Perempuan Bekerja: dari Gengsi Para Suami Hingga Stigma Tetangga

Perempuan Bekerja: dari Gengsi Para Suami Hingga Stigma Tetangga

Menurut Lilik Ummi Kaltsum, beberapa perempuan yang bekerja mengalami dua hal ini.

Perempuan Bekerja: dari Gengsi Para Suami Hingga Stigma Tetangga
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. (Gambar: Video Nutizen)

Siang itu, udara di daerah Ciputat sedang panas-panasnya. Untungnya, ruang Dekanat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dilengkapi pendingin ruangan (AC), sehingga orang-orang yang berada di dalam tidak perlu lagi mengibas-ngibaskan bajunya untuk menyingkirkan rasa gerah.

Sosok yang kami tunggu akhirnya datang, beliau adalah Dr. Hj. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., dosen jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bu Lilik, begitu kami memanggilnya, mempersilahkan kami masuk ke ruang kerja Wakil Dekan II Bidang Adminitrasi Fakultas Ushuluddin, jabatan lain yang diamanahkan kepadanya.

“Maaf, tadi ada undangan mendadak dari Kemenag,” ucapnya, yang kemudian meneguk segelas air yang ada di mejanya. Terlihat juga beberapa berkas yang tergeletak di meja.

Kami pun mulai berbincang dengan perempuan asli Surbaya ini. Saat itu, topik perbincangan kami adalah seputar ‘perempuan bekerja’. Sebagai seorang yang telah lama menjabat sebagai dosen, tentu beliau memiliki pengalaman yang banyak sebagai seorang perempuan yang bekerja.

Menurutnya, agama sama sekali tidak melarang perempuan aktif di ruang publik. Ketaatan yang harus dimiliki seorang perempuan adalah ketaatan kepada Allah dan Rasulnya.

“Secara agama kan tidak apa-apa, tidak ada larangan perempuan aktif di publik. Yang dilarang itu perempuan tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, juga perempuan yang tidak bertanggung jawab sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya.” Jelasnya.

Dalam konteks berumah tangga, umumnya tanggung jawab dibebankan kepada suami, termasuk segi finansial. Bahkan, menurut Lilik, secara naluriah seorang suami akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Lain halnya ketika dalam konteks tertentu yang memaksa sang suami tidak bisa bekerja. Oleh karena itu, baginya sah-sah saja apabila ada seorang istri yang juga ingin bekerja.

Namun menurut perempuan yang hafidzah ini, dalam keluarga yang paling penting adalah kesepakatan antara suami istri. Karena semua hal yang terjadi dalam rumah tangga seharusnya bisa dibicarakan dan dimusyawarahkan bersama

“Terserah aja dalam keluarga itu. Sebenarnya dalam rumah tangga itu kan kuncinya kesepakatan.” Tuturnya.

Karena itulah, manajemen keluarga yang baik sangat diperlukan. Karena, relasi suami-istri adalah relasi yang sangat sakral.

 

Laki-laki Sering Gengsi Jika Istrinya Bekerja

Mantan ketua jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarya ini menyebut, para suami sering kali gengsi jika istrinya bekerja, bahkan lebih gengsi lagi jika penghasilan istri lebih besar dari pada suami.

“Cuma, yang sering itu laki-lakinya gengsi. Jadi, yang perlu dilunakkan itu kegengsian si laki-laki,” ucapnya.

Alangkah baiknya, menurutnya, laki-laki bisa menahan gengsi dan egonya. Di sisi lain, perempuan yang lebih bagus karir atau pekerjaannya, tetap menjadi istri yang baik saat berada di rumah dan tidak menang-menang sendiri.

Lilik juga menekankan kepada para suami agar tidak “mengekang” istrinya di rumah saja, meskipun sudah ada kesepakatan agar istrinya tidak bekerja. Hal tersebut bisa membuat sang istri tertekan karena hanya menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah. Padahal, istri pun juga butuh ‘menghirup udara segar’ di luar rumah.

Wakil Dekan II Ushuluddin ini beberapa kali menemukan suami yang merasa dengan dirinya telah bekerja, membuatnya terbebas dari pekerjaan rumah yang telah ia bebankan kepada istri, sehingga dia hanya leha-leha saat di rumah. Maunya hanya dilayani, makan pun minta diambilkan.

“Itu namanya nggak tau diri, saya sering marah ke laki-laki yang model begitu,” tegasnya.

Bahkan ada beberapa suami yang melakukan pembenaran atas perbuatannya dengan dalil-dalil agama. Padahal, Rasulullah dan para ulama justru mencontohkan sebaliknya. Namun, menurut Lilik, fenomena tersebut kadang juga dipengaruhi oleh adat dan budaya di sekitarnya. Misalnya, ada adat di daerah tertentu yang menganggap bahwa laki-laki tidak boleh mengambil alih pekerjaan rumah, karena semua itu dianggap tugas tunggal seorang perempuan.

“Laki-laki nggak boleh pegang sapu, nggak boleh pegang pekerjaan rumah, (mereka menganggap) itu namanya menurunkan martabat (laki-laki). Itu kata siapa?” ujarnya.

 

Perempuan Bekerja Sering Mendapat Stigma Negatif

Perempuan yang bekerja sering menerima komentar negatif, khususnya perempuan yang telah menjadi ibu. Lilik memiliki pengalaman terkait hal ini. Beliau menceritakan saat dirinya sering mendapat cibiran dari tetangga sekitar, mereka menganggap bahwa Lilik hanya sibuk berkarir tanpa memedulikan anaknya. Padahal, mereka tidak tahu bahwa beliau justru lebih memprioritaskan anak dibanding karirnya.

“Dulu saya kalau berangkat kuliah harus ngumpet-ngumpet, karena anak saya lebih rileks kalau tidak melihat ibunya berangkat. Tapi, pernah suatu kali, saya sudah ngumpet tapi dia noleh dan melihat. Saya sudah naik motor, sudah jauh tapi kok masih dengar (tangisannya). Akhirnya, saya balik, sudahlah nggak usah kuliah, saya nemenin anak aja.” ungkapnya sambil tertawa kecil.

Selain menjalin komunikasi yang baik, Lilik berpesan kepada para pasangan agar saling mengingatkan dan membangun kesadaran Tauhid, yakni kesadaran bahwa baik suami maupun istri merupakan hamba Allah dan umat Rasulullah. Karena, baginya, melandaskan rumah tangga di atas Tauhid kepada Allah dapat memudahkan pasangan dalam menahkodai bahtera rumah tangga. Karena, jika melandaskan pada hal-hal duniawi, maka saat terjadi cekcok dalam rumah tangganya, mereka akan kesulitan dalam mengatasinya, bahkan tak jarang berujung perpisahan.

“Saya juga belum sepenuhnya berhasil, maka dari itu saya juga mohon doa kepada semua, termasuk para pembaca, karena sampai detik ini pun saya juga masih belajar dan berusaha menyatukan visi serta menurunkan ego dan emosi.” Tuturnya.

Selain itu, Lilik berpesan kepada para bapak agar jangan sampai menginginkan untuk dilayani sepenuhnya oleh istrinya, apalagi menggunakan dalil agama. Hendaknya mereka juga turut membantu pekerjaan rumah sebisanya, karena itu juga sebuah bentuk kasih sayang kepada istri, yang mana menyayangi istri merupakan kewajiban seorang suami. Sebaliknya, ia juga berpesan kepada para istri yang memutuskan untuk bekerja agar jangan sampai membuatnya kehilangan rasa hormat kepada suami hanya karena sudah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.

(AN)

Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja