Belakangan ini, di kalangan masyarakat kembali merebak sebuah sudut pandang yang menegaskan bahwa segala hal telah disebutkan dalam Al Quran, atau sekurang-kurangnya berusaha “menegaskan posisi Islam dalam sejarah”. Perseteruan bumi datar, “hadis-hadis obat herbal”, gerakan anti-vaksin, bahkan yang baru ini: soal kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Islam dan Gaj Ahmada. Wah. Seolah-olah semua harus Islam dan Islam yang paling menjayakan umat.
Ada beberapa orang yang selalu berfikir bahwa peradaban besar pasti berasal dari Islam. Peradaban lain hanyalah catatan kaki: perlu, tapi hanya dikutip. Pokoknya Islam sebagai model kejayaan. Semua hal hebat pasti dari Islam. Dan jadilah, dengan modal semacam itu, rupa-rupa pseudoscience, hal-hal yang dikesankan sebagai sains dan ilmiah itu itu mencuri hati masyarakat.
Semisal ada ayat dalam kitab suci atau pun sabda Rasulullah Saw. yang menyebutkan suatu material di alam, atau hal-hal kecil seperti soal makanan dan minuman, maka orang-orang tersebut dan yang telah percaya bahwa “apa yang dikatakan nabi dan orang suci adalah benar” akan mempercayai bahwa bahan seperti madu, jinten hitam, rumput fatimah, kurma, dan banyak lainnya memiliki dampak yang cukup besar pada tubuh.
Mari kita contohkan tentang pengobatan. Beberapa ulama besar, seperti Imam al Bukhari, Imam Muslim, Imam asy-Syafii, dan lainnya menyebutkan bab khusus yang membahas kesehatan dalam karyanya. Anda dapat menemui tulisan tentang kesehatan dalam kitab hadis maupun fikih. Contoh, dalam kitab Shahih al-Bukhari terdapat bab hadis-hadis Kesehatan. Melalui itu, kita tahu bagaimana Nabi berobat, cara makan beliau dan sebagainya.
Maka, artikan saja bahwa hal-hal yang dilakukan Rasul seperti berobat itu sebenarnya tak jauh berbeda seperti pengobatan tradisional kita. Dengan menyadari keadaan nabi sebagai manusia yang memiliki latar belakang budaya, maka anda akan mengetahui bahwa perobatan sejak masa dahulu menggunakan materi alam yang sudah umum di sekitar masyarakat itu.
Di Jawa contohnya kencur. Ibu-ibu dahulu, ketika anaknya demam, kerap mencampurkan kencur dan kunir sebagai ramuan anaknya. Kata sebagian orang, “Ah, itu tidak sunnah. Sunnah Nabi pakai habbatus sauda’, kurma, madu…” lalu, “Coba, beli produk saya…”
Bukan berarti penulis bermaksud menentang apa yang dilakukan Nabi sebagaimana dalam berbagai hadis itu. Namun, di tengah arus teknologi dan keilmuan yang gila-gilaan saat ini, ternyata masih ada orang-orang yang mengerahkan semangatnya untuk kembali ke zaman lampau. Atau, membawa mimpi-mimpi kebangkitan Islam hanya dengan pembuktian yang lemah, argumen dan asumsi-asumsi dengan data yang dibikin sesuai.
Bukankah ilmu berkembang karena kesadaran diri atas rasa ketidaktahuan dan sikap menerima kebenaran dari manapun asalnya?
Banyak orang bijak mengatakan, bahwa sains adalah hal relatif. Penelitian hari ini berbeda dengan yang terbukti di masa lampau. Teori sekarang belum tentu relevan dengan di masa depan. Kita bisa sepakat dengan hal ini.
Nah, tapi persepsi ini malah dijadikan alasan untuk menggoyang argumen yang mapan, tentang sejarah Indonesia, tentang sejarah-sejarah dunia, penemuan-penemuan yang mengubah peradaban, konsepsi yang mapan tentang alam semesta dan biologi, yah, hanya karena disebutkan ada ayat Al-Quran-nya, ada hadis-nya. Lalu dicari fakta-fakta, dipelintir, agar sesuai dengan apa yang diyakini dan apa yang diingini.
Di satu sisi, hal ini berkesan sangat ilmiah dan provokatif. Hal-hal mencengangkan semacam ini selalu diminati. Cocok atau relevan sebagai pengetahuan, itu urusan lain. Kesan dan semangat menunjukkan Islam ke permukaan menjadi berkesan memalukan. Semangat keilmuan sebagai proses mencari pengetahuan hanya menjadi bingkai kepada keyakinan-keyakinan.
Anda perlu mengingat sabda Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis. Dikisahkan pernah berkunjung ke suatu kaum. Beliau memberitahukan cara untuk menanam kurma. Para sahabat mengikuti karena kepercayaannya pada Nabi. Hal itu dilaksanakan.
Usut punya usut, cara itu gagal. Seorang sahabat memberitahu Nabi cara penanaman kurma dengan metode yang lain, yang sudah dijalankan sejak lama di masayarakat, dan berhasil. Nabi pun bersabda “Kalian lebih tahu soal persoalan dunia kalian,”.
Memahami hal ini, ilmu harus didasari dengan semangat keterbukaan. Pada dasarnya ilmu tidak mengenal batas-batas keyakinan agama maupun akidah. Lingkungan ilmiah yang baik dibangun dengan keinginan untuk menekuni penelitian, melepaskan dogma dan inklusivitas. Mari kita lebih teliti, mencermati dan tidak mudah terseret arus “pura-pura sains” yang terkesan asyik tapi meracuni pikiran dan hanya menambah berisik. Wallahu A’lam.