Khazanah Islam Kepulauan: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 1)

Khazanah Islam Kepulauan: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 1)

Agaknya akhir-akhir ini kita sudah tak lagi mencetak poster untuk pengumuman acara, tak terkecuali acara seni. 

Khazanah Islam Kepulauan: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 1)

Suatu saat menjelang lebaran 2024 saya kedatangan rombongan tim islami.co. Katanya, mereka sedang terlibat dalam misi kebudayaan bersama PCI-NU Belanda untuk mempromosikan khazanah Islam kepulauan melalui medium seni rupa Indonesia ke publik Eropa. 

Oleh rekan-rekan islami.co, saya diminta memberi keterangan tertulis untuk pengantar katalog karya empat maestro perupa Indonesia: Gus Mus, Nasirun, Jumaldi Alfi, dan Tisna Sanjaya–yang kini tengah dipamerkan di Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda.   

Dengan waktu yang tidak banyak, saya kok ya ndilalah cukup longgar mengiyakan. Praktis, semua persiapan teknis, administratif, tetapi juga apapun yang bersifat substantif buru-buru kami selenggarakan secara saksama. 

Singkat kata, berangkatlah rombongan saya bersama para seniman perupa ke Belanda. Setiba di Schiphol kami dijemput teman-teman mahasiswa PCI-NU dan beberapa diaspora Indonesia di sini. Setelah urusan pengambilan bagasi beres, kami langsung diajak jalan-jalan kota Harlem, tempat para aktivis mahasiswa Indonesia tempo dulu macam Tan Malaka cs keluyuran. 

Kami hanya ditunjukkan sebuah rumah bercat kuning dan nama jalan, Jacobijnestraat. Di situ konon Tan Malaka tinggal ketika bersekolah di Harleem. Jejaknya samar tapi masih terendus para pembaca sejarah. 

Setelah itu lalu ke toko-toko vintage. Rupanya Belanda, tak terkecuali di Harleem, menjadi sarang toko-toko vintage. Orang yang senang lawasan, seperti saya, tentu akan segera jatuh cinta. Hanya kantong saja yang membatasi cintaku. 

Meski demikian, yang menarik bagi saya tetap sebuah toko buku bekas yang sudah tua usianya. Hanya saja bukunya kebanyakan berbahasa Belanda. Pelukis Nasirun senang banget di sini karena buku-buku seninya bagus banget. 

Yang menarik di toko buku ini banyak sekali poster pengumuman acara kebudayaan, diskusi, pameran seni rupa, atau pentas musik. Meski zaman sudah digital tradisi poster untuk pengumuman acara ternyata masih sangat kuat. Dan konon poster-poster itu dijual kepada pengunjung dan selalu laris. 

Sebagai catatan, akhir-akhir ini kita sudah tak lagi mencetak poster untuk pengumuman acara, tak terkecuali acara seni. 

Lalu kami diajak makan siang di restoran milik dua kakak beradik Frank dan Johan, keduanya keturunan Indonesia. Ibu mereka asal Gombong dan ayah Makassar. Orang tua mereka berimigrasi ke Belanda awal 1950-an. Saya tidak menelusuri apa motifnya, mungkin semata ekonomi saja.

De Lachende Javaan, Indonesisch reataurant, demikian plang namanya dengan logo topeng tari Jawa. Restorannya besar, dan bisa jadi restaurant terbesar yang ada di Belanda yang menawarkan menu Indonesia. 

Ketika masuk ke dalamnya mata kita segera disuguhkan dengan vintage dengan tema Indonesia lawas, dan koleksi beberapa lukisan dari perupa Indonesia kontemporer: Nasirun. 

Di bagian tengah restaurant itu, tergantung sebuah perahu bekas dengan panjang kira-kira 3m, yang bagian kirin kanannya dilukis Nasirun. Perahu itu digantung dan menjadi bagian dari hiasan lampu-lampu. Dulu, kata Frank, karya perahu itu dikirim melalui container dan sampai hampir 3 bulan ke Harleem. 

Lalu di bagian lain, ada lagi lukisan Nasirun dengan ukuran besar. Saya segera mengenali karena figurnya Dewi Sri, dengan warna merahnya yang khas dan dengan sapuan-sapuannya yang tebal bertekstur. Jadi tahu kan mengapa kami bisa berada di sini? Ya memang Frank adalah sahabat perupa Nasirun sekaligus salah seorang kolektor karya-karyanya. 

Singkatnya, karena Nasirun-lah kami ada di sini. Saya tanya ke teman mahasiswa yang menemani kami, pernah makan di sini? Jawabnya, tidak. Ini resto bukan untuk kantong mahasiswa kelas beasiswa. Kami lalu tertawa bersama.

Selain karya Nasirun, Frank juga mengoleksi karya Nyoman Sukari, Ugo Untoro, Popok DM, Goenawan Mohamad, dan lain-lain. Kami diajak ke lantai 2 untuk melihat karya-karya ini. 

Selain itu, Frank juga mengoleksi vintage lawasan, poster-poster, enamel, peta Hindia Belanda. Sayangnya tempatnya terbatas, sehingga koleksi itu masih dalam tumpukan. Katanya, ia berburu benda-benda itu hingga ke Paris. Andai Om Frank dan Om Johan masih muda dan pemain sepak bola yang bagus, ia layak banget naturalisasi, karena kecintaan mereka berdua pada Indonesia mendalam sekali. 

Rasanya capek perjalanan panjang dengan transit 2 kali, di Abu Dhabi dan Roma, demi mengejar tiket murah meriah tuntas terbayar hari ini. Rokok dan kopi, serta obrolan-obrolan tentang sejarah, seni dan hal-hal tidak penting lainnya menghangatkan tubuh yang diserang dingin yang kata orang sini tidak seberapa dan justru dianggap hangat. Tapi bagi kami yang datang dari negeri yang sumuknya sepanjang siang dan malam, ini mah dingin sekali!