Hadis: Dunia adalah Penjara untuk Muslim dan Surga untuk Orang Kafir, Bagaimana Pemahamannya?

Hadis: Dunia adalah Penjara untuk Muslim dan Surga untuk Orang Kafir, Bagaimana Pemahamannya?

Hadis: Dunia adalah Penjara untuk Muslim dan Surga untuk Orang Kafir, Bagaimana Pemahamannya?
foto: Pixabay

Hadis dunia adalah penjara untuk muslim dan surga untuk kafir sering kali disalahfahami dan menjadikan seorang muslim malas berusaha.

Saat membaca buku “Islam Sontoloyo” yang berisi tulisan-tulisan Soekarno tentang Islam, saya diperlihatkan dengan kekesalan Soekarno dengan sebuah hadis yang ia anggap sebagai biang kemunduran muslim. Ia memang bukan secara langsung menulis tulisan Arab hadisnya, melainkan dengan kalimat: “Dunia bagi serani, akhirat bagi muslim”.

Secara lafadz, penulis sama sekali tidak menemukan hadis yang sesuai. Namun secara makna, penulis menemukan hadis yang menjelaskan bahwa bagi seorang muslim, dunia merupakan penjara, sedangkan dunia merupakan surga bagi orang kafir.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِى الدَّرَاوَرْدِىَّ عَنِ الْعَلاَءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:  الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ.

Artinya, “Telah bercerita Qutaibah ibn Saʻīd kepada kami (Imam Muslim), ia berkata, telah bercerita Abdul ‘Azīz, yaitu al-Darāwardī dari al-ʻAlā’ dari ayahnya dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Dunia merupakan penjara bagi muslim dan surga bagi orang kafir.”

Baca juga: Soekarno: Konflik dan Kekerasan Terjadi Karena Kurang Tepat Memahami Hadis

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih Muslim, Ibnu Hibban dalam Sahih Ibn Hibban, Imam al-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi-nya, al-Hakim dalam al-Mustadrak-nya, al-Tabrani dalam al-Muʻjam al-Kabir-nya, Ibn Majjah dalam Sunan-nya, dan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya. Hadis tersebut sahih karena diriwayatkan oleh Muslim.

Beberapa ulama menjelaskan maksud tersebut, salah satunya adalah Imam an-Nawawi dalam al-Minhaj. An-Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata sijn dala hadis tersebut adalah mamnu` min al-syahwah al-muharramah, yakni dilarang untuk mengikuti keinginan yang terlarang. Hal ini tentu berbeda dengan kafir yang merasakan di dunia seperti di surga, karena diliputi berbagai kenikmatan. Mereka tidak memiliki kewajiban untuk mencegah hal-hal yang terlarang bagi agama Islam.

Dalam Faiḍul Qadir, al-Munawi mengutip cerita tentang Ibn Hajar al-Asqalani yang menjelaskan pemahaman hadis tersebut kepada seorang Yahudi. Ibn Hajar mengatakan bahwa Yahudi tersebut boleh saja merasa hidup di dunia seperti di surga. Akan tetapi kelak setelah meninggal, orang Yahudi tersebut akan mendapatkan azab yang sangat pedih dari Allah Swt. Mendengar penjelasan Ibn Ḥajar tersebut, orang Yahudi itu kemudian masuk Islam.

Soekarno menilai bahwa hadis “dunia adalah penjara bagi muslim” ini menjadi sebab kejumudan umat muslim. Ia mengamati bahwa selama ini orang menjadikan hadis tersebut sebagai dasar untuk tidak ingin memperoleh dunia (harta) karena itu diperuntukkan umat Nasrani. Sedangkan umat Islam lebih memilih sabar dengan kemiskinan dan kekurangan yang ia derita. Bahkan Soekarno menilai bahwa hadis ini merupakan benih dari timbulnya bencana yang berupa kejumudan dan kemunduran Islam, tentunya jika dibaca secara tekstual saja.

Baca juga: Manakib Kebangsaan: Dari Soekarno Hingga Gus Dur dan Cara Menjadi Indonesia

Pendapat Soekarno ini secara tidak langsung sesuai dengan syarh yang diberikan oleh al-Nawawi dan al-Munawi. Bahkan, karena hadis ini dinilai sebagai biang kemunduran Islam, Soekarno menganggap bahwa hadis ini tergolong hadis-hadis yang daif. Walaupun pada hakekatnya, hadis ini sahih karena tercantum dalam kitab Sahih Muslim. Hal ini wajar, karena Soekarno tidak membaca hadis ini dari kitab Sahih Muslim secara langsung, melainkan hasil bacaannya atas kutipan hadis yang dicantumkan dalam sebuah tulisan seseorang yang ia sebut sebagai “pengenal Islam bangsa Inggeris”. (AN)

Baca juga: Ketika Bung Karno Menolak Kembali ke Masa Khilafah