Ini Hukum Menggambar Anime Menurut Hadis Nabi

Ini Hukum Menggambar Anime Menurut Hadis Nabi

Bagaimana sih hukum menggambar anime dalam hadis?

Ini Hukum Menggambar Anime Menurut Hadis Nabi
Ilustrasi: Pintu Gerbang Skypiea Island dalam Anime One Piece

Saat penulis berbincang dengan teman satu kelas saat SMA dulu, ia berasal dari SMP Islam yang terkenal elit pada masanya. Kelas seni dimulai dan kami mulai sibuk dengan sketsa kami. Melihat penulis menggambar anime, ia berkata, “Dulu aku juga suka bikin begituan,” sembari menunjukkan kebolehannya itu di tablet miliknya. “Tapi langsung dimarahi sama ustadzku dulu di SMP, katanya ga boleh,” tuturnya.

Tentu penulis tercengang mendengar hal itu, karena selama 16 tahun menjalani hidup sebagai seorang anak dari guru ngaji paling garang di kampung, tak pernah beliau melayangkan rotan sakti miliknya ketika melihat anaknya hobi menggambar Sasuke. Jadi, penulis pikir larangan tersebut hanyalah perbedaan pandangan biasa dan penulis memutuskan untuk tetap melanjutkan hobi penulis itu.

Ketercengangan penulis berubah menjadi ketakutan setelah menjumpai hadis yang diriwayatkan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berikut: “Saya mendengar Nabi Saw. wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang-orang yang suka menggambar.” (HR. Bukhari: 5494)

Makna eksplisit hadis tersebut begitu lugas dan universal, sangat berkebalikan dengan realitas terkini dimana aktivitas seni rupa (dalam koridor normatif) merupakan hal lumrah dalam masyarakat. Sejarah juga membuktikan bahwa media seni rupa seperti wayang, komik, dan animasi digunakan sebagai media dakwah.

Cemas dengan apa yang penulis temukan, penulis memutuskan untuk mengkaji hadis-hadis lain yang masih berkaitan dengan hadis tersebut, berharap menemukan kejelasan rinci nan kontekstual. Hadis-hadis terkait dengan hukum menggambar umumnya diklasifikasikan ke dalam kategori ‘hadis tashwir’. Tashwir sendiri berasal dari kata shawwara (menyerupakan) dan berarti proses dari penyerupaan. (Luwis Ma’luf, Kamus al-Munjid, hal. 339-440).

Ada banyak versi hadis shahih lainnya yang menjelaskan tentang tashwir, namun penulis hanya akan memilih beberapa riwayat yang kiranya dapat mewakili semuanya. Pertama, hadis yang diriwayatkan Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah r.a.:

“Dirinya (‘Aisyah) pernah membeli numruqah (bantal untuk duduk) yang ada gambarnya. Nabi Saw. pun berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke dalam rumah. Seolah-olah melihat kemarahan di wajah beliau, ‘Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, aku bertobat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebenarnya dosa apa yang telah aku perbuat?” beliau bersabda, “Ada apa dengan bantal ini?” dia menjawab, “Aku telah membelinya agar Anda duduk di atasnya atau Anda jadikan sebagai bantal.” Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang menggambar gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka; ‘Hidupkan yang telah kalian buat’.” Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada gambarnya.” (HR. Bukhari: 5504)

Kedua, hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah r.a. ketika Nabi Saw. mendengar Ummu Habibah dan Ummu Salamah menyebutkan gereja yang mereka lihat di Ethiopia yang di dalamnya terdapat gambar-gambar:

“Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya mereka itu apabila ada seorang laM. Maulana Iqbal Firdaus Arrasyidki-laki shalih di antara mereka lalu dia meninggal, maka mereka membangun di atas kuburannya sebuah masjid, dan mereka menggambar (membuat patung) laki-laki tersebut. Mereka itu adalah sejelek-jeleknya makhluk di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Muslim: 822)

Ketiga, hadis qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.: “Aku mendengar Nabi Saw. bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Siapa yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku, hendaklah ia cipta biji sawi, atau biji tepung, atau biji gandum!” (HR. Bukhari: 7004)

Dari hadis pertama, dapat diketahui bahwa larangan tashwir ditujukan atas pembentukan/penyerupaan sesuatu yang bernyawa, karena tidak mungkin azab ‘menghidupkan’ pada hadis tersebut ditujukan untuk diterapkan pada sesuatu yang secara lahiriah tidak dapat dimasukkan ruh ke dalamnya.

Informasi lainnya, gambar merupakan alasan keengganan malaikat masuk ke dalam rumah. Adapun hadis yang dapat memperjelas perihal ini, yakni hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah mengenai Jibril a.s. yang berkata kepada Nabi Saw. bahwa tidak ada yang dapat menghalanginya (Jibril) untuk masuk ke dalam rumah seseorang kecuali jika di dalamnya terdapat patung seorang laki-laki dan tirai bergambar. Jibril kemudian meminta Nabi Saw. untuk memerintahkan umatnya memotong kepala patung hingga berbentuk seperti pohon, memotong tirai bergambar untuk dijadikan bantal yang diduduki, dan mengeluarkan anjing. (HR. Ahmad: 7701, shahih menurut Syu’aib al-Arna’uth)

Pada hadis kedua, dapat diketahui bahwa tashwir yang dilarang adalah yang ditujukan pada praktik kesyirikan. Petunjuknya ada pada gereja yang berhubungan dengan kaum Nasrani, kaum yang diabadikan dalam Alquran menjadikan Rasul yang diutus kepada mereka sebagai Tuhan.

Yusuf al-Qardhawi pun menjelaskan asbabul wurud hadis terkait, bahwa di antara umat-umat terdahulu ada yang membuat patung orang-orang saleh yang sudah meninggal untuk mengenang mereka, namun seiring berjalannya waktu mereka menyakralkannya sedikit demi sedikit hingga akhirnya dijadikan sesembahan selain Allah. (Yusuf al Qardhawi, al-Halal wal Haram fil Islam, hal.110-111)

Hal tersebut sejalan dengan firman Allah Swt. dalam QS. Nuh ayat 23: “Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.”

Ibnu Abbas r.a. kemudian menjelaskan bahwa kelima nama yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah nama-nama orang saleh di masa mereka yang sudah meninggal, setan membisikkan untuk mendirikan patung atas nama mereka, dan setelah ilmu tiada berhala-berhala itu pun disembah oleh generasi sesudah mereka. (HR. Bukhari 4539)

Al-Qardhawi menyatakan bahwa di antara rahasia diharamkannya patung adalah untuk menjaga tauhid dan mencegah umat Islam menyerupai kaum penyembah berhala yang membuat patung kemudian mengagungkan dan berdiri di depannya dengan penuh khusyu’. (Yusuf al Qardhawi, al-Halal wal Haram fil Islam, hal.110)

Pada hadis ketiga, dapat diketahui bahwa orang yang menciptakan hal yang serupa seperti ciptaan Allah Swt. adalah orang yang paling zalim. Lebih lanjut al-Qardhawi menjelaskan bahwa yang dimaksudkan adalah orang yang memiliki intensi untuk menyaingi ciptaan-Nya. (Yusuf al-Qardhawi, al-Islam wa al-Fann, hal.95)

Ulama pun berbeda pendapat mengenai hal ini. Kelompok yang membolehkan aktivitas menggambar berpendapat bahwa tashwir yang diharamkan adalah membuat patung/penyerupaan tiga dimensi. Sedangkan menggambar pada bidang datar (musathah) dibolehkan namun dihukumi makruh, kemakruhannya hilang apabila diterapkan pada media yang tidak terhormat. (Ahmad Hilmi, Tashwir Seni Rupa dalam Pandangan Islam, hal. 15)

Dalil yang umum digunakan adalah ayat-ayat Alquran mengenai pengharaman berhala seperti QS. al-Shāffāt [37]:95-96, serta hadis dalam Shahih Bukhari yang menyatakan bahwa seorang sahabat yakni ‘Ubaidullah al-Khawlāny mengaku pernah mendengar Nabi Saw. mengecualikan gambar pada pakaian dalam perkara tashwir. (HR. Bukhari: 2987)

Hadis ketiga dalam tulisan ini juga dijadikan dalil kebolehan musathah, dikarenakan Allah Swt. menciptakan sesuatu dalam bentuk mujassam (tiga dimensi) sehingga kezaliman yang dimaksudkan juga merupakan aktivitas penyerupaan dalam media tiga dimensi. (Ahmad Hilmi, Tashwir Seni Rupa dalam Pandangan Islam, hal. 16)

Kelompok yang mengharamkan secara mutlak, mendasarkan argumennya kepada petunjuk eksplisit hadis-hadis tashwir pada umumnya, sebagai bentuk kehati-hatian. Mayoritas ulama madzhab masuk ke dalam kelompok ini kecuali kalangan Malikiyah yang membolehkan musathah. (Ibn Nujaim, Al-Thahtawi ‘ala al-Dur al-Mukhtar, hal. 273)

Ada pula kelompok yang mencoba menengahi kedua pendapat. Beberapa ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menghalalkan musathah dengan syarat gambar yang dihasilkan tidak menampakkan anggota badan yang lengkap. (Ahmad Hilmi, Tashwir Seni Rupa dalam Pandangan Islam, hal. 24)

Setelah mencermati berbagai pendapat dan argumen tentang tashwir, penulis menarik beberapa kesimpulan. Pertama, pada dasarnya illat (alasan) pengharaman tashwir terletak pada adanya intensi kesyirikan atau menyaingi Tuhan. Kedua, tashwir yang tidak diperbolehkan adalah yang menampakkan seluruh anggota tubuh makhluk bernyawa dan yang diletakkan pada media yang menunjukkan penghormatan.

Dengan demikian, menurut penulis aktivitas menggambar anime dibolehkan jika tidak melibatkan salah satu aspek yang mengharamkan dari kedua poin tersebut. Mengingat banyak karakter anime yang tidak serupa dengan makhluk bernyawa di bumi, seharusnya hal tersebut bukan masalah besar. (AN)