Reaktif terhadap Penistaan Agama Daripada Pelanggaran Hak Minoritas, Ada Apa Dengan Muslim Indonesia?

Reaktif terhadap Penistaan Agama Daripada Pelanggaran Hak Minoritas, Ada Apa Dengan Muslim Indonesia?

Reaktif terhadap Penistaan Agama Daripada Pelanggaran Hak Minoritas, Ada Apa Dengan Muslim Indonesia?
Ilustrasi: Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab berorasi di depan ribuan umat muslim yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) saat unjukrasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (1/3/2011). (Foto: tribunnews/herudin)

Sudah satu minggu berlalu, sejak dugaan penistaan agama oleh Holywings terjadi. Poster marketing yang memuat promosi bir gratis tiap hari Kamis bagi orang yang bernama “Muhammad” dan “Maria” tersebut mengundang atensi publik, terutama umat Islam di Indonesia. Benar saja, pihak-pihak yang terlibat pembuatan promosi tersebut diciduk dan ditersangkakan dengan pasal penistaan agama.

Kembali ke belakang, pernyataan Saifuddin Ibrahim yang viral tentang rencana mengubah atau merevisi ayat al-Qur’an juga memancing amarah publik. Ia juga kemudian menjadi tersangka atas pasal penistaan agama. Kembali lebih jauh ke belakang, kasus Ahok pada tahun 2016 menjadi preseden paling mencolok dari umat Muslim Indonesia yang sangat vocal terhadap isu-isu penodaaan agama. Tiga kasus tersebut hanya merupakan sebagian kecil dari kasus-kasus penistaan agama di Indonesia.

Namun, umat Muslim nampak menutup mata ketika pemukiman Ahmadiyah di Lombok Timur dihancurkan sekelompok massa pada Mei 2018, misalnya.Tragedi itu menyebabkan jemaat Ahmadiyah harus mengungsi ke Kota Mataram untuk mengamankan diri dan bermukim karena rumahnya telah hancur oleh massa. September, 2021 lalu, masjid Ahmadiyah di Sintang Kalimantan Barat di rusak dan dibakar massa, sehingga menghalangi jemaat untuk beribadah di dalamnya.

Beberapa persekusi itu bukan lantas menafikan bantuan-bantuan dari komunitas Muslim yang memiliki niat baik. Namun, menarik mencermati bagaimana umat Muslim lebih cenderung lebih reaktif ketika mendengar agamanya dinistakan daripada saudaranya yang didiskriminasi. Gejala ini tidak hanya terjadi di dalam negeri saja, melainkan dalam skala internasional.

Junaid Hafeez, seorang dosen di Pakistan, telah dipenjara selama enam tahun sebelum ia dijatuhi hukuman mati pada Desember 2019. Ia dituduh menistakan agama, persisnya menghina Nabi Muhammad di Facebook. Menurut Komisi Amerika Serikat (AS) untuk Kebebasan Beragama Internasional, Pakistan memang memiliki hukum penistaan agama paling ketat kedua di dunia setelah Iran. Di sisi lain, umat Muslim Pakistan, yang notabene negara tetangga India, tidak menunjukkan reaksi signifikan terhadap minoritas Muslim India yang mengeluhkan masifnya pelanggaran hak-hak mereka selama lebih dari satu dekade.

Ahmet T. Kuru, seorang guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University, mengatakan bahwa watak Muslim yang lebih mengutamakan penistaan Agama daripada Hak Asasi Manusia adalah karena mindset otoritarianisme di negara-negara mayoritas Muslim. Otoritarianisme itu salah satunya dilihat dari bagaimana institusi agama kemudian berkongsi dengan penguasa di sebuah negara.

Sebagian besar pemerintahan otoriter di negara-negara mayoritas Muslim memiliki aturan hukum tentang penistaan agama yang mengkriminalisasi individu yang mengeluarkan pernyataan asusila dan menyuarakan pandangan yang berbeda.

Di Indonesia kongsi agama dan penguasa ini mengejawantah dalam wujud UU No. 1/PNPS 1965. UU tentang penodaan agama tersebut dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 Januari 1965 yang disinyalir terpengaruh oleh kebijakan Departemen Agama pada waktu  itu tentang definisi agama di Indonesia.

Postulat ulama terhadap penistaan agama itu menjadi kuat karena langsung distempel oleh negara. Aturan tersebut membuat pemerintah sekaligus umat Muslim menuntut hukuman terhadap pelaku penistaan dan pencemaran nama baik di Indonesia.

Ahmet T. Kuru juga menambahkan bahwa karakteristik lain dari pemerintahan Islam otoriter adalah mereka sendiri kerap melakukan pelanggaran terhadap hak-hak agama dan etnis minoritas di negaranya. Hal ini karena tokoh agama memiliki pengaruh yang kuat dalam mengontrol wacana publik, termasuk memberi fatwa. Fatwa ini bukan tanpa efek. Ia menciptakan reaksi-reaksi masyarakat di akar rumput untuk merespon, misalnya fatwa tentang Ahmadiyah sebagai aliran sesat.

Pada 2020 lalu, thejakartapost.com, mengutip riset dari Pew Research Center, mengatakan bahwa Indonesia merupakan satu dari negara-negara paling religius di dunia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap agama, Tuhan, dan doa sebagai bagian penting dalam hidup mereka. Predikat ini di satu sisi menegaskan bahwa otoritas keagamaan secara tidak langsung memiliki peran, minimal dalam merawat religiusitas warga Indonesia.

Gejala otoritarianisme ini yang kemudian menyebabkan negara dengan mayoritas Muslim itu sering gagal melangkah maju. Yang seringkali dilupakan oleh otoritas keagamaan di Indonesia, terutama Islam, adalah bahwa mereka yang seringkali terdiskriminasi itu juga berstatus sebagai warga negara Indonesia.

Dalam kasus aliran menyimpang, misalnya, fatwa kesesatan Ahmadiyah seyogianya diikuti dengan sosialisasi yang baik untuk bagaimana cara bersikap dan berinteraksi dengan jemaat. Hanya menyesatkan lalu melepas masyarakat begitu saja akan menimbulkan efek liar di akar rumput. Seperti kasus persekusi di Lombok Timur tersebut, misalnya.

Tulisan singkat ini menyimpulkan bahwa otoritas agama dan negara yang berkolaborasi, menurut pandangan Ahmet T. Kuru, rawan melahirkan apa yang disebut dengan otoritarianisme. Gagasan ini mungkin terlihat sebagai prototipe dari ide sekularisme, yang memisahkan antara agama dan negara. Namun menurut saya kongsi agama dan negara tetap bisa melahirkan kesejahteraan bilamana keduanya bersepakat, tidak hanya persoalan doktrin keagamaan, namun juga kemanusiaan, hak untuk hidup sejahtera, dan hak atas kebebasan berpikir.

Wallahu a’lam bisshowab