Islam dan Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia

Islam dan Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia

Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti bangsa kita, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam.

Islam dan Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia

Hubnungan  antarumat   beragama  di  Indonesia  tampaknya kembali mengalami  cobaan dan  ujian berat dua tahun terakhir ini. Kalau  diikuti dengan  cermat tampak bahwa hal ini masih akan berlangsung cukup lama.

     Memulihkan hubungan  yang  semula  tampak  harmonis  dan kemudian mengalami keretakan, bukanlah hal yang mudah. Namun, masa depan  kita  sebagai  bangsa  banyak  bergantung  kepada kemampuan pemulihan  hubungan itu.  Kegagalan dalam  hal  ini dapat  mengakibatkan   ujung   traumatik   yang   mengerikan: terpecah-belahnya kita sebagai bangsa.

     Karenanya, mau  tidak mau  kita  harus  mengerahkan  kemampuan sekuat  tenaga untuk  mewujudkan  pemulihan  hubungan antarumat beragama  itu. Untuk  keperluan itu,  kita terlebih dahulu harus  memahami sebab-sebab paling dasar dari retaknya hubungan dan  sisi-sisi multidimensional  dari  kemelut  yang dihadapi.  Tanpa   mengetahui  penyakitnya,  tentu  tak  akan ditemukan  obatnya,   dan  penyembuhan   tidak  akan  mungkin dilakukan.

                                                                       ***

     PADA hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti  bangsa kita, tentu sulit untuk mengembangkan saling  pengertian   yang  mendalam   antara  beraneka  ragam unsur-unsur   etnis,   budaya   daerah,   bahasa   ibu,   dan kebudayaannya.  Kalaupun   tidak  terjadi   salah  pengertian mendasar antara  unsur-unsur itu,  paling tidak  tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka. Dengan kata  lain, suasana  optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian,  melainkan sekadar  sangat  kurangnya  kesalahpahaman.

     Pola hubungan  "harmonis" seperti itu, dengan sendirinya tidak memiliki  daya tahan  yang ampuh  terhadap berbagai tekanan yang  datang dari  perkembangan politik,  ekonomi,  dan budaya. Kerukunan  yang ada hanyalah kondisi yang rapuh, yang mungkin dapat  diistilahkan dengan  ungkapan dari masa Perang Dingin   antara    negara-negara   adikuasa   dahulu:   hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence).

     Sudah  tentu   kedamaian  yang   terselenggara  hanyalah sekadar  sikap  bertetangga  baik,  tanpa  rasa  senasib  dan sepenanggungan di antara orang yang merasa sesama bersaudara. Hubungan baik yang disifati hanya oleh tatakrama dan rasa saling menghormati  secara lahiriah belaka. Persambungan rasa tentu akan sangat sedikit terjadi dalam keadaan demikian.

     Perbedaan  sikap   dan  pandangan,  apalagi  perbenturan kepentingan, dapat  membuat ketenangan  suasana sewaktu-waktu berubah  menjadi   kebalauan.  Mereka   yang  tadinya  saling menghormati, tiba-tiba  dapat  bersikap  saling  menyalahkan. Mereka yang  tadinya santun satu sama lain, sekonyong-konyong dapat bersikap  saling  menyalahkan.  Suasana  kejiwaan  yang dipenuhi rasa  terkejut karena semula keadaan baik-baik saja, menambah intens  rasa "kehilangan" ketenangan semula. Hal itu lalu memperbesar  rasa tambah  parahnya  keadaan  lebih  dari kenyataan yang sebenarnya berlangsung.

                                                                                      ***

     DARI apa  yang diuraikan  di atas,  menjadi  nyata  bagi kita, bahwa  masalah pokok  kita dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah  pengembangan rasa  saling  pengertian  yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh,  kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti  satu   sama  lain,   bukan  hanya   sekadar  saling menghormati. Yang  diperlukan  adalah  rasa  saling  memiliki (sense of  belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.

     Karena Islam  adalah agama  golongan penduduk  mayoritas bangsa kita,  maka menjadi  sangat menyedihkan,  bahwa sampai hari ini  masih  sangat  luas  sikap  negatif  mereka  kepada pihak-pihak lain.  Materi khotbah  dan ceramah  para pemimpin Islam, dari kalangan ulama hingga kalangan cendekiawan, masih berubah sewaktu-waktu menjadi sangat memprihatinkan.

     Memang mayoritas  bangsa kita,  yang notabene,  beragama Islam, masih  dicengkam oleh  kemiskinan dan  kebodohan,  sehingga mudah  "dirayu" untuk  berpindah agama secara murahan. Kondisi logis  dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi gerakan  Islam untuk  memajukan umat mereka. Ini berarti keharusan untuk  melakukan transformasi multidimensional atas kehidupan umat  yang mereka  pimpin, bukannya mencari kambing hitam atas keterbelakangan dan ketertinggalan sendiri.

     Ini  tidak  berarti,  para  pemimpin  Islam  di  segenap tingkatan  harus  menutup  mata  terhadap  semua  ekses  yang terjadi  dalam  kehidupan  beragama  di  negeri  kita.  Harus diambil  langkah-langkah   untuk   menangani   dan   mencegah terulangnya ekses-ekses  itu, termasuk  cara penyebaran agama terlalu  agresif,  yang  dilakukan  oleh  sementara  kelompok penganut  agama   dari  golongan   minoritas.   Namun,   cara penanganan  dan   penangkalan   haruslah   dilakukan   dengan bijaksana, tanpa  harus melakukan generalisasi terhadap semua warga umat dari agama tersebut.

     Tentu kaum muslimin di negeri kita tidak mau dipersalahkan atas  kegiatan  negatif  yang  dilakukan  oleh  minoritas muslimin di negeri-negeri lain. Kita hanya mampu mendudukkan masalah ini secara proporsinal.

     Kenyataan sederhana ini dan kearifan seperti dituntut di atas, memang  tidak mudah  untuk  diwujudkan,  apalagi  untuk dikembangkan dalam  lingkup, yang  luas.  Namun,  kita  tidak punya pilihan  lain, kalau  masih diinginkan bangsa kita yang demikian heterogen  dapat mengembangkan  diri menjadi  bangsa yang kukuh sendi-sendi kehidupannya dalam memasuki abad ke-21 nanti.

     Semua pihak  di kalangan  kaum muslimin memikul tanggung jawab untuk  menumbuhkan rasa  memiliki terhadap  semua warga masyarakat bangsa  kita, karena  hanya dengan  cara  demikian Islam dapat  tumbuh menjadi  kekuatan pelindung  bagi seluruh penduduk negeri ini secara keseluruhan.

Sumber: KOMPAS Senin, 14-12-1992. Halaman: 4