Kehadiran Tiktok sebagai penanda satu generasi mungkin masih bisa diperdebatkan, walaupun kita juga sulit membantahnya. Namun, sebelum kehadiran TikTok, Instastory jauh lebih dahulu dianggap sebagai penanda umur pengguna media sosial.
Saya mendapati klaim tersebut beberapa kali. Di antaranya, kala seorang teman menganggap bahwa instastory adalah tempat aman untuk mengekspresikan dirinya. Sebab, dia sering mengeluhkan pekerjaannya atau beban kerja yang dipikulnya di Instagram. Mengapa dia memilih instastory?
Instagram bersama fitur instastory memiliki peluang lebih kecil untuk bisa diakses para rekan kerjanya yang lebih tua, terutama pimpinan tempat kerjanya. Sebagian besar rekan kerjanya adalah generasi milenial, yang biasa tidak begitu akrab dengan fitur tersebut. Walhasil, ungkapan kekesalan atau umpatan kasar tak jarang teman saya unggah di sana.
Cerita di atas hanya secuil gambaran bagaimana kehidupan kita berinteraksi dengan teknologi. Instastory, entah kita sadari atau tidak, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ia pun turut hadir dalam beragam keputusan, perhatian, pertimbangan, hingga urusan kita sehari-hari. Agama pun turut berkelindan di dalamnya. Benarkah?
***
Beberapa hari lalu saya mengamati beragam postingan beberapa orang terkait kegiatan awal sebuah majelis taklim. Pasca Ramadan, sebagian majelis taklim mulai kembali aktif setelah libur sebulan penuh. Menariknya, kabar terkait kegiatan-kegiatan majelis taklim hari ini disebarluaskan lewat media sosial, dan biasanya direproduksi lewat instastory masing-masing jemaah.
Instastory tidak saja merekam, namun di saat bersamaan, juga menjadi media dan wadah saling berbagi informasi. Masyarakat sering menggunakan Instastory untuk membagikan beragam informasi kegiatan yang berkelindan dalam keberagamaannya, seperti jadwal majelis taklim, acara haul ulama, potongan ceramah, meme, hingga video-video tempat-tempat sakral.
Seorang teman pernah berujar, “Tahukah kamu doa buka puasa yang selama ini kita baca salah tempat?” Rupanya dia mendapatkan informasi keagamaan baru lewat meme yang diunggah oleh salah satu pendakwah populis. Interaksi kita, entah dirasakan atau tidak, dengan ilmu agama telah mengalami banyak perubahan.
Dulu kita mungkin telah akrab dengan istilah “Kyai Google.” Saya rasa kalimat ini telah usang dan tak lagi benar-benar menggambarkan bagaimana informasi agama beredar, dikonsumsi, hingga diedarkan lagi di internet. Istilah “Kyai Google” mungkin masih tepat jika kita merujuk apa yang digambarkan oleh Jon W. Anderson, dengan mengutip Anderson menggunakan istilah yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu, yakni Officializing Strategies. Istilah ini merujuk pada relasi dan interaksi kita dengan ilmu, termasuk agama, yang merumuskan beragam model, aturan, hingga mitos di dalamnya, diantaranya soal kompetensi dan kelayakan. Internet, hari ini, menjungkal balikkan seluruh bangunan ini. Istilah lain yang sering kita dengar adalah “Matinya Kepakaran.”
Namun, agama hidup berinteraksi dengan internet hari ini telah membuktikan klaim soal “Kyai Google” tidak sepenuhnya benar. Sebab, agama juga berkembang dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi ini. Beragam tokoh agama pun mulai eksis dan memanfaatkan teknologi ini. Kompetensi dan kelayakan selama ini kita pegang mendapatkan tantangan.
Lebih jauh, umat malah lebih memanfaatkan media sosial sebagai apa yang disebut Homi Bhabha dengan “Ruang ketiga.” Di ruang tersebut, wajah agama tentu sedikit banyak berbeda atau harus mengalami kalibrasi ulang. Ritual keagamaan yang dihadirkan di ruang-ruang digital pun turut membentuk pengalaman keagamaan baru, hingga bisa menghadirkan tren keberagamaan baru.
Dulu, beragama adalah soal ilmu dan amal. Hari ini, kita telah menyaksikan bahwa beragama juga urusan konsumsi dan menghadirkan relasi-relasi baru di dalamnya. Di salah satu konten media sosial, saya pernah mendapati seorang guru bertanya pada murid-muridnya terkait pengalaman Ramadan mereka. #WarTakjil, Video bangun sahur dengan irama film Avatar, hingga belajar ngaji daring.
****
Jawaban para murid tersebut telah membuktikan bahwa ritual keberagamaan kita tidak sekedar menahan rasa lapar dan dahaga. Namun, di saat bersamaan, kita telah menghadapi tren-tren dalam keberagamaan yang bisa jadi lebih membekas dibanding pengalaman spiritual nan ritmis, yang selama ini kita ceritakan.
Instastory yang sering dikonsumsi oleh generasi muda sepertinya turut bertanggung jawab atas perubahan di atas. Jika pengalaman dulu bersifat personal dan sulit dirasakan, namun media sosial telah mendorong pengalaman tersebut juga dirasakan secara massif, karena bisa dikonsumsi secara massal. Walaupun, kita sering beranggapan pengalaman tersebut masihlah dangkal.
Pengalaman keberagamaan kita yang direkam dan diunggah tersebut pun turut beradaptasi. Foto dan video tidak biarkan tanpa ada sentuhan editan. Instastory memiliki fitur-fitur yang beragam untuk menghadirkan pengalaman baru yang bisa dikonsumsi secara publik, mulai dari ditambahkan musik, caption, hingga hitung mundur. Belum lagi, kita juga saling bertukar informasi lewat teknologi berbagi pesan.
Menariknya, tren, selera, dan pola konsumsi kita atas pengalaman keberagamaan semakin serupa. Video dan foto ritual keberagamaan kita pun diedit dengan gaya dan model yang mirip. Ruang ketiga keberagamaan kita makin lama justru tidak menampilkan wajah yang beragam atau berbeda.
Ritual yang dihadirkan di ruang digital tidak bisa lagi hanya dipandang sebagai memindah medium belaka. Ada perubahan, entah kita sadari atau tidak, di saat bersamaan kala perpindahan medium tersebut. Inilah wajah agama kita hari ini. Begitu.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin