Apakah Jusuf Kalla berusaha menyiapkan ‘presiden’ selanjutnya ketika berbicara soal kharisma Habib Rizieq? Harus diakui, Habib Rizieq dan FPI dalam beberapa tahun ini memang menjadi magnet politik karena memiliki pendukung yang lumayan besar. Survei Wahid Foundation dengan Lembaga Survei Indonesia tahun 2017 menyebutkan para pendukung perjuangan FPI diproyeksikan menembus angka 34 juta orang. Menggelembung dari 180 ribu orang yang mengaku terafiliasi dengan FPI. Jika disurvei tahun ini, mungkin saja jumlahnya bertambah atau malah berkurang.
Pernyataan Pak Jusuf Kalla tempo hari mungkin ada benarnya. Fenomena Habib Rizieq adalah penanda kekosongan kepemimpinan yang dapat menyerap aspirasi masyarakat secara luas, termasuk kepemimpinan dalam partai politik Islam.
Yang mungkin belum cukup jelas dari pernyataan itu adalah bahwa aspirasi masyarakat macam apa yang disuarakan Habib Rizieq? Dugaan saya adalah aspirasi sekelompok masyarakat yang ingin lebih lugas, keras, dan tak terlalu mau kompromi. Kompromi ini dapat diartikan pula sebagai sikap untuk mempertimbangkan banyak sisi.
Gaya semacam ini boleh jadi tidak mudah dilakukan organisasi yang sudah mapan seperti NU dan Muhammadiyah. Keduanya membawa “beban berat” rekam jejak organisasi dan hubungan yang mungkin sangat kompleks dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Karena itu dapat dipahami, suara yang tanpa kompromi dan keras akan lebih cocok disampaikan di jalanan dan mimbar bebas. Sangat terbuka kemungkinan anggota kedua organisasi yang memiliki karakter dan sikap ingin lebih lugas tanpa kompromi menyalurkan suaranya lewat figur seperti Habib Rizieq. Bersama para pendukungnya pula, orang-orang dengan karakter yang sama di NU dan Muhammadiyah tadi seperti menemukan “habitatnya” atau yang dalam pendekatan jejaring sosial disebut “homopili”.
HTI yang juga menggunakan “jalanan” merupakan bagian massa yang punya karakter serupa. Terlebih-lebih mereka kini menjadi korban pembubaran pemerintah yang berkuasa dan dapat menyalurkan perlawanannya lewat suara Habib Rizieq.
Dari kaca mata lain, fenomena Habib Rizieq dan massa pendukungnya, juga dapat dilihat sebagai “efek kolaborasi” dengan aktor-aktor politik atau partai politik. Apa yang disuarakan Habieb Rizieq dan bobot tekanan massa dapat meningkatkan posisi tawar mereka, para oposan, terhadap kekuasaan mayoritas saat ini. Bukan hanya itu, mungkin saja dapat mendulang lebih banyak perolehan suara partai kelak. Inilah yang disebut
Baca juga: Jusuf Kalla dan Kegelisahannya terhadap realitas umat Islam
Guillermo Trejo dari universitas Notre Dame sebagai fenomena “suara dan jalanan” (the Ballot and the Street). Fenomena Partai Umat dan Partai Masyumi itu dapat dilihat sebagai contoh dari hubungan ini.
Apa yang menarik dari fenomena ini tentu saja ramalan akan apa yang bakal terjadi pada Pilpres 2024. Memang terlalu sederhana menyimpulkan bahwa peta suara pilpres 2019 mempertontonkan efikasi atau khasiat dari “aksi jalanan” ini. Tetapi apa yang mereka suarakan jelas dapat menggambarkan “ideologi” setidaknya aspirasi keagamaan hal yang tak dapat diabaikan.
Diego Fossati, peneliti dari City University of Hong Kong, mengajukan analisis yang meyakinkan. “Pilpres 2019 menunjukkan bahwa ideologi memainkan peran penting dalam perilaku pemungutan suara, karena hasil keseluruhan daerah tampaknya mencerminkan kondisi pertengahan 1950-an,” tulisnya.
Dengan mengolah data Survei LSI tahun 2017 dengan 1.670 responden, ia menemukan identitas aliran –yang tampak usang itu: abangan, santri, priyayi– tetap hadir dan berhubungan dengan pilihan partai tetapi punya pengaruh yang longgar dengan pilihan ideologi politik.
Ia juga menemukan bahwa peta ideologi politik di Indonesia di kalangan umat Islam lebih banyak pada “kelompok tengah” dan “cenderung islamis”. Mereka ini uniknya sangat manaruh perhatian dan memiliki aspirasi pada isu ekonomi. Isu berikutnya, otonomi daerah.
Jika Habib Rizieq dan massanya kita anggap mewakili sayap “islamis dan sebagian cenderung islamis”, mungkin dukungan akan bertambah besar jika memanfaatkan isu yang terhubung dengan ekonomi dan agama. Narasi keterhubungan boleh jadi dilakuan melalui cara-cara yang tampak menyederhanakan masalah dan menggunakan bumbu teoeri konspirasi. Kasus pekerja Tiongkok salah satunya. Memang ada isu agama, etnis, tapi juga isu ekonomi, yaitu kekhawatiran hilangnya pekerjaan.
Isu ekonomi ini dapat pula berkembang atau masuk melalui narasi tentang siapa yang bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi. Bobot masalah makin kuat ketika ada isu agama di dalamnya. Jika ini benar-benar dilakukan Habib Rizieq dan aliansinya, mereka dapat menjadi “kekuatan jalanan” yang betul-betul harus dipertimbangkan.