Jalan Cinta Gus Mus

Jalan Cinta Gus Mus

Jalan Cinta Gus Mus

KH. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus, adalah sosok yang sepanjang hidupnya berkali-kali ditempa pengalaman dipisahkan oleh ajal dengan orang-orang terkasihnya. Bukan hanya orang-tuanya, tapi juga saudara-saudara kandungnya.

Dan sejak awal, Allah sudah menegarkan pribadinya. Beliau bisa dengan sangat tenang melayani tamu-tamu yang bertakziah saat ayahnya dipanggil Allah, sementara semua saudaranya larut dalam air mata duka dan tak punya cukup daya menyapa tamu yang melimpah. Dan kemarin, ketegaran pribadi tersebut kembali terlihat saat sang isteri, Hj. Siti Fatmah Basyuni, yang selama 45 tahun hampir tak pernah terpisah secara lahir, harus pulang memenuhi panggilan Allah.

Orang pun terkagum-kagum menyaksikan beliau ikut memanggul keranda sang isteri. Lebih lagi, mereka yang hadir bertakziahlah yang justru tak mampu menahan tangis ketika dengan tenang beliau memanjatkan doa bagi sang kekasih, sementara setetes air matapun malah tak terlihat menetes dari matanya.

Apakah ini? Apakah ini cermin ketak-tersentuhan atas derita? Apakah ini wajah sudah dinginnya hati pada dunia? Menurut saya: bukan. Inilah jalan cinta yang dipilih Gus Mus. Jalan mendaki yang acap dibahas, tapi sedikit yang mampu menapakinya. Yang kita lihat sedang ditunjukkan Gus Mus hanyalah seserpih wujudnya.

***

Ketakdziman luar biasa Nyai Siti Fatmah pada Gus Mus, segera mengingatkan saya pada ketakdziman Nyai Aisyah pada suaminya KH. Abdullah Salam, Kajen; ketakdziman Nyai Ummu As’adah pada suaminya KH. Muslim Rifa’i Imampuro, Klaten; juga ketakdziman Nyai Sinta Nuriyah pada Gus Dur. Dan mestinya masih banyak lainnya. Perempuan-perempuan sholehah yang hampir tanpa pamrih dunia, menemani suaminya bekerja menegakkan agama Allah.

Ketakdziman yang hanya mungkin dibayangkan muncul dari dunia pesantren dengan bacaan kitab-kitabnya; karena bagi kita yang sudah terecoki dengan bayang-bayang kesetaraan gender, acap kali ketakdziman yang sejatinya positif ini justru dibaca secara negatif. Padahal ketakdziman adalah adab, landasan dasar yang harus ada bagi bangunan peradaban.

Berbeda dengan yang lain, pada Nyai Siti Fatmah, makna dan cakupan ketakdziman yang ditunjukkan sedikit berbeda. Biasanya para isteri lebih banyak menunjukkan ketakdziman ini di rumah. Inilah yang justru beliau ubah. Rumah tidak lagi dimaknai sekedar sebagai wilayah ruang tertentu yang sempit dan terbatas, tetapi dengan sadar beliau ubah menjadi wilayah waktu yang tak terikat dengan locus tertentu. Dimana Gus Mus ada, disitulah Nyai Siti Fatmah berumah.

Bukan untuk membayangi, mengawal apalagi mengawasi suami dalam pengertian negatif; tapi sebaliknya untuk memperluas wilayah ketakdziman. Sehingga hampir bisa dipastikan, dimana ada Gus Mus, disitu juga ada Nyai Siti Fatmah. Benar-benar mirip ungkapan Jawa, seperti ‘mimi lan mintuno’.

Keduanya dengan khusyuk memilih menapaki jalan cinta yang agung, melampaui jasad dan usia, dan mengabadikan setiap momennya sebagai tetesan surga. Kemana-mana dan dimana-mana, rumahlah yang mengikuti mereka dan tak pernah sebaliknya, sehingga diam-diam sering membuat iri banyak orang.

Kini, sang pembawa rumah itu sudah pulang ke rumah sejatinya. Sebelum berangkat, beliau lebih dahulu meminta maaf pada sang suami terkasih. Meminta maaf karena tak lagi bisa merawat ketakdziman di rumah dunia. Bentuk cinta dan ketakdziman yang luar biasa indah yang ditunjukkan seorang perempuan.

Wilayah pantura timur yang sejak Senin selalu diliputi mendung dan hujan; dan mencapai puncaknya pada Kamis 30 Juni 2016 yang bertepatan dengan 25 Ramadlan 1437 H; seperti isyarat betapa langitpun ikut berduka atas berpulangnya salah satu perempuan sholehah. Ribuan, bahkan jutaan orang seperti tersentak oleh berita yang seperti mendadak ini.

Inna lillahi wa inna ilahi rojiun. Selamat jalan Ibu Nyai Siti Fatmah, semoga kuburmu sewangi ketakdzimanmu. Pada saatnya kami semua akan menyusulmu.

Tulisan lengkap bisa dibaca di Sulukmaleman.org

*) Anis Sholeh Ba’asyin, pengasuh Sulik Maleman