Di tengah isu panas tentang Rohingnya, ada gelombang demonstrasi yang salah alamat. Sekelompok warga berusaha menggemakan aspirasinya dengan demonstrasi ke Candi Borobudur. Aksi ini digerakkan oleh ormas-ormas yang selama ini berteriak kencang menyuarakan pendapatnya. Demonstrasi Bela Rohingnya di Borobudur digerakkan Forum Pembela Islam (FPI), Front Aliansi Umat Islam Bersatu (FA-UIB) dan beberapa ormas lain.
Meski ini berhasil digagalkan, dengan argumentasi bahwa aksi di Borobudur merupakan salah alamat. Aparat keamanan juga tidak menerbitkan izin untuk aksi demonstrasi ini. Kapolri Jenderal Tito Karnavian, menyebut aksi demonstrasi di Borobudur, hanya sebagai peluru untuk menghantam pemerintah. Demonstrasi di Borobudur ini merupakan aksi salah alamat, tidak tepat sasaran.
Aksi demonstrasi untuk merespon kekerasan yang terjadi di Rakhine, Myanmar, yang menyebabkan kelompok muslim Rohingya terlunta, tersebar luas di negeri ini. Pemerintah Indonesia juga bergerak cepat, dengan melakukan diplomasi kemanusiaan, soft diplomacy, daripada pendekatan politik dan militer. Dari aksi cepatnya, pemerintah Indonesia mendapatkan kepercayaan dari pemerintah Myanmar, untuk membantu menyelesaikan tragedi yang pelik di Rakhine.
Apa yang terjadi di Myanmar, dengan korban muslim Rohingnya, merupakan tragedi kemanusiaan yang mencengangkan. Gelombang kesedihan dan aksi simpatik menggema di pelbagai negara. Warga di beberapa negara mengutuk kekerasan yang menewaskan lebih dari 400 jiwa, dan pembakaran sekitar 26.000 rumah. Sebagian kritikan juga dialamatkan kepada Aung San Suu Kyi, yang dianggap “diam” dalam kasus Rohingnya. Meski, menurut penulis, kritik tidak tepat sepenuhnya dialamatkan ke Suu Kyi, karena lapis demi lapis permasalahan yang kompleks.
Cinta untuk Rohingya
Dari serangkaian aksi membela Rohingya di negeri ini, ada dua pendekatan yang membedakan visi pengusungnya. Satu, kelompok yang mengkampanyekan dukungan atas Rohingnya dengan kemarahan dan kritik kepada pemerintah. Dan kedua, kelompok yang menggemakan cinta untuk Rohingnya. Kedua prototype gerakan ini, dapat kita lihat dalam serangkaian aksi #SaveRohingya di beberapa daerah, oleh pelbagai komunitas-ormas.
Sekelompok komunitas menyelenggarakan aksi damai untuk Rohingnya. Cinta dari Borobudur untuk Rohingnya, terselenggara dalam forum lintas agama, yang diinisiasi Jama’ah Kopdariyah, di Omah Joglo Mendut, Kamis (7/9/2017) lalu. Dalam agenda ini, hadir 23 perwakilan organisasi di Magelang, yakni Pagar Nusa, GP Ansor, PK3 Vikep Kedu, Lesbumi Magelang, Vihara Mendut, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, juga dari Gusdurian, Pemuda Katolik, Pemuda Gereja Kristen, dan beberapa komunitas lintas agama.
Gus Yusuf Chudlori, Pengasuh Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Magelang, menyampaiakan betapa aksi damai dengan solidaritas lintas iman menjadi penting. Gus Yusuf juga mengkritik kesalahan logika yang menyamaratakan warga Budha. “Solidaritas wajib namun tetap jernih dalam berpikir. Jangan kita larut pada kemarahan yang tidak jelas. Terkait Borobudur ya salah jika menilai Borobudur terpaut dengan orang-orang Myanmar. Borobudur tak hanya simbol agama Budha tapi sudah menjadi warisan sejarah dunia yang harus kita jaga bersama. Di Borobudur kampung halaman kita, yang juga ada ekonomi, budaya, sejarah, warisan leluhur, simbol keindoneisaan juga,” jelas Gus Yusuf Chudlori, pengasuh pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Magelang.
Gus Yusuf juga mengajak setiap warga yang merespons isu Rohingya, bergerak atas nama kemanusiaan. “Kita di sini berkumpul atas nama kemanusiaan. Peristiwa Rohingya bukan saja peristiwa keagamaan. Karena itu, kita kembangkan sikap yang produktif bukan kontra produktif. Borobudur bukan hanya simbol agama Budha, tapi sudah dunia sehingga kita wajib untuk melindungi,” ungkap Gus Yusuf.
Gerakan Cinta dari Borobudur untuk Rohingnya, memberi pesan penting bagaiamana mengekspresikan dukungan dengan cinta, bukan dengan kekerasan, apalagi ancaman untuk merusak situs bersejarah.
Pesan Cinta
Dari dua narasi tentang aksi #BelaRohingnya yang terjadi di pelbagai daerah, dapat kita maknai sebagai wajah Indonesia kini. Ada kelompok yang bergerak dengan kebencian, kesalahan data, sekaligus kekhilafan memaknai peristiwa. Hingga, pada rentetan terdekatnya, mengecam pemerintah sebagai agenda politik sesungguhnya. Pokoknya, apapun yang dilakukan pemerintah, dianggap sebagai kesalahan. Tanpa ada verifikasi, tanpa ada data-data yang berbasis riset.
Sementara, gerakan perdamaian digemakan oleh kelompok yang sadar dengan peristiwa, waras dengan hubungan lintas agama. Inilah wajah kebhinekaan di negeri ini, dengan menggandeng ormas-komunitas lintas agama, untuk merespon peristiwa regional maupun internasional dengan perspektif kemanusiaan. Dalam pelbagai isu mendatang, kelompok moderat—dari lintas agama dan etnis—harus bergerak untuk menyuarakan aspirasinya. Saat ini, tidak cukup hanya menjadi kelompok moderat yang diam. Toleransi dan kebhinekaan harus digemakan, perdamaian harus digerakkan [Munawir Aziz].