Isra’ dan Mi’raj adalah dua peristiwa penting dan merupakan salah satu mukjizat Rasulullah yang menembus batas alam fikiran manusia saat itu. Dengan Isra’ dan Mi’raj sesungguhnya para sahabat sedang diuji oleh Allah SWT. Ujian di sini kaitannya dengan kualitas keimanan yang menghujam di dada. Dengan kata lain, apakah mereka mempercayai sekaligus membenarkan peristiwa yang berada di luar nalar logika manusia tersebut atau malah mengingkarinya.
Di samping itu, dengan peristiwa ini, Allah s.w.t. ingin memperlihatkan bukti-bukti atas sebagian dari kekuasaan-Nya kepada hamba sekaligus utusan-Nya. Dalam hal ini, Allah dengan tegas menyatakan: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS: 17:01).
Ayat di atas secara spesifik menyatakan bahwa Allah dengan kekuasaan-Nya memperjalankan Rasulullah di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Rajihi dalam Syarah al-Thahawiyah. Selanjutnya Mahmud Syakir memberikan pandangan bahwa secara khusus perjalanan Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha terjadi sebelum hijrah di mana saat itu beliau melakukan shalat Isya’ di dekat Ka’bah sampai tertidur. Tidak berapa lama kemudian datanglah dua malaikat dengan membawa kendaraan bernama Buraq.
Ada beberapa pandangan di kalangan pakar seputar Isra, secara umum perbedan pandangan itu dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu: (1) Isra’ yang dilakukan Nabi terjadi di dalam mimpi, dalam hal ini para ulama menjustifikasi bahwa pandangan akan hal ini dianggap terlalu lemah. Selanjutnya pandangan yang ke (2) adalah Isra yang dilakukan Rasulullah hanya sebatas ruh tanpa jasad, hal ini berdasar sebuah riwayat yang dinukil dari Aisyah, Muawiayah, dan hasan al-Bashri. Kemudian yang ke (3) Isra’ terjadi beberapa kali, yang pertama dilakukan di saat Rasulullah tidur, sedangkan yang lain dilakukan di saat beliau terjaga. Dan yang ke (4) adalah Isra dilakukan di dalam keadaan terjaga baik ruh maupun jasad dengan rentan waktu perjalanan satu malam.
Menurut persepektif penulis, sepertinya pendapat yang terakhir inilah yang paling kuat, mengingat dalam kaitannya dengan ayat yang telah disebut di atas. Kata “Abdun” merupakan sebutan yang lumrah dan biasa bagi manusia seutuhnya. Bukan sebutan bagi jasad, juga bukan pula sebutan bagi ruh saja. Pada pembahasan ini, kata “Abdun” merupakan perpaduan antara jasad dengan ruh.
Oleh karena itu, Ibnu Mandzur memberikan defenisi kata “Abdun” dalam Lisan al-Arab dengan manusia seutuhnya, baik ia merdeka ataupun sahaya, dikatakan demikian karena ia sahaya di hadapan Tuhannya yang Maha Mulia dan Perkasa. Senada dengan Ibnu Mandzur, Louis Makluf dalam al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam memberikan penegasan bahwa yang disebut “Abdun” adalah manusia merdeka atau budak di mana ia dituntut patuh dalam menjalankan seluruh perintah Tuhan atau majikannya.
Terlepas dari perpedaan pandangan di kalangan para pakar di atas, ada beberapa poin yang perlu dicatat, yang pertama adalah tanda kekuasaan Allah sangat besar di alam raya ini, dan Ia memperlihatkannya kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang kala itu dirundung duka dan nestapa setelah kehilangan dua sosok yang amat dicintainya, yaitu Abu Thalib pamannya, serta Khadijah istrinya.
Lewat rihlah ini, Allah ingin meneguhkan sekaligus memantapkan semangat Rasulullah s.a.w. dalam berdakwah, mengingat ke depan halangan dan rintangan yang jauh lebih besar, menanti dengan segala resiko yang ada. Kemudian yang kedua adalah pada momen ini, hakikat Nabi Muhammad sebagai Sayyidul Anbiya (pemuka para Nabi) dan Imamul Mursalin (imam para Rasul) dibuktikan.
Hal itu bisa dilihat dari pemaparan Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah bahwa sesaat setelah Rasulullah sampai di Masjidil Aqsha, beliau menjadi imam shalat para Nabi, Rasul, dan Malaikat.
Mi’raj Perjalanan Lintas Galaksi Untuk Menerima Wahyu
Perjalanan Rasulullah yang maha dahsyat ini diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya: “Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat (kepada Muhammad untuk menyampaikan wahyu), lalu bertambah dekat. Sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu?. Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar”. (QS. 53:7-18).
Secara eksplisit ayat di atas menegaskan bawa ketika Rasulullah melakukan Mi’raj, beliau banyak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang meliputi planet-planet, gugusan bintang dan lain sebagainya. Sehingga tibalah beliau di ufuk langit paling tinggi, di saat itulah malaikat Jibril menampakkan wujud aslinya. Menurut al-Zamakhsyari di dalam tafsir al-Kassyaf saat mengomentari ayat ini, ia menyatakan bahwa sesungguhnya Jibril tidak tidak pernah menampakkan wujud aslinya kecuali kepada Nabi Muhammad.
Di perjalanan ini, Rasulullah banyak menemukan tanda-tanda kebesaran Allah s.w.t. yang diperlihatkan kepadanya, termasuk bertemu dengan para Nabi dan Rasul sebelumnya. Kendati demikian di antara anugerah yang diperlihatkan kepada Rasulullah adalah momen di mana beliau bertatap muka dengan Allah serta bercakap-cakap, hingga akhirnya Allah memerintahkan syariat yang paling urgen sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang muslim, yaitu shalat lima waktu.
Perjalanan yang begitu singkat, namun sarat akan pelajaran dan tanda-tanda kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada hamba-Nya merupakan peristiwa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah dakwah Islam. Walaupun demikian, harus diakui bahwa inti dari perjalanan mi’raj ini adalah disyariatkannya shalat lima waktu sebagai ritual yang sangat penting bagi umat Islam.
Oleh karena itu dalam sebuah hadis dikatakan: “Sesungguhnya amal perbuatan seorang hamba yang ditanya pertama kali kelak di hari kiamat adalah shalat, apabila shalatnya benar, maka benar pula seluruh amal perbuatan yang lain”. (HR. Tirmidzi, 4)
Membangun Ukhuwah lewat Toleransi
Mumpung masih di bulan Rajab yang sarat akan peristiwa penting ini, sebagai seorang musim yang taat, hendaknya kita memperbanyak berfikir dan merenung, betapa besar anugerah Allah yang diberikan kepada kita sebagai umat Nabi Muhammad pada bulan ini, di mana Allah memperjalankan hamba-Nya dalam Isra’ dan Mi’raj, seyogyanya kita meninggalkan perdebatan-perdebatan kusir yang tidak perlu serta jauh dari sikap arif dan bijaksan yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan. Bagaimanapun juga kita umat Islam adalah umat yang mengedepankan persatuan dan kesatuan.
Oleh karena itu, untuk merajut persatuan tersebut, maka sikap toleran diperlukan untuk memperkuat tali ukhuwah baik kaitannya dengan ukhuwah Islamiyah (Islamic Brothehood), Ukhuwah Wathaniah (Nation Brothehood), dan Ukhuwah Insaniah (Humanities Brothehood). Sehingga dengan ini, kita menjadi ummat yang didam-idamkan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an yaitu Ummatan Wahidah, baik dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Semoga! []