Dalam karyanya yang monumental, Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, Al Hafidz Ibnu Hajar (w. 852 H) menyatakan bahwasanya ada hal-hal yang perlu diperhatikan terkait kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, karena bisa masuk ranah Aqidah. Berikut ulasannya;
Pertama, sebagian orang bodoh meyakini bahwa Khidir lebih utama daripada Nabi Musa. Mereka terpaku hanya pada kisah keduanya di Surah al Kahfi saja. Padahal, Nabi Musa adalah Sang Rasul, penerima firman Allah ta’ala, pembawa risalah suci, Kitab Taurat, bahkan semua Bani Israel berikut juga nabi-nabinya hingga nabi Isa pun mengikuti Risalah yang dibawa Nabi Musa. Allah ta’ala berfirman;
قَالَ یَـٰمُوسَىٰۤ إِنِّی ٱصۡطَفَیۡتُكَ عَلَى ٱلنَّاسِ بِرِسَـٰلَـٰتِی وَبِكَلَـٰمِی
(Allah) berfirman, “Wahai Musa! Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) engkau dari manusia yang lain (pada masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku. (Q.S. Al-A’raf: 144)
Kalau dikatakan, bukankah Khidir itu seorang Nabi? Maka jawabannya, iya, tetapi Khidir bukan Rasul, sedangkan Seorang Rasul lebih utama daripada Nabi tanpa status kerasulan. Lalu, kalau dikatakan bahwa Khidir adalah seorang Wali. Maka jawabannya, Musa yang berstatus sebagai Nabi sekaligus Rasul lebih utama daripada Seorang Wali. Pendapat ini adalah yang Qath’iy (pasti) secara Nash maupun Akal, sehingga barangsiapa menyalahinya bisa disebut Kafir.
Kedua, Kelompok Zindiq pengamal Thariqoh, yang menghancurkan hukum-hukum syariat. Mereka mengatakan, berdasar kisah Musa dan Khidir, hukum-hukum Syariat itu berlaku hanya untuk orang awam, sedangkan para wali dan khawash tidak butuh pada nash-nash syariat tersebut. Mereka hanya berpegang pada kata-hati, berhukum dengan bisikan-hati (khawathir), karena hati mereka sudah bersih sehingga nampak jelas bagi mereka ilmu-ilmu ketuhanan (al ulum al ilahiyyah) dan hakekat-hakekat ketuhanan (al haqaiq ar-rabbaniyyah). Dengan, demikian mereka tidak butuh hukum-hukum Syariat. Mereka berpegang pada hadis;
اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَانْ أَفْتَوكَ
Artinya: “Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun menusia berfatwa untukmu.”
Menanggapi hal ini, Imam Abu Abdillah al Qurtubi (w. 671 H) dengan tegas mengatakan;
وهذا القول زندقة وكفر لأنه إنكار لما علم من الشرائع فإن الله قد أجرى سنته وانفذ كلمته بان احكامه لا تعلم الا بواسطة رسله السفراء بينه وبين خلقه المبينين لشرائعه وأحكامه كما قال الله تعالى: ٱللَّهُ یَصۡطَفِی مِنَ ٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةِ رُسُلًا وَمِنَ ٱلنَّاسِۚ ….
Ini adalah perkataan sesat (zindiq) dan kufur. Karena, ini bentuk pengingkaran terhadap hal yang pasti dalam Syariat. Sungguh, Allah ta’ala telah memberlakukan ketentuan-Nya dan firman-Nya; bahwasanya hukum-hukum-Nya tidak akan diketahui, kecuali melalui perantara para utusan-Nya (Rusuluhu), yang “menjembatani” antara Allah dan makhluk-Nya, yang memberi penjelasan atas syariat-syariat dan hukum-hukum-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala; (yang maknanya) “Allah memilih para utusan(-Nya) dari malaikat dan dari manusia”. (Q.S. al-Hajj: 75).
Selanjutnya, Imam Abu Abdullah al-Qurtubi (w.671H) menambahkan ketegasannya;
وهي دعوى تستلزم اثبات نبوة بعد نبينا لأن من قال انه يأخذ عن قلبه لأن الذي يقع فيه هو حكم الله وأنه يعمل بمقتضاه من غير حاجة منه إلى كتاب ولا سنة فقد أثبت لنفسه خاصة النبوة…
Ini adalah ajaran (sesat) yang mengharuskan penetapan kenabian (nubuwah) setelah Nabi kita (Muhammad shallallahu alaihi wasallam). Karena, barang siapa mengatakan bahwasanya ia mengambil dari hatinya, sebab keyakinan terhadap apa-apa yang berada di hatinya adalah hukum Allah yang harus diamalkan, tanpa butuh tehadap Al Qur’an maupun As Sunnah, maka sungguh ia telah menetapkan bagi dirinya sendiri status Kenabian (nubuwwah).
Ketiga, Sebagian kelompok zindiq pengamal Thariqah juga ada yang mengatakan;
أنا لا آخذ عن الموتى وإنما آخذ عن الحي الذي لا يموت
Aku tidak sudi mengambil (ilmu/ajaran) dari orang-orang mati (ulama terdahulu), akan tetapi aku hanya mengambilnya (langsung) dari Dzat Yang Maha Hidup yang Tak akan Mati (Tuhan).
Atau juga, mereka mengatakan;
أنا آخذ عن قلبي عن ربي
Aku mengambil (ilmu/ajaran) dari hatiku (yang berasal) dari Tuhanku.
Ulama meresponnya;
وكل ذلك كفر باتفاق أهل الشرائع
Semua ini adalah kekufuran, dengan kesepakatan ulama-ulama Syariat.
Selanjutnya, ditegaskan bahwasanya;
من استدل بقصة الخضر على أن الولي يجوز أن يطلع من خفايا الأمور على ما يخالف الشريعة ويجوز له فعله فقد ضل
Barangsiapa berdalih dengan kisah Khidir (dengan Musa) ini (sehingga meyakini) bahwasanya seorang wali diperbolehkan mencermati/memeluki perkara-perkara yang samar/sumir yang jelas bertentangan dengan Syariat, lalu menganggap boleh bagi Sang Wali mengamalkannya, maka berarti ia telah Sesat.
Tulisan ini sekedar nostalgia, mengenang Pak Kiai Prof Dr Ali Mustafa Yaqub yang selalu membawa kitab Fathul Bari sebagai rujukan utama saat mengajarkan hadis-hadis Sahih al-Bukhari di hadapan para santrinya di Aula Putih sebelah rumah (ndalem) beliau. (AN)