Imajinasi Di Balik Larangan Bertamu Jelang Magrib di Kota Demak

Imajinasi Di Balik Larangan Bertamu Jelang Magrib di Kota Demak

Bagaimana melihat persoalan di Demak yang melarang bertamu sampai Magrib

Imajinasi Di Balik Larangan Bertamu Jelang Magrib di Kota Demak

Demak, kota kelahiran saya yang jarang terdengar gaungnya, tiba-tiba beberapa hari ini namanya terpampang di beberapa tajuk utama media massa. Latar belakangnya sederhana, Bupati Demak baru saja menerbitkan edaran yang melarang pihak-pihak dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah/forkopimda dan jajaran ASN untuk bertamu di waktu magrib dan isya.

Selain larangan bertamu, hal lain yang tidak diperkenankan adalah menggelar kegiatan atau perayaan di waktu magrib di tempat-tempat umum. Edaran ini dikecualikan untuk besuk orang sakit, takziyah, acara pernikahan, khitanan, pengajian, dan kegiatan keagamaan lainnya.

Dimintai konfirmasi terpisah, Pemerintah Kabupaten Demak membenarkan soal surat edaran yang kini viral tersebut. Kebijakan tadi pun disebut bersifat sebagai imbauan semata. Namun di dunia maya, kebijakan pimpinan kota wali itu langsung mendapatkan cemoohan. Selain dianggap tidak penting, hal itu terkesan hanya bertujuan untuk pencitraan semata.

Bukankah ketika bertamu, bisa saja tuan rumah mengajak tamunya untuk sholat bersama? Bukankah itu justru mendatangkan lebih banyak pahala ketimbang beribadah sendirian?

Bagi yang melihatnya dari kacamata yang lebih positif, sekilas saja, bagi warga kota wali, hal ini mungkin secara praktis terkait erat dengan gerakan ‘magrib matikan TV, ayo mengaji’, yang sudah digagas oleh bupati di awal kepemimpinannya. Namun apakah relasinya sesederhana itu? Mari kita cermati isinya dan kaitkan dengan situasi sosial politik di salah satu wilayah Pantura tersebut.

Dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Sibhanallahu Wa ta’ala serta mendukung visi Pemerintahan Kabupaten Demak dalam mewujudkan Gerakan ‘Maghrib Matikan TV, Ayo Mengaji’, dengan ini mengimbau :
1. Kepala Perangkat Daerah, Camat, dan Kepala Desa;
2. Jajaran TNI dan Polri, kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Instansi Vertikal;
3. Kepala BUMN dan BUMD;
4. Pimpinan Organisasi Masyarakat, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat;
5. Pimpinan Perusahaan, Dunia Usaha dan Lembaga Kemasyarakatan;
6. Seluruh anggota ASN, karyawan-karyawati di lingkungan BUMN/BUMD di wilayah Kabupaten Demak.

agar tidak menerima tamu/kunjungan atau bertamu/berkunjung pada saat menjelang waktu Maghrib sampai dengan waktu Isya tiba (pukul 17.00 WIB s.d. 19.00 WIB) agar masyarakat dan keluarga dapat memanfaatkan waktu dengan melakukan aktivitas mengaji/belajar agama atau pengetahuan umum.

Jadi, berbeda dengan isu yang beredar, imbauan untuk tidak bertamu sebenarnya hanya sebatas pada pihak-pihak tertentu saja, bukan semua individu.

Bila kita jeli, hal ini bisa saja dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat di kota wali. Bagi masyarakat awam, utamanya warga Demak yang dikenal sebagai kaum muslim tradisionalis, kebijakan tadi bernada populis dan ditujukan untuk menggaet suara-suara pemilih muslim yang notabene lebih mengdepankan formalitas dalam beragama yang ditandai dengan peribadahan ritual.

Di sisi lain, melarang kaum elit untuk bertamu dan bersilaturahmi juga bisa menandakan bahwa pimpinan ‘bermain aman’ dengan mencegah orang-orang penting berkongsi lebih jauh, utamanya mendekati waktu tanding pilkada yang makin dekat. Sehingga menyikapi imbauan politis ini kita tidak perlu sampai membuang-buang energi untuk berkomentar bahkan mengkhawatirkan Demak akan menjadi daerah ‘darurat sosial’. Tentu saja itu tidak perlu.

Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu kebijakan publik jangan hanya dilihat dari permukaan saja, mari biasakan menggunakan sudut pandang, ‘ada udang dibalik rempeyek, eh batu..’ agar kita tidak mudah diperdaya oleh kalangan elit politik melalui apapun itu bentuknya. Bagaimana menurutmu?