Masjid SPBU Jadi Tempat Ibadah Favorit Masyarakat, Apa yang Bisa Dipelajari?

Masjid SPBU Jadi Tempat Ibadah Favorit Masyarakat, Apa yang Bisa Dipelajari?

Alasan para tukang ojek itu sederhana. Masjid-masjid di SPBU selalu welcome bagi mereka yang ingin transit, baik untuk shalat, ikut ke kamar kecil atau sekadar istirahat barang sejenak.

Masjid SPBU Jadi Tempat Ibadah Favorit Masyarakat, Apa yang Bisa Dipelajari?

Ada satu cerita menarik sekaligus mengejutkan yang disampaikan oleh salah satu fasilitator di acara Pelatihan MPMB (Masjid Profesional, Moderat, dan Berdaya) yang digelar di Yogyakarta pada tanggal 29-31 Juli 2023 lalu.

Cerita itu, menurut Kang Pipit, fasilitator dari Maarif Institut, didasarkan pada survei kecil-kecilan yang dia lakukan, tentang masjid manakah yang dianggap favorit di Jakarta. Partisipannya adalah tukang ojek online. Hasilnya, masjid terfavorit adalah masjid SPBU.

Alasan para tukang ojek itu sederhana. Masjid-masjid di SPBU selalu welcome bagi mereka yang ingin transit, baik untuk shalat, ikut ke kamar kecil atau sekadar istirahat barang sejenak. Masjid-masjid di SPBU selalu membuka pintu untuk mereka kapan saja, bahkan di larut malam. Sementara itu, banyak masjid lain yang dibangun megah dan mewah justru menutup diri. Di luar jam-jam shalat, masjid-masjid itu digembok, tidak hanya bagian dalam tapi juga gerbangnya.

Saat itu forum sedang membahas tentang staregi layanan masjid. Pelatihan MPMB yang diprakarsai oleh Kementrian Agama itu memang (selain hendak menjadikan masjid sebagai pelopor moderasi beragama) ingin mengajak para pengurus Takmir untuk mengelola masjid secara profesional, moderat dan berdaya.

Profesionalitas para pengelola dapat dimulai dari memahami tiga komponen penting yaitu idarah (perencanaan, pengorganisasian, pengadministrasian, keuangan), imarah (program kerja atau  kegiatan-kegiatan yang dilakukan) dan ri’ayah (fasilitas yang disediakan, perawatan, pelayanan, peralatan, sistem keamanan dan lainnya).

Moderat berkaitan dengan sikap dan cara pandang para pengelola. Pengelola yang memiliki pandangan moderat dapat mengondisikan masjid sebagai tempat mendisemimasikan nilai dan perspektif moderat, ramah dan toleran sehingga dapat berkontribusi dalam menciptakan kenyamanan dan kerukunan di masyarakat. Hal itu bisa diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan taklim yang digelar atau konten-konten khotbah yang sampaikan.

Adapun berdaya berarti para pengelola dapat menggerakkan potensi-potensi yang dimilikinya. Jamaah adalah kumpulan orang dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi. Jika pengelola masjid mampu mengorganisasi jamaah tersebut,terutama di luar saf-saf salat, tidak mustahil masjid akan menjadi pusat kegiatan umat yang memberdayakan serta memakmurkan jamaahnya.

Revitalisasi masjid ini tentu butuh proses panjang, komitmen yang teguh dari banyak kalangan, juga sumbangan tenaga, pikiran, dan dana. Pelatihan MPMB yang dihelat di sejumlah kota di Indonesia itu adalah salah satu langkah yang sedang ditempuh pemerintah untuk mendorong masjid  untuk menyiapkan diri ke arah sana.

Tentu saja sudah banyak masjid yang berfungsi optimal. Mereka menciptakan terobosan-terobosan menarik. Profil masjid-masjid ini diangkat sebagai contoh dan inspirasi selama latihan. Namun harus juga diakui banyak masjid yang fungsinya masih sebatas tempat untuk salat lima waktu saja. Di luar itu, seperti dikeluhkan oleh para tukang ojek di atas, masjid ditutup rapat-rapat.

Maka, apresiasi para tukang ojek terhadap masjid-masjid SPBU menjadi pengingat penting. Betapa tempat ibadah sekecil itu, yang awalnya mungkin didesain sekadar sebagai fasilitas bagi karyawan SPBU sendiri dan pembeli bahan bakar, bisa memberikan dampak yang besar bagi jamaah jika dikelola dengan baik. Setidaknya, manajemen SPBU telah memahami kategori dan karakter masjidnya sebagai masjid transit.

Pemahaman ini pada gilirannya akan menentukan strategi dan jenis layanan yang perlu disiapkan untuk jamaahnya. Sebab setiap masjid pada dasarnya memiliki kategori yang berbeda. Perbedaan ini memengaruhi karakter dan kekhasan tiap masjid. Masjid perkampungan, misalnya, memiliki karakter dan kebutuhan yang berbeda dengan masjid di perumahan, perkantoran, mal, di lembaga pendidikan, atau SPBU.

Jamaah di masjid perkampungan relatif lebih tetap. Takmir dapat dengan mudah menyusun demografi jamaah: siapa saja mereka, berapa jumlah yang laki-laki dan berapa yang perempuan, usia berapa saja, pekerjaannya apa, kondisi ekonominya bagaimana, siapa saja yang belum akktif ke masjid dan mengapa; berapa lama jamaah berada di sana; kapan saja waktu yang ramai, dan sebagainya. Data-data tersebut berguna untuk menetapkan visi dan misi, merancang program-program kerja yang pas untuk diagendakan, atau memutuskan jenis layanan atau fasilitas apa yang perlu disediakan.

Ada banyak layanan yang bisa diberikan oleh masjid. Misalnya buka 24 jam, toliet yang bersih dan wangi, karpet yang empuk, sound system yang bagus, wifi gratis, parkir yang luas, CCTV, kipas angin dan AC, kontak colokan HP, air mineral atau kopi dan teh, payung, kamar tidur untuk musafir, mobil untuk antar-jemput jamaah, jalur untuk difabel, dan banyak lagi lainnya. Tapi layanan-layanan yang bagus tersebut bisa menjadi sia-sia jika tidak relevan dengan kebutuhan jamaahnya.

Bercermin dari masjid SPBU, kita bisa berharap bahwa dari masjid-masjid yang ada kita sebenarnya bisa menggalang kekuatan untuk menciptakan gelombang perubahan yang lebih besar di masyarakat. Harapan itu bisa terwujud jika masjid kita profesional, moderat, dan berdaya. (AN)