Jika Hatimu Gundah, Larilah kepada Allah Semata: Renungan Isra Mikraj

Jika Hatimu Gundah, Larilah kepada Allah Semata: Renungan Isra Mikraj

Bagaimana bisa kita merenungi Isra dan Miraj dan kian mendekatkan kita ke realitas hidup?

Jika Hatimu Gundah, Larilah kepada Allah Semata: Renungan Isra Mikraj

Hidup bukan hanya deretan cerita indah. Hidup adalah perjalanan di batas antara kesedihan dan keriangan. Ada saat di mana segalanya terasa begitu nyaman, namun ada momen-momen kesedihan yang menguras nyaris seluruh air mata.

Hidup adalah goresan lukisan berbagai warna. Secara keseluruhan membentuk pelangi yang indah. Sekalipun demikian, ketika kekelaman memayungi kita, hidup terasa seperti detak-detak jam menunggu kematian.

Rahmat itu ibarat pelangi yang keindahannya hanya bisa dinikmati dalam keutuhannya. Namun, tidak setiap orang sanggup menikmatinya karena dalam hidup, setiap jiwa harus merasakan warna demi warna. Saat melewati warna-warna pekat, banyak orang yang teramat sedih sedemikian rupa hingga lupa bahwa itu hanyalah sebuah momen dari deretan pelangi yang indah.

Dalam kesedihan yang mendalam, seseorang biasanya dihadapkan pada dua pilihan: mencari pelarian dalam kerendahan kesenangan duniawi atau menjalaninya dengan keteguhan. Di antara dua pilihan ini: Nabiyullah Muhammad memilih untuk tidak menistakan hidupnya dalam kesengan-kesengan duniawi rendah sekedar untuk lari dari kegundahannya.

Inilah kisah isra’ mi’raj. Biarlah mereka berdebat tentang apakah peristiwa itu merujuk pada perpindahan jasmani ataukah transformasi ruhani. Kisah ini adalah kisah seorang hamba mulia yang tidak lelah menggapai rahmat Allah di saat Allah mencobainya dengan kesedihan yang teramat dalam. Ketika banyak orang menjadi putus asa dalam menanggung kepedihan, Muhammad meyakini sepenuh hati bahwa Allah tak pernah mencobai hamba-Nya di luar batas kesanggupannya. Rahmat Allah jauh lebih luas dari kesedihan yang dicobakan kepada hamba-Nya. “Jangan berputus asa dari rahmat Allah,” firman-Nya.

Peristiwa isra’ mi’raj terjadi setelah didahului oleh momen kesedihan yang tak terperikan. Sebegitu sedihnya sang Rasul hingga tahun itu disebut dengan ‘amul huzni (tahun kesedihan). Bisakah engkau membayangkan seseorang yang ditinggal mati kekasih pujaan hatinya? Bisakah engkau membayangkan jika kematian kekasihnya itu terjadi hanya berselisih tiga bulan dari kematian “orang tua” pelindungnya?

Di tahun kesedihan itu, Nabi Muhammad ditinggal mati pamannya, orang yang mengasuhnya sejak kecil; yang kepadanya ia menemukan figur seorang ayah; yang melindunginya dari cercaan dan ancaman musuh-musuhnya saat dia harus memanggul amanah untuk mendakwahkan firman Allah-nya. Belum usai kepedihan hatinya, ia harus kehilangan Khadijah, istri tercintanya, perempuan yang menyelimutinya dengan cinta saat dia pulang dengan gemetaran setelah menerima wahyu Tuhan; yang menghiburnya saat dia nyaris putus asa mengajak masyarakatnya untuk meninggalkan kehidupan yang dipenuhi dengan kejahiliyaan.

Rasanya langit runtuh seketika. Hidup tak lagi memiliki pegangan. Setiap arah yang dituju terasa hanya kegelapan. Bahkan, semesta terasa tak lagi punya arah. Orang yang tak memiliki keteguhan iman, hampir pasti akan memilih bunuh diri atau tenggelam dalam kesenangan duniawi. Tapi bagi sang Nabi, kesedihan ini membawanya lari semakin jauh ke kedalaman munajat kepada Allah. Setiap hembusan nafasnya adalah tangisan kepada Allah. Setiap detak jantungnya adalah dzikir; seluruh gerak tubuhnya adalah tasbih.

Dan, Allah menyambutnya, merengkuhnya dalam rahmat dan keagungan-Nya. Allah memberinya pengalaman kilas balik tentang sejarah penderitaan nabi-nabi dan rasul-rasul yang telah mendahuluinya. Allah menunjukkan bahwa tak ada seorang rasul pun yang tidak pernah menempuh jalan terjal dalam menunaikan misinya. Tak cukup sampai di situ, Allah memberinya kesempatan untuk menjumpai-Nya di tahta kekuasaan-Nya seorang diri. Seorang diri!

Derajat kemuliaan apalagi yang hendak digapai. Tak ada lagi maqam spiritual tertinggi selain menjumpai sang kekasih Maha Kekasih, sang Pelindung Maha Pelindung.

Kisah isra’ mi’raj adalah kisah tentang keteguhan seorang hamba yang tak hancur dalam kesedihan dan tak larut dalam kesenangan. Segala yang ada di dunia, kebahagiaan dan kesedihannya, hanyalah sekelumit dari perwujudan rahmat dan kasih Allah kepada manusia. Jika engkau sanggup melampauinya, Allah akan memanggilmu untuk mi’raj kepada-Nya.[]