Penyaduran karya sastra sudah sering terjadi dalam khazanah literasi Indonesia. Karya-karya besar Shakespeare telah sampai kepada bangsa Indonesia melalui saduran Trisno Sumardjo. Sastrawan Asrul Sani banyak menyadur lakon-lakon drama dari naskah-naskah penulis Barat, sedangkan penyair Rendra pernah berhasil menyadur karya Dostoyevsky (The Brothers Kamarazov) untuk dipentaskan dalam bentuk drama.
Ada yang menyadur sesuai naskah aslinya. Ada yang disesuaikan dalam konteks kebudayaan Indonesia dengan mengganti judul atau nama-nama tokoh dan pelakunya. Bahkan, tidak jarang kita perhatikan acara-acara siaran televisi, dari tayangan sinetron, infotainment, iklan hingga format penayangan berita, hampir semuanya adalah jiplakan belaka dari sistem penayangan yang ada di layar-layar televisi luar negeri (Barat).
Dalam penampilan teater “Anak yang Dikuburkan” di TIM beberapa waktu lalu, sang sutradara (Iswadi) cukup berhasil menempatkan situasi negeri Amerika Serikat di era 1970-an dalam konteks kebudayaan dan tradisi Indonesia di era 1990-an. Para tokoh yang ditampilkan sangat erat dan lekat dengan karakter orang Indonesia, termasuk lingkungan dan problematika keseharian manusia Indonesia. Untuk menampilkan bahasa Indonesia yang paripurna Iswadi terpaksa mengorbankan gaya bahasa serta memendam “lidah ibu” sebagai warga Sumatera.
Dalam konteks ini, bahasa Indonesia merupakan kesepakatan yang serba paradoks. Kita ingin bahasa nasional kita cemerlang dan optimal tanpa dicampuri oleh residu lisan dari masing-masing kedaerahan kita. Tapi bagaimanapun, semua itu tentu ada preseden baik dan buruknya. Kita tak usah khawatir, karena bangsa yang besar ini telah sepakat bersama-sama untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda (1928).
Saat ini, ketika maraknya aksi-aksi terorisme dan radikalisme, tidak ketinggalan para seniman kita – yang senior maupun yunior – sama-sama sibuk mengoleksi karya-karya luar negeri untuk disadur ke dalam konteks kebudayaan Indonesia. Misalnya tampilan teater di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu, dengan judul “Pembunuh yang Adil”.
Banyak penonton yang terpukau seolah-olah teater tersebut adalah hasil kreasi sutradaranya, atau paling tidak penulis skenarionya. Padahal, naskah teater tersebut adalah saduran dari karya Albert Camus yang mirip dengan peristiwa Revolusi di Rusia (1905) tentang sosok bangsawan Sergei Alexandrovich yang terbunuh oleh para pejuang revolusioner, lalu terjadilah eksekusi hukuman mati terhadap salah seorang pejuang yang mengorbankan diri selaku martir.
Eksekusi mati oleh negara terhadap pejuang yang nekat mengorbankan diri sebagai martir sangat interesan bila dihubungkan dengan konteks pejuang-pejuang radikalisme yang mengatasnamakan ‘jihad’ atau ‘mati syahid’.
Maraknya kasus-kasus bom bunuh diri tak ubahnya dengan serangkaian pemberontakan kaum atheis yang tergambar pada karya Leo Tolstoi, Dostoyevsky, Heinrich Boell, hingga Albert Camus. Jika ditampilkan dalam panggung teater Indonesia tentu akan nyaring suaranya sehubungan dengan maraknya aksi-aksi terorisme akhir-akhir ini.
Panggung teater politik yang diperankan oleh pejuang revolusioner akan menjadi multi tafsir. Karena di satu sisi, dari kacamata para pemberontak, mereka adalah para mujahidin yang menuntut keadilan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Namun di sisi lain, dari kacamata pemerintah, mereka adalah pelaku makar dan subversif yang menganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah kita.
Tapi secara ideologis, apakah bedanya aksi-aksi heroik mereka, baik yang dilakukan para pejuang revolusioner yang atheis, maupun terorisme kaum agamawan yang nekat mengorbankan diri selaku martir dengan menuruti petuah sang mentor (mursyid) dengan jaminan masuk sorga penuh kedamaian di akhirat sana. Siapa yang bisa menjamin kepastian sorga baginya? Bukankah urusan sorga dan neraka adalah mutlak merupakan hak prerogatif Tuhan, yang tak bisa dimonopoli oleh wahyu atau fatwa dari kesolehan ulama dan pendeta manapun?
Melalui roman Botho Strauss, kita diingatkan kembali pada peran sang tokoh, Bekker, yang merasa dirinya sebagai manusia tak berguna, sampah masyarakat, yang tentu akan mudah menerima bujuk-rayu agar membunuh siapapun dengan cara-cara meledakkan tubuhnya sendiri. Lihatlah narasi-narasi yang sangat filosofis dari roman tersebut: “Kebencian menjadi kehangatan sebagai ledakan yang membuncah dan mampu memberi nafas. Ia pun menggabungkan diri dengan kelompok aseksual, tak percaya lagi pada institusi yang bernama ‘rumah-tangga’. Hasrat nafsu telah berubah, semakin menjauh dari makna cinta dan kegunaan hidup dalam keluarga. Ia merasa nikmat untuk hidup dengan pikirannya sendiri, cinta dan keluarga tak bermanfaat lagi, bahkan kematian adalah rasa rindu yang hendak dicapai.”
Dalam pandangan seorang misoginis seperti Bekker, dunia ini teramat kacau dalam otak kepalanya. Tak ada evolusi menuju transformasi perubahan, yang ada hanyalah pikiran mumet, chaos dan benang kusut belaka. Tak ada upaya untuk merajut benang menjadi kain, yang ada hanyalah matarantai ledakan nuklir yang diharap mampu meluluh-lantakkan alam semesta ini. Padahal, dalam ajaran agama manapun, manusia diharuskan berpikir optimistis dalam memperbaiki keadaan. Terutama memperbaiki keadaan dirinya terlebih dahulu.
Dalam soal ini, filosof dan sastrawan Andre Malraux, setelah mengadakan inspeksi ke tengah puing-puing reruntuhan kota bekas pendudukan militerisme NAZI, mewawancarai mereka yang tersusupi oleh doktrin ajaran Hitler, sampai akhirnya menyimpulkan: “Nyaris semuanya begitu pesimis dalam memandang kehidupan, hingga sulit bagi saya untuk menemukan manusia merdeka, dan karenanya sulit sekali untuk ditemukan manusia-manusia dewasa.”
Bukankah dalam ajaran Islam, kita disuruh menanam sebatang pohon yang siap ditanam, meskipun kita mendengar berita bahwa esok akan datang kiamat? Bukankah Nabi Muhammad menganjurkan umatnya agar senantiasa berbaik sangka (husnudzon) kepada Tuhan, bahkan tidak diindahkan bagi siapapun yang mengakhiri hidupnya dalam keadaan berburuk sangka (su’udzon) kepada-Nya?
Mari kita berpikir lebih mendalam untuk mencermati aksi-aksi radikalisme akhir-akhir ini. Dalam suatu acara dialog tentang gerakan radikalisme di negeri ini, sebagai pembicara pernah saya jabarkan proses kreatif dalam penulisan novel Pikiran Orang Indonesia. Secara substanstif saya sampaikan persoalan yang sangat mendasar: Apakah inti masalah yang berada di balik semuanya itu? Mengapa anak-anak muda menghindar dari dekapan keluarganya, kemudian mencari pelampiasan pada petuah-petuah mursyid yang dianggap mampu memberikan solusi dan penyelesaian?
Jika sistem pemerintahan kita kurang fair dan transparan, tidak menciptakan trust bagi proses kedewasaan dan pencerdasan rakyat, dengan segala agenda kepalsuan yang mengundang teka-teki yang tak terjawab. Sementara di sisi lain timbul kasus-kasus korupsi kelas kakap, menyusul jembatan ambrol yang berbulan-bulan tak dibenahi, banjir dan longsor di mana-mana, sekolah dan jalan-jalan rusak, pelayanan publik yang buruk, ribuan pemuda direkrut untuk melakukan aksi yang tak dipahami motif dan misinya. Kemudian, besoknya muncul bencana kelaparan, anak-anak kekurangan gizi. Ya, bukankah semuanya itu akibat belaka dari gejala-gejala yang penyakitnya bersumber dari dalam tubuh para penguasa negeri ini?
Memang tidak mudah untuk menyibak relung-relung terdalam tentang kehidupan masyarakat kita, seandainya kita tidak mampu mengambil jarak dari fenomena yang ada. Secara antropologis, saya mencoba menceburkan diri dan berkubang di tengah masyarakat, kemudian mengambil jarak yang strategis untuk mendalami psikologi analitis guna mencari tahu hakikat kepribadian manusia Indonesia, berikut doktrin-doktrin militerisme Asia yang berkobar di dadanya.
Oleh karena itu, kiranya tepat untuk dinyatakan bahwa seandainya pemerintah kita gagal menelusuri akar masalah yang sesungguhnya, serta-merta segala simtom akan bermunculan dan terus bermutasi dari waktu ke waktu. Anak-anak muda akan terus melarikan diri mencari pelampiasan yang dapat menjawab gugatan mereka. Boleh jadi teror-teror akan sulit dihentikan, direkrut agar menjadi pengabdi-pengabdi yang setia kepada tuannya. Bukan Tuhan (dengan huruf besar) melainkan hanya penguasa atau tuan (dengan huruf kecil). (AN)