Geliat Hawariyyun Sebagai Microcelebrity dan Jejak Digitalnya Sebagai Pendakwah

Geliat Hawariyyun Sebagai Microcelebrity dan Jejak Digitalnya Sebagai Pendakwah

Hawariyyun adalah arketipe, ia tampil sebagai microcelebrity dan di sisin lain menampilkan sisi living life sebagai seorang dai, bagaimana isi ‘dalam’ sosok ini?

Geliat Hawariyyun Sebagai Microcelebrity dan Jejak Digitalnya Sebagai Pendakwah

Sudah bukan rahasia lagi, kehadiran pendakwah muda, seperti Hawariyyun, Fuadhnaim, Munawwir Maulidin dan masih banyak lagi, menjadi warna tersendiri di dunia dakwah keislaman kontemporer. Mereka memiliki model, konten dan metode dakwah yang berbeda dengan otoritas dakwah yang telah lama berkecimpung jauh sebelum mereka.

Walau mereka mengaku bukanlah pendakwah Islam, tapi merasa lebih cocok disebut dengan “Influencer Dakwah”. Kemungkinan besar alasan mereka adalah ingin mengurangi beban yang harus dipikul jika dipanggil sebagai pendakwah. Sebab, paggilan Influencer lebih sreg dengan kehidupan yang dekat dengan objek dakwah mereka, yakni generasi Z dan milenial.

Kedua generasi tersebut memiliki selera tersendiri yang turut membingkai apa yang mereka pahami tentang konten keagamaan. Belajar Islam lewat para pendakwah muda tersebut sebenarnya tidak bisa dilakukan hanya lewat online belaka, sebab ada berbagai kajian keislaman yang mereka isi di ranah offline.

Jika kita menilik khusus pada konten dakwah digital para pendakwah muda tersebut, maka kita tidak akan mendapati berbagai ajaran formal agama disebarluaskan. Mereka lebih banyak mengunggah berbagai konten yang bertautan dengan nilai-nilai moral kehidupan sehari-hari, ketimbang bergelut dengan persoalan dinamika ajaran agama Islam yang begitu luas.

Selain itu, berbeda dengan beberapa nama-nama pesohor dunia dakwah digital, seperti Abdus Somad, Adi Hidayat, Hannan Attaki dan Basalamah bersaudara, para pendakwah muda tersebut lebih fokus dengan dinamika kehidupan anak muda. Misalnya, Fuad Naim yang lebih fokus bergelut dengan isu dan narasi K-Pop di kalangan anak muda.

Adapun di antara pendakwah muda yang memiliki pengikut atau followers di angka jutaan, nama  Hawariyyun adalah satu dari sekian influencer dakwah yang cukup aktif. Berbagai konten ia unggah setiap harinya, sejak pagi hingga malam. Dan dua konten paling sering muncul adalah Q n A (Question and Answer) dan Kuis, tak hanya Hawariyyun namun beberapa influencer dakwah muda juga sering mehadirkan konten tersebut untuk membangun Bounding (ikatan) antara pendakwah dan umatnya.

***

Jika kita mengulik akun Instagram milik Hawariyyun, maka kita dapati mayoritas kontennya berorientasi pada moralitas dan persoalan kehidupan sehari-hari, ketimbang perdebatan teologis atau ajaran agama lainnya. Hal tersebut bukan sesuatu yang mengejutkan, sebab kehadiran otoritas baru (baca: Pendakwah baru) turut menghadirkan model anyar dalam dinamika dakwah Islam di Indonesia.

Apa hal baru dalam lanskap dakwah Islam di Indonesia tersebut? Pendakwah sebagai seorang selebritis. Bahkan, di era media sosial, para pendakwah baru ini dengan suka rela membagikan berbagai aktivitas sehari-hari, tentu ditambah dengan dalil atau Narasi agama di dalamnya.

Seperti, sambil memposting kegiatan joggingnya di pagi hari, Hawariyyun juga menambahkan kisah tentang keinginannya menjadi penjelajah waktu agar bisa memperbaiki apa yang telah diperbuatnya di masa lalu. Contoh lainnya, ketika dia memposting kegiatan jalan-jalan bersama istri dibubuhi caption tentang potensi bahaya jika seorang laki-laki yang tidak bisa menjaga matanya.

Dua contoh di atas hanya sebagian kecil dari kegiatan daring milik Hawariyyun. Narasi tentang pribadi dan kehidupan sehari-hari inilah yang menjadikan agama tidak lagi didakwahkan dengan model ceramah atau literatif, ia dihadirkan lewat penggambaran subjek yang sempurna.

Kondisi tersebut dikenal dalam kajian sosial dengan “Microcelebrity”. Adagium Microcelebrity memiliki peran penting dalam perkembangan wacana Islam publik di Indonesia. Microcelebrity adalah subjek yang menggunakan gambar, video, ataupun blog untuk menampilkan dirinya sebagai paket bermerek (branded packages) kepada para pengguna media (Senft, 2012).

Instagram adalah salah satu platform yang paling populer dipakai oleh para pendakwah baru ini, termasuk Hawariyyun. Sebagai platform media sosial berbasis visual, tidak mengherankan Instagram menjadi wadah para pendakwah muda seperti Hawariyyun untuk membagikan pandangan dan aktivitas keagamaannya. Memang, dia beraktivitas di ranah maya sembari menghadirkan berbagai narasi agama dalam kegiatannya sehari-hari

Para pendakwah muda, seperti Hawariyyun, juga memiliki kecakapan menggunakan teknologi desain grafis dan internet, akibatnya narasi dakwah mereka sangat Colorfull (berwarna) dan eye-catching (menarik dilihat). Selain itu, mereka juga menggunakan bahasa dan narasi yang dekat dengan anak muda.

Memang, anak muda adalah kelompok paling dekat dan aktif dengan teknologi internet, sehingga menghadirkan dakwah yang renyah untuk dikonsumsi kalangan seumurannya, yakni generasi milenial. Menariknya, untuk menghadirkan narasi agama yang renyah, mereka menggunakan salah satu teknologi di Instagram, yakni kuis atau Q n A.

Teknologi ini sangat populer di kalangan selebgram, bahkan mereka yang masih memiliki pengikut (Followers) jumlah yang masih sedikit. Aplikasi tambahan dalam Instagram ini membantu pendakwah, seperti Hawariyyun, untuk mendekatkannya dengan para pengikutnya. Hampir bisa dibilang setiap hari, Hawariyyun menggunakan teknologi tersebut untuk sekedar menyapa pengikutnya.

Selain itu, apa yang dilakukan Hawariyyun merupakan bagian dari apa yang disebutkan oleh Oliver Roy dengan Lumpen-Intelegentsia. Rigkasnya, dalam diskursus agama, Lumpen-Intelligentsia dikenal sebagai aktor-aktor agama baru yang mampu menguasai teknologi namun minim atau tidak berlatar belakang pendidikan agama.

Bagaimana bisa seseorang yang minim pendidikan agama bisa memberikan informasi terkait keagamaan?

Pertanyaan ini mungkin sekali pernah terlintas dalam pikiran kita ketika melihat minimnya kompetensi pengetahuan para pendakwah muda. Namun, ketika mereka hadir dengan narasi agama yang lebih renyah dan dekat dengan anak muda, maka peran mereka sebagai penasehat spiritual bagi kalangan anak muda tidak dapat digugat hanya dengan mempermasalahkan kompetensi.

Sebab, bagi kebanyakan anak muda, agama tidak harus berkubang dengan berbagai diskursus ajaran dan kerumitan teologis. Bagi mereka, kehadiran Q nA ala Hawariyyun dan kawan-kawan menjadikan agama lebih nyaman dan dapat menjadikan panduan mereka dalam beragama sehari-hari.

Misalnya, pada hari Jumat, Hawariyyun biasanya memulai dengan sebuah pertanyaan “Sudah baca al-Kahfi?”. Pertanyaan seperti ini dapat memancing para anak muda mulai mengamalkan bacaan tersebut. Selain itu, anak muda juga mendapatkan berbagai nasehat, amalan atau panduan lainnya dalam berbagai Q n A yang dilakukan oleh Hawariyyun.

Selain itu, kehidupan pribadi sehari-hari seorang pendakwah muda turut dikonsumsi, seperti kawin muda dengan metode ta’aruf, olahraga jogging setelah selesai baca dzikir pagi atau berbincang soal-soal agama sembari makan-makan di Mall atau menu yang sedang di-endorse. Berbagai kisah-kisah kehidupan sehari-hari ini dihadirkan sebagai bagian dari penahbisan diri sebagai role model kehidupan yang “Islami”.

baca juga: jangan sampai salah pilih penceramah

Namun, mereka menghindari berbagai polemik ajaran dan lebih bersikap terbuka pada berbagai pandangan keagamaan, ketimbang berpihak pada salah satu aliran dalam Islam. Oleh sebab itu, narasi dakwah mereka lebih berkisar pada persoalan moral dan ajaran agama yang lebih umum. Walau, sesekali mereka juga berkomentar atas problematika keagamaan yang sedang viral di masyarakat, seperti tuduhan penistaan agama atau berbagai isu konflik Islam, kaya Uighur, Palestina dan Aleppo.

Sungguh disayangkan model-model konten yang disukai oleh kalangan anak muda tersebut, terlihat agak sulit dijumpai di pendakwah muda dari kalangan Islam moderat. Hingga sekarang, saya tidak mengetahui sebabnya. Selera dakwah yang lebih terbuka pada pandangan keagamaan, walau tetap menghadirkan eksklusivisme Islam yang kental sangat disukai di kalangan anak muda, terlebih pasca mewabahnya politik identitas dalam satu dekade terakhir.

Banyak intelektual mengaitkan selera tersebut disebabkan kondisi psikologis kalangan remaja yang sedang mencari jati diri. Sekilas pernyataan tersebut benar, namun ada hal yang sering luput dari amatan kita semua, bahwa kemasan dakwah yang selama ini ada sepertinya dipaksa berubah atas tuntutan zaman.

Seorang pendakwah tidak lagi harus hadir dengan tampilan baju koko dan sarungan, namun dia yang hadir dengan celana jeans atau kemeja kain flanel sembari main skateboard bisa saja menjadi penceramah. Terlebih dengan bantuan media sosial, kemasan fisik tidak lagi menjadi ukuran lagi. Ada hal yang lebih berperan, yakni cara bertutur, pengambilan isu dan narasi, pemakaian diksi yang dekat dan lekat, ditambah dengan kemampuan editing video dan visual sepertinya lebih menjadi faktor pendukung keberhasilan dakwah, seperti yang dipraktikan oleh Hawariyyun.

 

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin