Islam Festival dan Islam Clingus

Islam Festival dan Islam Clingus

Islam Festival dan Islam Clingus

i yang tepat.[:id]Bulan Maulid ini banyak sekali perayaan. Sebagian besar umat Islam menyambut bahagia kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan ragam pesta. Bentuknya bisa pelbagai macam, mulai dari tabligh akbar, grebeg maulid, upacara kebo ketan, hingga pasar malam khas sekatenan. Semua bersuka cita, kecuali, ups, tentu saja bagi mereka yang menggolongkan agenda-agenda tersebut sebagai bid’ah.

Salah satu acara tabligh akbar Maulid yang diselenggarakan salah satu ormas Islam, misalnya, menyajikan sebuah nuansa yang khas. Hadirin yang hadir sungguh beragam, mulai dari para panitia yang berseragam dengan dandanan para ibu yang tampak segar, grup musik perkusi (hadhrahan) yang bersemangat, orang-orang dari kampung yang bersahaja, hingga para penjaja makanan dan mainan anak-anak yang turut mencari rezeki dengan optimis. Interaksi yang membungkus suasana itu, boleh kita sebut sebagai ruang budaya.

Di sisi lain, kita bias tengok massa aksi 212 yang katanya berhasil mengumpulkan jutaan orang itu. Kita tidak boleh tidak adil dengan menganggap aksi tersebut bersifat “seragam” dan hanya dimotori oleh satu atribut organisasi saja. Dengan tidak bermaksud mengesampingkan perihal penggerak people power tersebut, faktanya, para peserta aksi sangat beragam. Mereka berasal dari berbagai ormas Islam, komunitas sosial, pesantren, serta berbagai daerah yang memiliki adat dan budaya berbeda. Sekali lagi, interaksi antar manusia dalam momen itu, boleh kita sebut pula sebagai ruang budaya.

Loh, kok sama-sama mengandung ruang budaya? Begitulah.

Pada dasarnya, manusia yang teorinya merupakan makhluk sosial ini adalah makhluk yang mau tidak mau harus bekerja sama dengan orang lain demi mempermudah apa-apa yang menjadi hajatnya. Sebab fitrahnya dikaruniai rasa senang, ia kemudian akan memanifestasikan kesenangannya pada perayaan-perayaan. Untuk skalanya sih, bebas saja, mau kecil atau besar, mau lokal atau Internasional, mau reguler atau temporer.

Buktinya, mereka yang menghukumi bid’ah pada perayaan maulid juga sekaligus mereka yang diam-diam menganggap aksi 212 sebagai momen bersejarah dan momen “pangkal” ghirah dakwah lanjutan (katanya), hingga muncul “festive-festive” lanjutan seperti gerakan sholat shubuh berjamaah dan segala hal lain, yang pada koridor ini masih bersifat temporer.

Islam Festival merupakan representasi hablum minannaas. Adab serta akhlak untuk sesama manusia ini terkemas dalam berbagai perangkat cabang-cabang keilmuan Islam baik yang bersifat syariat hingga hakikat.

Maka, jika ada ungkapan “syariat harus lebih diutamakan daripada budaya”, sesungguhnya ungkapan tersebut perlu ditinjau ulang. Pola tradisi yang bertentangan dengan syariat (yang biasanya bernuansa syirik), misalnya seperti persembahan dengan material tertentu kepada pohon besar atau tempat mistis, sudah semakin hilang. Itupun bukan sebab nilai agama, namun sebab masyarakat modern sendiri yang sudah lebih rasional.

Jika masih ada yang disisakan untuk memeriahkan warna sebuah perayaan, seperti misalnya pakaian adat, senjata tradisional, atau kembang-kembang, nilai-nilai yang melingkupinya pasti telah menjadi “empty shell”, telah dikosongkan ruhnya, hingga tinggal simbol-simbol yang diabadikan untuk kekayaan khazanah “artefak” budaya semata.

Pada akhirnya, peradaban manusia dengan prosesnya selalu bisa menemukan bentuknya sendiri. Manusia abad modern yang hidup ditekan siklus Industri akhirnya banyak yang menyerah dengan tahayul atau unsur metafisik lainnya. Adapun yang masih memercayai dan mengimani, pelan-pelan terpinggirkan. Biarkan mereka mengalami proses transeden pribadinya. Dan proses terbaik, semoga adalah proses yang nihil luka dan kekerasan.

Posisi yang ada di ambang gebyar festival itu adalah Islam clingus. Clingus, dalam bahasa Jawa artinya malu-malu, tidak percaya diri. Koridor Islam yang clingus ada pada ruang-ruang pribadi sepulangnya kita dari festival-festival itu. Di dalam kesendirian, kita kemudian berkaca, mematut-matut diri, lalu bertanya: Sudah Islam kah saya? Layakkah saya disebut Muslim? Begitulah kita yang tidak pernah benar-benar percaya diri untuk kembali di hadapan Sang Maha Mutlak dalam ruang-ruang sunyi.

Kisah Dr. Katrin Bandel masuk Islam yang telah didokumentasikan dalam sebuah film apik dalam aplikasi NUTIZEN bertajuk ‘Gharib’ (klik untuk menontonnyaed) ini menuturkan soal keclingusan ini. Dr Katrin menerangkan kondisi batinnya sepanjang jalan mencari jawaban-jawaban spiritual hingga ia memilih berislam.

Tentu, kemualafan seseorang pada akhirnya tak perlu dirayakan, sebab nyatanya ia bertolak dari pergulatan yang begitu rahasia dan sulit dijelaskan. Kisah Dr. Katrin mengilhami kesimpulan bahwa kita semua sesungguhnya juga selalu menjadi muallaf, selalu memperbarui kualitas iman, dalam jagad clingus masing-masing. Kabar baiknya, ia yang masih clingus itu justru masih sadar dan ingat, bukan justru lupa atau kafir, seperti yang kerap dituduhkan para pegiat Islam Festival yang sporadis-radikal.

Kabar baiknya lagi, toh ternyata Gusti Allah giat hadir justru pada ritual yang begitu clingus, seperti syahadat, sholat, zakat, puasa, dan naik haji. Coba kita cek, semua perintah “langsung” dari langit itu ternyata jauh dari festival, jauh dari pengeras suara, jauh dari pentungan.

Selamat berfestival dan menjadi clingus dalam porsi yang tepat.

NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan