Ibu Menyusui Tapi Malah Bekerja, Bagaimana Hukumnya?

Ibu Menyusui Tapi Malah Bekerja, Bagaimana Hukumnya?

Ibu bekerja dan tidak sempat menyusui anaknya, benarkah akan diadzab?

Ibu Menyusui Tapi Malah Bekerja, Bagaimana Hukumnya?

Menjadi seorang ibu merupakan dambaan bagi sebagian besar perempuan. Proses mengandung, melahirkan hingga menyusui dapat menjadi momen tak terlupakan, terutama bagi orang yang baru saja menjadi ibu. Itu semua termasuk salah satu kodrat dan anugerah yang Allah berikan kepada wanita.

Setelah bayi lahir, maka ibu akan memasuki masa menyusui. Menyusui bayi merupakan kegiatan yang sangat penting bagi seorang ibu yang baru melahirkan. Karena ASI yang diberikan kepada bayi merupakan makanan yang bernutrisi tinggi dan sebagai makanan pertama bagi sang bayi. Selain itu menyusui juga merupakan kegiatan yang dapat menumbuhkan dan memperdalam hubungan (bonding) cinta kasih antara seorang ibu dengan bayinya.

Terkait masalah ini, syariat Islam secara khusus telah membahasnya, meskipun persoalan ini terkadang masih belum diketahui dan dipahami oleh sebagian orang. Disebutkan dalam Al-Qur’an,

{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ} [البقرة: 233]

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (men-derita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apa-bila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 233)

Hikmah yang terkandung dalam ayat di atas yaitu menekankan pentingnya pemberian ASI dari seorang ibu kepada anaknya. Para ulama sepakat menyatakan, menyusui anak itu merupakan suatu kewajiban dan perintah Allah. Hal ini sangat penting untuk memastikan keberlangsungan kehidupan anak tersebut, karena ASI merupakan makanan utama yang terbaik bagi bayi yang baru dilahirkan, sedangkan pemberian ASI merupakan hak yang harus diberikan kepada anak tersebut.

Sekiranya seorang perempuan tidak bersedia untuk menyusui anaknya tanpa alasan yang dibenarkan, atau tidak mempunyai halangan tetapi tetap enggan menyusukan anaknya, maka ia dianggap telah melanggar perintah Allah dan melawan fitrahnya sebagai perempuan. Ulama Fikih juga telah bersepakat adanya antara kewajiban dan hak ibu dalam menyusui anaknya. Dalam konteks ini para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama, yaitu dari Imam Malik yang menyatakan bahwa seorang ibu wajib menyusui anaknya kecuali adanya alasan syar’i atau kondisi yang tidak memungkinkan wanita tersebut meyusukan bayinya. Semisal, jika seorang ibu tersebut tergolong dalam wanita yang mempunyai martabat tinggi, menurut adat dan tradisi tidak boleh menyusukan anaknya. Dalam situasi ini boleh diupah wanita lain untuk menggantikan tugasnya. Namun pengecualian ini akan gugur apabila adanya masalah seperti jika bayi tersebut menolak susu wanita lain kecuali susu ibunya.

Hal ini diperkuat dengan hadits Rasulullah mengenai ancaman bagi wanita yang enggan menyusui bayinya,

Dari Abu Umamah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِنِسَاءٍ تَنْهَشُ ثَدْيَهُنَّ الْحَيَّاتُ, قُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ: هَؤُلَاءِ اللَّاتِي يَمْنَعْنَ أَوْلَادَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ

Kemudian Malaikat itu mengajakku melanjutkan perjalanan, tiba-tiba aku melihat beberapa wanita yang payudaranya dicabik-cabik ular yang ganas. Aku bertanya: “Kenapa mereka?” Malaikat itu menjawab: “Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i)’.” (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya 7491, Ibnu Khuzaimah 1986)

Pendapat kedua, yaitu dari Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafi’i dan Imam Ahmad. Mereka bersepakat bahwa hukum seorang ibu untuk menyusukan itu tidak wajib tetapi sunnah. Seorang ibu tidak boleh dipaksa untuk menyusukan anaknya mengikuti ketentuan hukum kecuali dalam keadaan darurat dan tidak ada pilihan.

Jika kita melihat fenomena yang saat ini terjadi, lalu bagaimana dengan ibu pekerja yang tidak memberikan ASI kepada bayinya? Maka hal ini harus dilihat terlebih dahulu kondisi dan alasannya.

Dalam Islam hukum seorang perempuan untuk bekerja itu dibolehkan, dan akan lebih baik apabila ia berniat untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup yang tentu saja atas izin dan ketentuan dari suaminya. Karena pada dasarnya memang sudah kewajiban seorang suami untuk bekerja, menafkahi dan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Apabila seorang perempuan yang bekerja hanya bertujuan untuk mengejar karir di dunia, menganggap bahwa menyusui akan mengganggu pekerjaannya sehingga enggan untuk menyusui bayinya, menelantarkan hak anaknya atau ingin menjaga bentuk tubuhnya maka hal inilah yang tidak dibenarkan. Alasan-alasan ini tidak menjadi alasan syar’i yang dapat diterima. Karena sama saja ia dengan sengaja menghalangi anaknya untuk mendapatkan nutrisi dari ASI nya.

Sementara itu, apabila perempuan tersebut bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan, wanita tersebut berkeinginan untuk menyusui bayinya namun keadaan dan kondisinya tidak memungkinkan atau terdapat alasan syariat lainnya maka hal ini masih dibolehkan dan tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan di dalam hadis di atas.

Di sisi lain terkait antara pekerjaan dan pemberian ASI ini, terdapat kajian yang menunjukkan bahwa pekerjaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemberian ASI. Perempuan yang bekerja maupun tidak bekerja memiliki durasi yang tidak jauh berbeda dalam memberikan ASI.

Hal ini dapat terjadi apabila jarak rumah dengan tempat bekerja dekat sehingga pada saat istirahat ibu dapat pulang untuk menyusui anaknya. Selain itu, jenis pekerjaan dan durasi waktu bekerja juga menentukan apakah sang ibu dapat memberikan ASI kepada anaknya atau tidak.

Oleh karena itu, untuk mempermudah seorang ibu yang tidak memungkinan dalam menyusui bayinya Islam membolehkan seseorang menyusui anaknya kepada wanita lain dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa orang tua boleh menyusukan anaknya kepada orang lain yaitu:

وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ  [البقرة: 233]

“Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.” (Qs. Al-Baqarah: 233)

[الطلاق: 6]{ … وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى}

“Jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya…” (QS. At-Thalaq: 6)

Hemat penulis, alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan bagi perempuan yang bekerja namun tetap ingin memberikan ASI kepada bayinya yaitu dengan memberikan ASI perah dalam kondisi segar maupun tersimpan, atau yang disebut dengan menyusui secara tidak langsung.

Terlepas dari pendapat-pendapat yang sudah disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah: 233 tersebut adalah sangat dianjurkan bagi seorang ibu untuk menyempurnakan masa penyusuan bayinya. Karena menyusui merupakan sesuatu yang memiliki manfaat bukan hanya untuk bayi akan tetapi juga bagi ibunya.

Kondisi dan keadaan yang tidak memungkinkan bagi sang ibu yang tidak dapat menyusui anaknya terutama ibu pekerja dapat dilakukan dengan alternatif yang dibolehkan dalam ketentuan Islam. Terutama dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi sang bayi dan hak anak untuk mendapat ASI tetap tertunaikan. Hal ini pun tentu didasarkan penghormatan kepada perintah Allah dan pelaksanaan hukum-Nya, serta tidak bertujuan meremehkan perintah-Nya. (AN)

Wallahu A’lam bish Shawab.

 

Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja