Memotret Corak Keberagamaan MUSA, Muhammadiyah Rasa Salafi

Memotret Corak Keberagamaan MUSA, Muhammadiyah Rasa Salafi

Ada istilah MUSA, Muhammadiyah rasa Salafi dan itu jadi fenomena yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam

Memotret Corak Keberagamaan MUSA, Muhammadiyah Rasa Salafi

Tahukah Anda saat ini ada istilah MUSA, Muhammadiyah Rasa Salafi? Cukup menarik ketika kita membahas tentang persinggungan ideologi keagaam dalam Ormas Islam yang ada di Indonesia. Apalagi saat ini, di mana era arus informasi yang sangat cepat bergulir, menjadi penunjang, bagaimana singgungan-singgungan ideologi keagamaan bisa terjadi. Kemajuan teknologi informasi memudahkan untuk paham-paham ideologi tersampaikan, dan kemudian bersinggungan dengan idelogi keagaaman jamaah Ormas-ormas islam yang ada di Indonesia.

Menjadi hal yang lumrah, ketika arus informasi sudah bisa menyusup kepada ruang-ruang privat manusia sebagai sebuah entitas, ragam macam ideologi tersaji bebas, di baca, di tonton, di dengar, kemudian terjadi dialog interaktif dalam kesunyian pikirnya, lalu melahirkan sebuah sikap baru di tengah paham ideologi keagamaan yang sudah selama ini mereka anut dalam bingkai Ormas Islam sebagai panutannya, katakanlah misalnya, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Yang menarik adalah, bagaimana ideologi Salafi, ideologi Puritanisme Islam dengan corak ekslusif, tekstual mendapat bagian yang cukup besar dalam singgungan-singgungan idelogi keagamaan warga pengikut Ormas Islam di Indonesia, jika di NU ada istilah Asrabi, Aswaja Rasa Wahabi, di Muhammadiyah juga ada Musa, Muhammadiyah Rasa Salafi, sebutan yang merujuk pada warga Muhammadiyah yang secara pemikiran dan sikap mengikuti karakter-karakter idelogi Salafi.

Singgungan Idelogi sebenarnya lumrah terjadi dalam sebuah Ormas Islam, setiap ormas memiliki mekanisme tersendiri dalam mengatasi hal tersebut, misal di Muhammadiyah, secara formal ada Majelis Tarjih dan Tajdid dari tingkat cabang sampai pusat untuk mengatasi perbedaan pendapat dan menjawab berbagai persoalan yang muncul di masyarakat. namun saat ini, Muhammadiyah (Dan NU juga), sepertinya Kuwalahan membentengi idelogi warganya dari gempuran idelogi salafi, hal ini cukup menghawatirkan, karena dari singgungan ideologi tersebut dapat melahirkan paradigma keagamaan dan sosial baru yang tidak sejalan dengan jalan besar ideologi Muhammadiyah.

Lantas kita bertanya, dari mana ‘Musa’ lahir?

Muhammadiyah Rasa Salafi lahir dari Idelogi Salafi yang masuk secara masif melalu filterasi yang pelan namun intens, arus informasi yang deras memuluskan jalan untuk itu, meminjam istilah Edward Said dalam karya ontologinya The World, The Text, and The Critic (1984), “Traveling Idelogi” Salafi masuk dan bersinguungan kepada warga Muhammadiyah. Ideologi baru, menurut Edward Said akan menemui tembok “Ideologi Sebelumnya” sebagai filter, namun jika lemah, maka ideologi baru akan bertransformasi dan mengubah sikap keagamaan warga Muhammadiyah.

Bagaimana Karakter Musa, Muhammadiyah Rasa Salafi?

Mengutip tulisan Dr Sholikh Al Huda MFilI, Direktur Institut Studi Islam Indonesia (Insid); Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya; Anggota Majelis Tabligh PWM Jatim, tentang beberapa karakter Musa, dia ntaranya adalah:

Pertama, Musa cenderung ingin menampilkan perilaku sosial keagamaan kehidupan keseharian seperti yang dipraktikkan oleh generasi salafus salih. Mereka berpaham bahwa semua perilaku keseharian para salafus salih dianggap bagian dari sunnah Nabi Muhammad SAW. Seperti memilihara jenggot, berjubah, bagi wanita mengguna cadar, mempakai celana isbal (celana di atas mata kaki), makan dengan tiga jari, mentradisikan makan kurma, olah raga renang, berkuda dan panahan.

Mereka juga mengharamkan musik dan hiburan. Pengharaman tersebut dianggap bid’ah dan sia-sia karena tidak pernah dilakukan oleh para salafus salih. Pola sikap sosial keagamaan tersebut, sebelumnya tidak tampak dalam prilaku sosial keagamaan Muhammadiyah. Bahkan ada beberapa hal yang tidak sepaham dengan Himpunan Tarjih Muhammadiyah.

Kedua, Musa gencar mensosialisasikan jargon Ihyaussunnah, menghidupkan sunnah-sunnah Nabi Muhammad. Seperti gerakan shalat Subuh berjamaah dan sebagainya. Di mana hal ini sebenernya sudah menjadi tradisi warga Muhammadiyah. Tetapi tidak diformalkan dalam bentuk spanduk atau pamflet di publik. Sementara oleh MusA cenderung diformalkan. Hal ini yang tidak ada sebelumnya di tradisi Muhammadiyah.

Ketiga, Musa cenderung gemar mengungkit kembali masalah khilafiah fiqih. Seperti, tata cara gerakan shalat, tata cara makan, tata cara puasa, niat shalat dan sebagainya. Juga mengungkit kembali persoalan khilafiyah sosial-keagamaan, seperti ziarah kubur, tawasul, cara berpakain, tata cara shalawat, maulid nabi dan sebagainya. Mereka menganggap hal itu merupakan bagian perilaku bid’ah dan harus dimurnikan kembali. Persoalan- persoalan tersebut memang pernah marak dalam kajian dan dakwah Muhammadiyah pada masa pertengahan sejarah Muhammadiyah.

Hal itu sering menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Dari situ kemudian kajian dan dakwah Muhammadiyah lebih mengedepankan mencari titik temu dari pada titik seteru dan lebih berorientasi pada kemajuan peradaban. Namun saat ini cenderung dibuka kembali oleh Musa sehingga berdampak terjadi gesekan kembali di arus bawah.

Keempat, Musa dalam berinteraksi atau berkomunikasi antarsesama warga sering menggunakan idiom-idiom bahasa Arab. Fenomena ini disebut Arabisme sosial. Di mana pola interaksi semacam ini sebelumnya jarang ada di Muhammadiyah. Pola interaksi komunikasi antarwarga Muhammadiyah biasaya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa setempat.

Musa menjadi masalah bagi Muhammadiyah

Keberadaan Musa menjadi masalah bagi organisasi, menurut Prof Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Musa menjadi benalu di tubuh Muhammadiyah, Musa mulai menjadi persoalan ketika sudah menyentuh sendi-sendi organisasi. Sebagian dari mereka bekerja di amal usaha Muhammadiyah, tapi tidak berupaya membesarkan Muhammadiyah. Bahkan mengajak teman-temannya untuk tidak loyal kepada keputusan organisasi.

Ada juga yang lebih serius. Mereka mendiskreditkan Muhammadiyah sebagai penganut bid’ah, karena pada masa Nabi, kata mereka, tidak ada organisasi. Mereka mencoba menguasai masjid, mushala, lembaga pendidikan, dan forum pengajian. Mereka tidak memajukan Muhammadiyah tapi membuatnya tidak berdaya. Muhammadiyah dibiarkan jadi tinggal kulit, sedangkan isinya sudah jadi salafi. Yang menarik, mereka masih tetap mengaku, dan bekerja di amal usaha, Muhammadiyah.

Muhammadiyah adalah organisasi besar dengan karakter moderasi Islam, yakni terbuka, toleran, namun tegas. Paham yang memadukan dan menyeimbangkan antara iman, ibadah, akhkak, dan amal, menjadi berbahaya kemudian jika transformasi ideologi Salafi masuk kepada warga muhammdiyah, lalu menggeser karakter Ke-Muhammadiyah-an yang menjadi salah satu pilah kuat Islam Indonesia yang aman, damai dalam ragam perbedaan. Sudah saatnya Muhammadiyah memperhatikan betul Musa, Muhammadiyah Rasa Salafi ini bukan?

Sumber:

  1. Kolom, Muhammadiyah Rasa Salafi, kolom oleh Dr Sholikh Al Huda MFilI, bisa cek di sini.
  2. Makna di Balik Peristiwa karya Prof Syafiq A. Mughni (Penerbit Hikmah Press, Surabaya, November 2020).