Ini Cara Menghormati Masjid dan Pahala Bagi Orang yang Melakukannya

Ini Cara Menghormati Masjid dan Pahala Bagi Orang yang Melakukannya

Ini Cara Menghormati Masjid dan Pahala Bagi Orang yang Melakukannya
Foto: Elik/Islamidotco

Salah satu tindakan hurmat masjid yang paling umum adalah melakukan shalat tahiyyatul masjid setiap kali masuk ke dalamnya, baik dalam rangka menunggu shalat lima waktu maupun hanya untuk keperluan i’tikaf. Dalam fiqih, shalat tahiyatul masjid ini bisa dilakukan kapan saja. ia merupakan kelompok shalat yang karena ada sebab, yaitu sebab masuk masjid.

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , أَنَّهُ قَالَ: «إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

Artinya:

“Dari Nabi SAW sesungguhnya beliau bersabda, saat salah satu dari kalian masuk ke dalam masjid, maka jangan buru-buru duduk sehingga ia menunaikan sholat dua rakaat (tahiyyatu al-masjid)” (Abu Laits Al-Samarqandy, Tanbihu al-Ghafilin, Damaskus: Daru a-Fikr, tt., 303)

Akan tetapi para fuqaha’ tetap memberi batasan, yaitu diharamkannya melakukan shalat tersebut manakala masuknya masjid dikarenakan ada sebab tafrith (sembrono), seperti menyengaja menunda-nunda masuk masjid dan masuknya pada waktu yang diharamkan. Hukum keharaman ini berubah menjadi sunnah manakala masuknya dikarenakan menunggu waktu shalat, dan bukan karena tafrith, yakni sengaja masuk di waktu diharamkannya shalat. Al-Faqih al-Qadli Abu Laits al-Samarkandi memberikan tuntunan:

فَأَمَّا إِذَا دَخَلَ فِي الْمَسْجِدِ بَعْدَمَا يُصَلِّي الْعَصْرَ، أَوْ بَعْدَمَا صَلَّى الْفَجْرَ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُصَلِّيَ لِأَنَّهُ نُهِيَ عَنِ الصَّلَاةَ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ، وَلَكِنَّهُ يُسَبِّحُ وَيُهَلِّلُ، وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنَالَ فَضْلَ الصَّلَاةِ وَأَدَّى عَنْهُ حَقَّ الْمَسْجِدِ

Artinya:

“Adapun bila masuknya masjid diakukan setelah sholat ashar atau setelah sholat shubuh, maka sebaiknya tidak melaksanaan sholat tahiyyatul masjid, karena saat itu adalah saat dilarang melakukan sholat. Namun, seyogyanya ia beralih membaca tasbih, tahlil, dan bersholawat atas Baginda Nabi SAW. Dengan membacanya, si hamba sudah mendapatkan keutamaan sholat dan sudah mendatangi hak masjid (sebagai yang layak dihormati).” (Abu Laits Al-Samarqandy, Tanbihu al-Ghafilin, Damaskus: Daru a-Fikr, tt., 303)

Selain melakukan shalat tahiyyatul masjid, yang lebih penting dari masjid adalah memakmurkannya. Ada banyak hadis yang menjelaskan mengenai hal tersebut. Nabi SAW beberapa kali bersabda:

الْمَسَاجِدُ بُيُوتُ الْمُتَّقِينَ

Artinya:

“Masjid itu adalah rumah orang-orang yang bertaqwa.”

Dalam hadis yang lain, Rasul SAW bersabda:

كُونُوا فِي الدُّنْيَا أَضْيَافًا، وَاتَّخِذُوا الْمَسَاجِدَ بُيُوتًا وَعَلِّمُوا قُلُوبَكُمُ الرِّقَّةَ، وَأَكْثِرُوا التَّفَكُّرَ وَالْبُكَاءَ لَا تَخْتَلِفَنَّ بِكُمُ الْأَهْوَاءُ

Artinya:

“Jadilah kalian di dunia ini sebagai layaknya tamu. Jadikanlah masjid-masjid sebagai layaknya rumah! Jadikan hatimu yang perasa! Perbanyak tafakkur dan menangis! Jangan sampai kalian dipalingkan oleh kesenangan-kesenangan duniawi!” (Abu Laits Al-Samarqandy, Tanbihu al-Ghafilin, Damaskus: Daru a-Fikr, tt., 304)

Maksud dari kedua hadis di atas ada dua yaitu:

  1. Agar orang-orang yang bertaqwa senantiasa betah tinggal di masjid, untuk berdzikir, tafakkur, dan menangisi dosa atau kemaksiatan yang telah diperbuat. Dengan cara ini, maka secara otomatis masjid menjadi ramai dan dipergunakan sebagaimana mestinya yaitu sebagai tempat berdzikir.
  2. Agar hati senantiasa terpaut dengan masjid, maka hendaknya tiap-tiap rumah memiliki tempat khusus yang diperuntukkan untuk shalat (masjid)

Qatadah radliyallahu ‘anhu, suatu ketika berkata:

مَا كَانَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُرَى إِلَّا فِي ثَلَاثَةِ مَوَاطِنَ: مَسْجِدٍ يَعْمُرُهُ، وَبَيْتٍ يَسْتُرُهُ، وَحَاجَةٍ لَا بَأْسَ بِهَا

Artinya:

“Tiada seorang mukmin didapati melainkan di tiga tempat: di masjid sehingga ia memakmurkannya, di rumah sehingga ia menutupinya (dari cela), dan di tempat melaksanakan hajat yang mubah baginya.” (Abu Laits Al-Samarqandy, Tanbihu al-Ghafilin, Damaskus: Daru a-Fikr, tt., 304)

Al-Nazzal ibn Sabrah rahimahullah, suatu ketika juga berkata:

الْمُنَافِقُ فِي الْمَسْجِدِ كَالطَّيْرِ فِي الْقَفَصِ

Artinya:

“Orang munafiq, berada di dalam masjid seperti burung di dalam sangkar.”

Suatu hari, Khalaf ibn Ayyub sedang duduk-duduk di masjid, sampai kemudian putranya datang kepadanya dan bertanya tentang sesuatu urusan. Demi melihat putranya itu, ia bangkit berdiri menghampirinya keluar dari masjid, lalu menjawab pertanyaannya. Melihat sikap Abu Ayyub dalam menjawab pertanyaan putranya ini, sampai harus keluar dari masjid, salah seorang lagi yang lain bertanya, kok sampai harus keluar segala untuk menjawab pertanyaan begitu saja. Bukankah cukup dengan berteriak dari dalam masjid, hal itu sudah terpenuhi jawaban pertanyaan putranya itu. Lalu Abu Ayyub berkata:

مَا تَكَلَّمْتُ فِي الْمَسْجِدِ بِكَلِمِ الدُّنْيَا مُنْذُ كَذَا سَنَةٍ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ الْيَوْمَ

Artinya:

“Tiada aku pernah berbicara dengan satu permaslahan duniawi sejak tahun segini dan segini. Sebagaimana aku tidak pernah melakukannya sejak tahun itu, maka demikianlah aku membencinya berbicara tentang urusan duniawi di dalam masjid pada detik ini.” (Abu Laits Al-Samarqandy, Tanbihu al-Ghafilin, Damaskus: Daru a-Fikr, tt., 304)

Berangkat dari beberapa hadits dan kisah di atas, Abu Laits memberikan sebuah catatan hikmah:

إِنَّمَا يَصِيرُ لِلْعَبْدِ مَنْزِلَةٌ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى إِذَا عَظَّمَ أَوَامِرَهُ، وَعَظَّمَ بُيُوتَهُ، وَعِبَادَهُ، وَالْمَسَاجِدُ بُيُوتُ اللَّهِ، فَيَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُعَظِّمَهَا فَإِنَّ فِي تَعْظِيمِ الْمَسَاجِدِ تَعْظِيمَ اللَّهِ تَعَالَى

Artinya:

“Sesungguhnya, seorang hamba benar-benar akan menempati derajat sebagai sebenar-benar hamba Allah Ta’ala apabila dia mahu mengagungkan mercusuar-mercusuarnya Allah di dunia, mengagungkan rumah-rumah-Nya, dan mengagungkan sesama hamba-Nya. Masjid adalah rumah Allah. Maka sepatutnya bagi seorang mukmin mengagungkannya, karena sesungguhnya mengagungkan masjid adalah sama dengan mengagungkan Allah Ta’ala.” (Abu Laits Al-Samarqandy, Tanbihu al-Ghafilin, Damaskus: Daru a-Fikr, tt., 304)