Jika Manusia Tak Lagi Berdoa

Jika Manusia Tak Lagi Berdoa

Hakikat berdoa tak sekadar relasi meminta-memberi. Berdoa mampu melatih seseorang berfikir positif dan membangkitkan energi bawah sadar.

Jika Manusia Tak Lagi Berdoa
Ilustrasi doa setelah baca Al-Quran (Foto: Freepik)

Hakikat berdoa tak sekadar relasi meminta-memberi. Berdoa mampu melatih seseorang berfikir positif dan membangkitkan energi bawah sadar.

Langkah gontai Muhajir, sebut saja begitu, terlihat di kejauhan remang-remang malam. Sorot lampu di pinggir jalan mengenai rambut ikalnya yang kelihatan tak disisir. Para tetangga yang kebetulan sedang nongkrong di pinggir jalan menatapnya heran, apa sebenarnya yang terjadi pada diri pria berbadan kurus itu?

Ia hidup di bawah garis kemiskinan. Tinggal di gubuk kumuh kawasan Jakarta Utara. Tamat Sekolah Menengah Pertama, ia pernah nyantri di sebuah pesantren salaf yang tak jauh dari Ibu Kota. Salat lima waktu, tak pernah ia tinggalkan. Baju koko, jenggot panjang, dan celana cekak, layaknya seragam wajib yang tak boleh ditanggalkan.

Gus Hajir, begitu dia biasa dipanggil. Selepas salat isya, bujangan berumur tiga puluh tahun itu selalu berlama-lama di masjid. Tangannya menengadah ke atas dan bibirnya tampak bergerak-gerak. Ia sedang khusuk berdoa.

Tapi, malam itu, Gus Hajir terlihat berbeda. Ia tak terlihat di barisan salat isya. Warga dikejutkan prilakunya yang aneh. Ia masuk gapura desa sembari menggandeng dua wanita cantik yang bukan muhrimnya. Meski diplototi warga, Gus Hajir abai dan langsung masuk rumahnya. Sejak itu, ia terus mengulangi perbuatan tersebut di malam-malam berikutnya.

Gelagat tersebut tak lama diketahui Hasanuddin ketua Rukun Tetangga setempat, yang kebetulan pamannya sendiri. Lalu, Hasanuddin menemuinya.

“Kenapa kamu Jir, tiap malam keluyuran bersama perempuan, belakangan kamu juga tak pernah kelihatan salat di masjid lagi?”

“Saya bosen,”

“Maksudmu?”

“Buat apa ke masjid, kalau tidak bisa merubah hidup saya?”

“Ada apa sebenarnya dengan kehidupanmu?”

“Semua orang tahu, saya ini miskin, sengsara, dan tak punya apa-apa. Tiap hari saya berdoa supaya kaya, tapi nyatanya…?”

“Jadi, kamu menyalahkan Tuhan dan putus asa, karena tak mengabulkan doamu?”

“Iya. Justeru karena itu saya kecewa!”

Hasanuddin tersentak jawaban Muhajir. Mungkin tak hanya Hasanuddin, anda juga kaget dengan pernyataan Muhajir terakhir ini.

Sikap Gus Hajir ini menarik untuk ditelisik. Jika dilihat konteksnya, ia begitu simpel dan instan dalam memahami arti sebuah doa. Baginya, doa adalah permintaan seorang hamba, dan kewajiban Tuhan untuk mengabulkan. Doa seakan daftar permintaan kita yang harus dipenuhi oleh Allah, dari A sampai Z. Layaknya pemesan barang ke sebuah toko grosir. Ada anggapan bahwa terjadi semacam siklus meminta dan memberi secara pasti.

Hal ini barangkali akibar pemahaman yang sepintas terhadap ayat 60 surat al-Mu’min, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan kabulkan.” Apakah arti dhahir ini yang dimaksudkan Allah? Jika demikian, maka banyak sekali orang yang akan mengalami nasib serupa dengan Gus Hajir.

Para ahli tasawuf, memaknai doa tak sekedar meminta kepada Tuhan. Doa di mata para sufi adalah inti, otak, atau ruh dari segala ibadah. Nabi saw. menyebutnya dengan istilah, mukhkh al-`ibadah, otak ibadah. Begitu tulis Turmudzi (ahli hadis, wafat tahun 259 H) dalam Sunan Turmudzi, Kompilasi Hadis karya Turmudzi. Jadi, berdoa tidak sekedar memohon, meminta, dan mengharap perwujudan keinginan. Tapi, lebih dari itu.

Bayangkan. Andai doa hanya dipahami sebagai relasi meminta dan memberi, antara manusia dan Tuhan. Maka, tak akan ada orang hidup miskin, hina, bodoh, dan menderita di dunia ini. Semua orang ingin kaya, terhormat, pandai dan punya kuasa, sebab Tuhan pasti mengabulkan keinginan hamba-hambanya. Apa mungkin? Lebih aneh lagi. Satu misal, dalam suatu perlombaan. Semua peserta berdoa agar mendapat juara satu. Mungkinkah Tuhan mengabulkan doa semua peserta? Jawabnya pasti tidak mungkin.

Bukan Meminta dan Memberi

Imam al-Qusyairi al-Naisaburi, sufi besar dari Iran wafat tahun 1073 M, memaknai doa adalah kunci bagi setiap kebutuhan. “Doa adalah tempat istirahat bagi siapapun yang membutuhkan, tempat berteduh bagi yang terhimpit, dan tempat kelegaan bagi para perindu,” tulisnya dalam rujukan kitab-kitab tasawuf Risalah al-Qusyairiyah fi `ilm tasawwuf, kitab al-Qusayairi dalam ilmu tasawwuf. Pemahaman ini mencerminkan, betapa mesranya hubungan manusia dengan Tuhannya, jika ia mau berdoa.

Sebagaimana tergambar dalam surat al-Baqarah ayat 186. Tuhan berfirman, ”Jika hambaku bertanya kepadaku maka sesungguhnya aku dekat. Karena itu, aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepadaku.” Ayat ini tak bisa hanya dipahami sebagai relasi meminta dan memberi, antara manusia dengan Tuhan. Tapi, di dalamnya terdapat beberapa konsekuensi yang harus dipahami.

Karena itu, berdoa ibarat “berdialog” dengan dzat yang Maha Kuasa. Rasulullah saw. berpesan, “Allah swt. tidak akan menjawab doa seseorang yang hatinya alpa,” sabdanya dalam riwayat Turmudzi dan Ahmad. Berdoa itu, sekali lagi, tak cukup hanya dengan modal keinginan yang tinggi, tapi juga harus dibarengi dengan ketulusan, keihlasan, dan kerja keras. Orang yang hatinya lupa dengan Tuhan, seperti kata Nabi, doanya tidak akan didengar-Nya.

Bahkan, Imam al-Qusyairi menambahkan, bekerja dan berusaha di jalur yang halal sebagai prasyarat dikabulkannya doa. Ia bersandar kepada pesan Rasulullah. “Perbaikilah kerjamu, niscaya doamu dikabulkan,” sabdanya.

Berfikir Positif, Memacu Bawah Sadar

Kalimat “perbaikilah kerjamu” dalam hadis tersebut tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan sebab yang dapat mengakibatkan doa terkabul. Dengan kata lain, orang yang bekerja keras dan dibarengi doa, niscaya Tuhan akan mengabulkan keinginan yang dicita-citakan.

Mengapa ada hubungan kausalitas, sebab-akibat, yang kuat? Ahmad Abd al-Jawad, untuk memperkuat argumentasi ini, menyitir ungkapan Nabi, “Jika salah seorang di antara kamu sekalian berdoa, hendaklah dia percaya atas doanya,” kutip al-Jawad dalam al-Du`â al-Mustajâbah min al-Hadîts wa al-Kitâb (Doa-Doa Terkabul dari Hadis dan al-Qur’an). Hadis ini, menurut para sufi, mengisyaratkan, berdoa memberikan sinyal positif dalam diri seseorang. Jadi, seorang sufi selalu dianjurkan berfikir positif dan penuh optimis dalam menghadapi segala sesuatu. Mengapa?

Ada dua alasan. Pertama, berfikir positif merupakan cara berfikir terbuka dan melihat segala sesuatu dengan kaca mata hikmah. Sebaliknya, seorang yang berfikir negatif hanya merekam gambar kelam dari setiap kejadian atau keburukan pada seseorang. Ihwal ini, seorang sufi agung Hasan al-Basri (w. 51 H) berpegangan pada hadis qudsi.

Allah berfirman, “Ana `inda zhanni `abdî bî”, aku ini seperti yang diduga hamba-Ku. Ibnu Hajar (773-852 H) dalam kitab Fath al-Bâri (membuka keagungan Sang Pencipta), menjelaskan dugaan atau sangkaan yang dimaksud adalah dugaan pasti dikabulkan jika berdoa, diterima jika bertobat, diampuni jika memohon ampunan. Imam Nawawi (631-676 H) dalam Syarh Shahih Muslim (penjelasan kitab Shahih Muslim) menambahkan, dugaan akan diberi kecukupan dalam hidup jika ia minta dicukupi.

Hadis di atas mengajak untuk bersikap optimis dalam mengarungi kehidupan. Sekecil apa pun yang kita lakukan, selagi disertai ketulusan dan keuletan, pasti akan diberi balasan oleh Tuhan. Rahmat Allah sangatlah luas, “Maka janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah”, demikian amanat Tuhan dalam surat Yusuf ayat 87. Sikap optimis inilah yang akan memberi dorongan kuat dalam diri seseorang untuk berkarya, berkreasi, dan berprestasi. Andai gagal di tengah jalan, ia tak mudah putus asa. Setiap kegagalan pasti ada hikmah yang dapat teladani.

Kedua, kata-kata positif dalam doa, tanpa disadari, ternyata dapat membangkitkan alam bawah sadar manusia. Menurut ilmu psikologi, pikiran manusia terbagi menjadi dua: pikiran sadar dan pikiran tak sadar. Ibarat orang sedang belajar naik sepeda. Sebelum lancar, dia membagi konsentrasinya untuk menjaga keseimbangan supaya tidak jatuh, memegang stang agar bisa berjalan sesuai arah yang diinginkan, sekaligus konsentrasi kaki untuk menggenjot. Inilah pikiran sadar.

Namun, ketika sudah lancar. Dia tidak perlu lagi konsentrasi penuh untuk menjalankan sepeda. Segalanya berjalan otomatis. Tanpa harus berpikir pun, dia bisa sampai ke tempat yang dituju. Inilah pikiran tak sadar atau bawah sadar. Percaya atau tidak, kata-kata yang pernah terucap atau terdengar ternyata membawa pengaruh besar dalam tingkah laku. Kata-kata tersebut adalah pesan yang tenggelam dalam bawah sadar, dan secara otomatis akan di-replay dalam pikiran seseorang untuk “berbicara pada diri sendiri”.

Misal, suatu ketika, seorang murid Sekolah Dasar menghadapi ujian kelulusan mata pelajaran matematika. Ia pun berdoa dengan untaian kata-kata. “Ya Tuhan-ku Engkau maha cerdik dan bijaksana, karuniailah aku setetes keagungan ilmu-Mu. Tuhanku… aku yakin mampu mengerjakan soal-soal matematika. Beri aku kekuatan!”

Jika kata itu diulang-ulang, niscaya keberanian dan rasa percaya diri akan menyelimuti hati dan pikirannya. Itulah doa. Tanpa disadari, doa mampu “menyihir” seseorang menjadi penuh optimisme, yakin, dan rasa percaya diri. []