Kita kembali berduka cita sedalam-dalamnya atas berulangnya pengeroyokan suporter sepak bola hingga tewas. Pada hari itu (23/9/2018) Haringga Sirla, seorang The Jak Mania, sebutan untuk pendukung tim Persija Jakarta, dikeroyok oleh kerumunan massa pendukung klub Persib Bandung di halaman Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung.
Pada tahun 2012 silam suporter Persib yang bernama Rangga juga meninggal dunia dikeroyok massa usai laga Persija vs Persib di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta (Detik.com, 28/07/2017). Seolah peristiwa ini terjadi berulang-ulang dan berganti-gantian. Barangkali masih banyak lagi suporter-suporter lainnya yang menjadi korban-korban pelanggaran kemanusiaan tersebut.
Seringkali saya merasa jengah sekali dengan situasi negeri kita. Kasus pelanggaran kemanusian kita tak ada habis-habisnya dan naasnya terus berulang dengan kasus yang hampir sama. Di negeri kita ini harga sebuah nyawa seolah tak mempunyai status yang berharga. Orang yang berbeda dukungan klub sepak bola bisa dikeroyok hingga tewas, orang dengan agama yang berbeda dipersekusi habis-habisan hingga tak jarang berujung maut, orang sesama muslim tetapi beda aliran juga sering menjadi korban diskriminasi hingga kekerasan fisik mayoritas.
Terlebih lagi, jika kita tarik ke belakang lagi, kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di negeri kita juga belum selesai.Tahun 2004 aktivis kemanusiaan Munir Said Thalib tewas setelah diracun di pesawat saat dalam perjalanannya ke Belanda. Di tahun 1998 seiring pergantian rezim, banyak warga keturunan Tionghoa banyak yang menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan identitas lainnya. Kemudian menjelang 1998, banyak kalangan aktivis yang diculik dan hingga kini tak kembali. Jika kebelakang lagi, ada peristiwa Tanjung Priok dan Talangsari Lampung, di mana militer membabi buta memberondong peluru kepada masyarakat sipil.
Ditarik sebelum itu lagi masih ada peristiwa pelanggaran HAM terhadap simpatisan PKI dan Sukarno pada tahun 1965-1966. Peristiwa yang terakhir tersebut menurut Pengadilan HAM International People’s Tribunal (IPT) 65 di Den Hag, Belanda, diputuskan sebagai salah satu kejadian pelanggaran HAM berat di dunia.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan kita, sehingga seolah nyawa tak ada harganya di negeri ini. Barangkali benar menurut jurnalis sekaligus pemerhati sepak bola Zen RS yang ditulis dalam tweetnya saat mengomentari terkait tewasnya Haringga, ia mengatakan bahwa “Untuk setiap aib yang tidak mungkin diakui, bahasa Indonesia menyediakan jalan keluar yang menyebalkan: oknum”.
Seperti yang terlihat dari video pengeroyokan Haringga Sirla yang banyak beredar di medsos, bahwa pelaku pengeroyokan bukan hanya satu atau dua orang, akan tetapi adalah massa. Mentalitas kita jika dilihat dari sekian banyak kasus pelanggaran kemanusiaan, hampir keseluruhannya selalu dilakukan oleh massa. Akan tetapi, jika kasus tersebut akan diproses secara hukum, mentalitas kita selalu menutupinya dengan jalan keluar dengan kata “oknum”, sebagaimana dikatakan Zen di atas.
Tak bisa disangkal memang kita mempunyai mentalisas “keroyokan”. Bisa kita perhatikan semisal dari kasus kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Syi’ah di Sampang dan masih banyak tempat yang lain, seluruhnya merupakan aksi tirani mayoritas kepada minoritas. Ataupun setidaknya dalam setiap aksi kekerasannya selalu melibatkan mobilisasi massa yang besar untuk menjadi justifikasi tindakan sembrononya itu.
Selain mentalitas keroyokan, faktor lain seringkali yang membuat kasus pelanggaran kemanusiaan tak tuntas ditangani dan terus berulang adalah kurang efektifnya kinerja hukum kita. Bayangkan saja kasus penculikan aktivis menjelang tahun 1998 hingga saat ini tak pernah secara tuntas dipersidangkan. Sampai hari ini belum tuntas siapa sebenarnya pelakunya dan pelakunya dikenai hukuman apa.
Semuanya seolah selalu ada pemakluman atas kasus pelanggaran kemanusiaan. Kita tak pernah membayangkan jika ternyata para pelaku penculikan itu masih bisa tersenyum dan bahkan menjadi elit politik di negeri ini. Kontras dengannya, keluarga yang diculik hingga saat ini masih menunggu kabar dimana anggota keluarganya berada setelah lebih dari 20 tahun tak kembali.
Dari peristiwa Haringga Sirla ini kita sepatutnya harus belajar bahwa kejadian seperti ini tidak boleh berulang kembali. Kita harus meninggalkan mentalitas keroyokan yang selama ini menjangkiti nalar kekerasan kita. Dan yang juga tak kalah penting adalah segala tindakan pelanggaran kemanusiaan harus ditindak secara hukum sampai ke akar-akarnya. Barangkali upaya itulah yang bisa kita perjuangkan untuk memastikan kelak kita tidak akan kehilangan orang-orang disekitar kita hilang dan tewas tanpa ada kejelasan hukum. Wallahua’lam
M. Fakhhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja dan dapat disapa melalui twitter @m_fakhru_riza.