina Mukherjee tidak seharusnya dilaporkan dengan tuduhan penistaan agama. Intelektual muda dari Nahdlatul Ulama (NU), Gus Fayyadl, mengatakan bahwa tindakan Lina bisa jadi dilakukan karena yang bersangkutan tidak mengetahui hukum membaca Bismillah dalam melakukan hal-hal yang diharamkan. Kalaupun mengetahui hukumnya, perlu ditelaah lagi niatnya ketika melakukan itu.
“Kalau dia melakukannya dengan niat untuk mengolok-olokkan Islam, itu murtad. Itu juga dosa dia, bukan dosa kita. Kalau dia melakukannya tanpa mengolok-olok, dia berdosa,” kata Gus Fayyadl melalui pesan singkat, seperti yang dilaporkan BBC News Indonesia.
Di antara kemungkinan-kemungkinan itu, Gus Fayyadl menilai “berlebihan” apabila kasus ini dipidanakan dalam konteks penistaan agama. Ia menambahkan bahwa Lina tidak mengajak ramai-ramai. Lina bisa dilaporkan atas dalih penistaan jika dia ramai-ramai berkampanye mengajak orang makan babi sembari baca Bismillah.
Zainal Arifin dari YLBHI mengatakan, polisi semestinya tidak perlu mengusut kasus ini sejak awal dilaporkan karena “tidak memiliki asas legalitas”. Absennya asas legalitas ini dikarenakan penistaan agama di dalam kerangka hukum yang berlaku saat ini dianggap tidak memiliki definisi dan batasan yang jelas.
Yang sering kali terjadi, kata Zainal, seperti yang dikutip BBC News Indonesia, polisi mengusut kasus ini atas “desakan masyarakat” dengan dalih “menjaga kondusivitas”. Kasus penodaan agama, mulanya kerap ditautkan pada pasal 156(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun belakangan, polisi mulai menetapkan kasus penistaan agama menggunakan pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi tentang penyebaran informasi berbau kebencian atau permusuhan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Tandem “Berbahaya” Public Morality dan Penistaan Agama
Moralitas publik tidak hanya dikonstruksi oleh warganet di sosial media secara sporadis. Institusi keagamaan bisa jadi sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi publik. Dalam konteks Islam, rujukan utama yang seringkali digunakan polisi adalah MUI. Fatwa MUI dalam tataran tertentu dianggap sebagai pembenaran terhadap sebuah isu keagamaan.
Tidak hanya MUI, karakter netizen kita juga nyaris mencerminkan tindakan serupa. UU Penistaan Agama bisa dijadikan justifikasi bagi mereka yang mengaku sebagai Muslim yang taat untuk menghakimi mereka yang menodai ajarannya. Sekali lagi, penistaan agama belum mempunyai parameter yang jelas. Karena itu, penerapannya akan sangat subjektif dan cenderung hanya akomodatif terhadap kepentingan mayoritas.
Dalam KUHP yang disahkan akhir 2022 lalu, batasan-batasan tafsir penistaan agama telah mengalami kemajuan. Namun, UU ini tetap saja rawan dijadikan instrumen mayoritas untuk menghakimi yang lain secara semena-mena. Alih-alih menjaga kondusifitas, penistaan agama dan moralitas publik justru bisa menjadi “malapetaka” bagi kerukunan umat beragama Indonesia.