Islam Moderat yang Halu, Bagaimana Bisa?

Islam Moderat yang Halu, Bagaimana Bisa?

Bagaimana sih kok bisa islam moderat malah jadi ‘halu’ seperti ini?

Islam Moderat yang Halu, Bagaimana Bisa?

Huston Smith pernah menyatakan kegelisahannya melihat kehidupan masyarakat pascamodern. Dia melihat kerentanan masyarakat tersebut adalah bagian dari residu era modern, di mana dampak menurunnya keberagamaan berbuntut kerusakan moral. Liabilitas yang merekat dalam masyarakat tersebut, kemudian disulap menjadi komoditas yang dimanfaatkan sebagian orang untuk memenuhi gairah atau menutupi kerisauan masyarakat. Di dalam kondisi tersebut, masyarakat ditawari obat mujarab untuk kehidupan modern yang nihil nilai, yaitu glorifikasi agama dipadu mesra dengan budaya pop.

Di titik tersebut gerakan “Islam Moderat” kehilangan daya atau dalam bahasa lain, pengusung narasi tersebut kehilangan momentum atau tidak mampu mendapatkan perhatian masyarakat. Bagaimana tidak, mereka tidak mampu mengedepankan moderatisme Islam sebagai pemandu kehidupan bermasyarakat sekarang. Ketimbang menjadi lentera kehidupan masyarakat, pengusung “Islam Moderat” lebih banyak menjadi pemadam kebakaran dari api permusuhan.

Memang secara natural isu “Islam Moderat” banyak mencurahkan fokus pada persoalan ekstrimisme dan terorisme, justru menjebak para pengusungnya pada narasi elitis. Tapi sebelum ke sana, kita wajib memahami terlebih dahulu bahwa masyarakat yang seharusnya mendapatkan pencerahan dari Islam yang bernarasi moderat, untuk membangun peradaban yang damai dan setara.

Hal tersebut malah berubah saat masyarakat malah memandang ekstrimisme dan terorisme bukan menjadi kerisauan utama. Di saat jurang kesetaraan semakin menganga dan kehidupan semakin dipercaya “bebas nilai”, masyarakat lebih memilih mengglorifikasi agama dalam berbagai bentuk dan membingkai sebagai isu populisme, sebagai obat imun dari penyakit modern dengan berbagai alasan.

Kelompok masyarakat yang paling dekat dengan glorifikasi agama dan populisme tersebut adalah masyarakat kelas menengah dan urban, dan terlebih lagi di sisi lain mereka juga yang memiliki akses paling besar di dunia digital. Arkian, glorifikasi agama dan isu populisme justru makin keras suaranya dan jangkauan wilayah terdampaknya dengan kehadiran media sosial dan internet.

Dengan kelindan beragam hal di atas isu “Islam Moderat” justru semakin terabaikan, karena pilihan rasional dari kelompok tersebut selaras dengan model keberagamaan mereka sendiri, yang mengedepankan sesuatu yang cool (keren) dan modern sekaligus. Mereka men-drive dan mengglorifikasi keberislaman yang keren dan modern, namun entah disadari atau tidak, di saat inilah juga mendekatkan mereka pada isu-isu populis berlatar agama.

Tidak heran kemudian kita mudah sekali mendengar atau melihat kelompok kelas menengah dan masyarakat urban, terpapar pada kabar bohong dan isu populis yang mengendorse agama sebagai core utamanya. Pilkada Jakarta seharusnya sudah membuka mata kita akan persoalan ini. Strata pendidikan dan pergaulan yang luas sebagai kemewahan kelompok tersebut, malah tidak menjamin mereka bisa lepas dari jerat hoaks atau kabar bohong yang rentan menyeret pada perilaku ekstrim atau vandal.

Kelompok muslim kelas menengah dan urban tidak melihat perilaku ekstrim kepada yang liyan, berbeda atau minoritas sebagai ancaman bagi keutuhan bangsa atau kehidupan bermasyarakat. Hal ini terjadi jika kita kembalikan pada ketakutan menghadapi kehidupan modern, maka mereka lebih cenderung berlindung pada agama yang kemudian juga dikemas dalam bentuk modern dan keren sebagai bentuk resistensi.

Mungkin para pelaku dan penggiat harus menyadari bahwa wacana “Islam Moderat” sulit menjadi perbincangan di masyarakat. Tidak hanya kalah soal kemasan saja, tapi wacana tersebut juga tidak menjawab ketakutan dari masyarakat modern terutama kalangan kelas menengah dan urban. Kembali pada penjelasan di atas, bahwa terorisme dan ekstrimisme tidak menjadi perhatian utama dari masyarakat karena gagal menjadi obat imun bagi mereka.

Kegelisahan masyarakat tentang persoalan ekonomi tentu tidak tersedia jawabannya dalam wacana “Islam Moderat”. Pilihan rasional adalah berlindung pada agama yang telah dikemas dengan sesuai kehidupan kelas menengah dan urban, yang menuntut keren dan modern. Dalam arti, saat secuil kemapanan dapat diraih, maka ketakutan atau dendam pada kondisi ketimpangan ekonomi ini bisa dilewati meraih spiritualitas dan cenderung mengabaikan kesetaraan dan persamaan hak antar sesama warga negara.

Mohammed Arkoun, pemikir muslim asal Aljazair, pernah menyebut bahwa dalam tradisi Islam dalam kebanyakan masyarakat muslim masih terdapat banyak elemen yang eksklusif-intoleran sekaligus inklusif-toleran. Dia menyebutkan konsep toleran modern baru dikenal dalam tradisi Islam sekitar abad kesembilan belas. Artinya, toleransi, termasuk moderat, dalam bingkai masyarakat modern merupakan konsep baru dalam sejarah Islam.

Pemikiran Arkoun yang menjelaskan ada nalar hegemonik yang tumbuh dalam tradisi seluruh agama. Berasal dari sejarah panjang dari proses kodifikasi ajaran dari para Nabi oleh generasi penerus, yang tidak lepas dari ada ajaran yang hilang, ditambahkan, diperdebatkan, bahkan dimanipulasi. Kondisi ajaran tersebut kemudian disakralkan dan dipelihara menjadi struktur nalar teologis yang otoritatif. Inilah ajaran yang kemudian dihadirkan oleh otoritas keagamaan yang menuntut ketundukan, yang menolak maka dengan mudah dikucilkan dan didiskriminasi dengan label kafir, heterodoks, mulhid, bid’ah, dan tuduhan negatif lainnya.

Kondisi tersebut menjadi akar eksklusivisme dan fanatisme beragama muncul, yang kemudian bercampur pada dendam tertindas secara politik, ekonomi dan sosial dalam rentang sejarah kehidupan masyarakat, termasuk kelas menengah dan urban muslim. Hal ini akhirnya jelas menuntut penggiat wacana “Islam Moderat” harus mulai berpikir, bukan saja soal mendekonstruksi nalar hegemonik di masyarakat muslim Indonesia yang cukup akut, tapi juga menyediakan pandangan Islam yang mampu menjawab persoalan ketimpangan atau kesenjangan kelas.

Jika gagal memenuhi hal tersebut, maka konsekuensinya adalah wacana “Islam Moderat” hanya menjadi “halu” dalam keberislaman masyarakat Indonesia. Analisis kelas dari pemikiran sosial plus wacana “Islam Moderat” bisa diajukan sebagai solusi, namun tetap diperhatikan kemasan keren dan modern. Jika berhasil, maka wacana “Islam Moderat” benar-benar akan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam