Al-Azhar Dulu Sempat Menjadi Pusat Dakwah Syiah

Al-Azhar Dulu Sempat Menjadi Pusat Dakwah Syiah

Dalam sejarah, masjid al-Azhar yang ada di Kairo pernah dikuasai oleh Dinasti Fathimiyyah, yang merupakan penganut madzhab syi’ah.

Al-Azhar Dulu Sempat Menjadi Pusat Dakwah Syiah
Foto: Getty Images

Ketika film Ayat-ayat Cinta ‘meledak’, yang mendadak masyhur bukan saja para aktor dan aktrisnya saja, tetapi juga Universitas dan masjid al-Azhar, Kairo yang menjadi latar tempat sang tokoh Fahri belajar. Al-Azhar yang dulu hanya familiar di kalangan santri, kini pun diketahui secara luas oleh khalayak umum.

Berbeda dengan image yang rekat pada Kampus al-Azhar sebagai pusat pendidikan masa kini, pada awalnya al-Azhar bukanlah sebuah universitas, melainkan masjid yang digunakan untuk beragam kegiatan seperti masjid-masjid yang ada sejak zaman Rasul. Masjid al-Azhar didirikan bersamaan dengan masuknya kekuasaann Dinasti Fathimiyyah di kairo.

Pembangunan masjid ini menghabiskan waktu kurang lebih dua tahun dan dibuka secara resmi oleh Jauhar al Shaqali (seorang panglima perang dinasti Fathimiyyah) ditandai dengan shalat Jumat pada tanggal 7 ramadhan 361 H/ 21 juni 972 M.

Pada masa itu masjid al-Azhar dijadikan pusat penyebaran paham syi’ah. Sedangkan pengajarannya di sana baru dimulai ketika Abu Faraj Ya’qub Ibnu Kals mengusulkan kepada al ‘Aziz Billah (anak dari Mu’iz Lidinillah, Khalifah Daulah Fathimiyyah yang keempat) untuk mengumpulkan para fuqaha’ guna mengadakan halaqah pengajaran di masjid al-Azhar.

Semenjak itu, Al-Azhar menjadi benteng keilmuan Islam, tempat para pencari ilmu dari berbagai penjuru dunia, hingga para santri menyebutnya dengan ka’batul ‘ilm/qiblatul ‘ilm (kiblat keilmuan).

Sejarah mencatat, al-Azhar tidak hanya unggul dalam bidang keagamaaan, tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik. Terbukti ketika para imperialis menginjakkan kakinya di bumi Mesir dan dan belahan islam lainnya, para ulama al-Azhar berada di garda terdepan dalam melawan kaum kolonialis. Bahkan saat itu, masjid al-Azhar menjadi pusat penggemblengan pasukan sebelum maju berperang.

Pada masa Dinasti Fathimiyyah, masjid al-Azhar mengalami beberapa kali renovasi. Renovasi yang terlihat sampai saat ini dilakukan oleh Hafidz Lidinillah dengan peninggalan kubah yang dihiasi dengan tulisan ayat Al-Qur’an dengan khath kufi dan bermacam-macam hiasan yang indah.

Kekuasaan Dinasti Fathimiyyah sendiri berakhir pada masa Khalifah al-‘Aidhid Lidinillah. Setelah meninggalnya khalifah di tahun 567 H/ 12 September 1171 M, Shalahuddin Al-Ayyubi, wazir dari Al-‘Adhid, lalu menggantikannya menduduki posisi tertinggi. Dengan perubahan tampuk kekuasaan tersebut, berakhirlah pemerintah dinasti Fathimiyyah, dan Mesir pun berada di bawah kekuasaan Ayyubiyyah.

Pada masa Shalahuddin, ajaran syi’ah dihapus dan diganti dengan nilai-nilai sunni. Untuk menghilangkan madzhab syi’ah, Shalahuddin berpegang pada fatwa qadhiya yang menetapkan bahwa tidak boleh mendirikan dua shalat Jumat di dua masjid dalam satu kota, sehingga shalat Jumat di masjid Al-Azhar ditiadakan dan hanya dilakukan di masjid Al-Hakim bi Amrillah (sekarang adalah masjid Al-Anwar yang terletak di jalan 154 Al-Moez Lidin Allah Al-Fatmi, El-Gamaleya, El-Gamaliya, Kairo, Mesir).

Selain meniadakan shalat Jumat di masjid al-Azhar, Shalahuddin dan penguasa-penguasa setelahnya mendirikan sekolah-sekolah Ayyubiyyah sebagai pengganti masjid al-Azhar yang digadang-gadang sebagai pusat pengajaran madzhab sunni. Meski demikian, masjid al-Azhar tetap digunakan tempat belajar mengajar oleh para ulama’ lainnya.

Pada masa Dinasti Mamalik, khususnya Raja Al-Dzahir Ruknuddin Baibars al-Bunduqdari (yang disingkat Baibars atau Baybars), masjid al-Azhar mulai digunakan kembali sebagai tempat menunaikan shalat Jumat serta menjadi pusat pengajaran berbagai macam ilmu seperti masa Dinasti Fathimiyyah dahulu. Bahkan menjadi pusat keilmuan di seluruh dunia Islam. Ada dua faktor yang mendukung terwujudnya hal tersebut.

Pertama, ekspansi yang dilakukan oleh Tartar hingga menaklukan Khilafah Abbasiyah di Bagdad yang kemudian mengakibatkan banyak ulama muslim dari Timur hijrah ke Mesir. Hal ini disebabkan juga oleh kemenangan Mesir atas Tartar dalam peperangan ‘Ain Jalut (peperangan antara Dinasti Mamalik dan Bangsa Mongol yang berlangsung di Lembah Jezreel, Galilee) yang dipimpin oleh Raja Mesir Sultan al-Mudzafar Quthus.

Kedua, umat Islam di Andalusia yang ditindas oleh orang-orang Eropa, sehingga banyak ulama dari barat hijrah ke Timur dengan tujuan Kairo.

Dari situlah para ulama dan penuntut ilmu dari berbagai penjuru berbondong-bondong menuju al-Azhar untuk menimba dan mengembangkan keilmuan. Disamping ilmu-ilmu agama dan Bahasa, al-Azhar juga mengajarkan ilmu-ilmu eksakta, seperti matematika, falak, pengetahuan alam, kimia, kedokteran, logika, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.

Di antara ulama-ulama terkenal yang mengajar di Al-Azhar adalah Ibnu Khaldun, Imam Ibnu Hajar al-Asyqalani, Imam Abdul Wahhab as-Sya’rani, Imam Kamaluddin al-Damiri, dan masih banyak lagi.

Sayangnya, pada masa khalifah Turki Utsmani, kondisi keilmuan di Al-azhar mengalami kemunduran, pada masa itu ilmu-ilmu eksakta tidak dipelajari lagi kecuali yang berkaitan dengan perhitungan dalam ilmu faraid, penentuan waktu shalat, serta awal bulan.

Hingga pada tahun 1869 M, Jamaluddin al-Afghani datang ke mesir dan mengajar di al-Azhar. Di sela-sela pengajarannya, beliau mengajak umat untuk mempelajari ilmu-ilmu modern atau ilmu eksakta yang pernah menjadi kebanggaan umat islam di masa lampau untuk menunjang kehidupan manusia saat ini.

Selain mereformasi al-Azhar secara internal, Jamaluddin al-Afghani juga melakukan pergerakan pendidikan dari luar dengan mendirikan madrasah Darul-Ulum di tahun 1871 M. Di samping mengajarkan ilmu agama, di madrasahnya juga dipelajari bahasa Perancis, matematika, kimia, dan ilmu-ilmu pengetahuan umum lainnya.

Murid-murid madrasah tersebut adalah para santri pilihan dari al-Azhar. Namun, usaha mereformasi al-Azhar secara total melalui Darul-Ulum kandas, karena pada tahun 1945 M Darul-Ulum digabungkan dengan Universitas Kairo.

Usaha memasukkan materi ilmu-ilmu pengetahuan umum di al-Azhar baru berhasil pada tahun 1895 M dan 1930 M, ketika dikeluarkan undang-undang dibentuknya tiga fakultas di Al-Azhar, yaitu Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, dan Fakultas Bahasa Arab. Ditambah dengan, pada tahun 1961 M, Syeikh Mahmud Syaltut menjabat Syekh al-Azhar (disebut juga rektor) menerbitkan undang-undang nomor 103 yang menetapkan berdirinya fakultas-fakultas cabang ilmu pengetahuan umum, seperti fakultas kedokteran, perdagangan, teknik, pertanian, farmasi, dan sebagainya. (AN)

Wallahu a’lam.