Pengasuh Ponpes Al-Zaytun Dituduh Sesat, Sahiron Syamsuddin: Belum Tentu!

Pengasuh Ponpes Al-Zaytun Dituduh Sesat, Sahiron Syamsuddin: Belum Tentu!

Menurut Guru Besar bidang Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga, kasus Al-Zaytun sebenarnya sedang menguji konsep moderasi beragama yang getol dipromosikan Kementerian Agama

Pengasuh Ponpes Al-Zaytun Dituduh Sesat, Sahiron Syamsuddin: Belum Tentu!
Sahiron Syamsuddin saat ditemui tim islami.co di Kantor Rektorat UIN Sunan Kalijaga, pada Jum’at (7/7/2023)

Kasus terkait pemimpin Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang memasuki babak baru. Bareskrim Polri mengindikasikan adanya dugaan tindak pidana ujaran kebencian yang dilakukan pimpinan ponpes di Indramayu, Jawa Barat itu.

Sebelumnya, Panji Gumilang diperiksa Bareskrim atas tuduhan pasal penistaan agama sebagaimana Pasal 156 A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu poin penistaan yang dituduhkan adalah pernyataan Panji Gumilang yang beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad, kemudian mencampur saf salat antara laki-laki dan perempuan.

Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, mengatakan bahwa rangkaian kasus Panji Gumilang tersebut terkesan kabur. Ditambah lagi, perbedaan paham Panji Gumilang itu sebenarnya bisa menjadi parameter seberapa inklusif prinsip moderasi beragama kita.

“Kasus Panji Gumilang sebenarnya sudah terlalu samar, mana yang soal keyakinan, mana yang soal dugaan tindak pidana,” terang Sahiron saat ditemui tim islami.co di kantornya (7/7/23).

“Dua isu itu sudah mulai campur aduk tidak karuan. Di sinilah sebenarnya konsep moderasi beragama kita diuji,” lanjutnya.

Guru Besar bidang Ilmu Tafsir tersebut menjelaskan bahwa kasus Al-Zaytun sebenarnya sedang menguji konsep moderasi beragama yang getol dipromosikan Kementerian Agama. Jika Kemenag atau MUI salah mendiagnosa masalah, justru bisa muncul pertanyaan, siapa yang sebenarnya tidak moderat.

Menurut Sahiron, pihak-pihak yang berwenang harus bijak memilah-milah, mana soal keyakinan mana pidana. Soal keyakinan pun, pihak yang berwenang jangan gegabah menghakimi. Misalnya tentang pernyataan Panji soal qāla Rasūlullāh ṣallāhu ‘alaihi wa sallam fī al-Qur’ān al-karīm yang disinyalir menistakan Islam.

“Nah kita harus teliti, maksud Panji ini sebenarnya apa,”

“Misalnya saya bertanya kepada Panji, apakah Al-Qur’an merupakan wahyu Allah. Kalau dia jawabnya wahyu, maka dia masih Muslim,” terang Sahiron Syamsuddin.

Sahiron menerangkan pelafalan wahyu itu terbagi menjadi tiga tipologi jika merujuk pada kitab al-Burhān fi ʻulūm al-Qurʼān karya Imam Zarkasyi; yaitu lafẓan wa ma’nan min Allāh (redaksi dan makna dari Allah), ma’nan min Allāh wa lafẓan min Rasūlillāh, (makna dari Allah dan redaksi dari Rasulullah) dan ma’nan min Allāh wa lafẓan min al-malā’ikah (makna dari Allah dan redaksi dari Malaikat Jibril).

Soal Al-Zaytun, pihak yang berwenang tidak bisa serta merta menghakimi kesesatan Panji sebelum mendapatkan klarifikasi langsung dari tertuduh soal ucapannya tersebut.

“Jikapun Panji kemudian tidak meyakini Al-Qur’an adalah wahyu, maka yang bisa kita lakukan adalah bertanya apakah dia mau kembali ke Islam ataukah mau tetap seperti itu,”

Menurut Sahiron, apapun keputusannya, kita tetap tidak bisa menghakimi karena bagaimanapun itu adalah keyakinannya. Sebagian orang mungkin menyesatkannya karena memang setiap orang punya hak untuk bicara apa saja, namun menjadi salah jika sudah sampai pada persekusi.

Keyakinan Panji bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah namun yang membuat lafadnya adalah Muhammad sebenarnya merujuk pada ulama-ulama terdahulu dalam kajian min kaifiyati inzāli al-wahyu. Namun, jika Panji menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu, maka itu berarti dia tidak Muslim lagi. Sudah itu saja. Selesai.

“Saya katakan bahwa jika Panji tidak mengakui kewahyuan Al-Qur’an, maka Panji tidak Muslim lagi. Tapi, saya tidak boleh berbuat apa-apa terhadap Panji karena itu masalah keyakinan,”

Sahiron juga menyinggung soal praktik salat Al-Zaytun yang mencampur antara laki-laki dan perempuan. Ia menegaskan bahwa jangan terburu-buru menyesatkan praktik salat Al-Zaytun karena pada dasarnya praktik itu juga memiliki dalil.

Rujukan salat bercampur itu, menurut Sahiron, ada dalam kitab Rahmah al-Ummah fī Ikhtilāf al-A’immah. Kitab itu menerangkan bahwa salat bercampur antara laki-laki dan perempuan itu dianggap sah.

“Bahwa yang dilakukan Al-Zaytun itu tidak umum, memang iya. Mereka dianggap berbeda dengan madzhab mayoritas kita yang Syafi’i. Tapi bagaimana umat kita yang moderat menerima perbedaan keyakinan itu”

“Yang namanya moderasi beragama itu harus toleran, harus menghargai perbedaan pendapat,” pungkas Sahiron Syamsuddin.