Fikih Lalu-Lintas: Begini Kaidah dan Dalil Bagi Pengguna Jalan Raya

Fikih Lalu-Lintas: Begini Kaidah dan Dalil Bagi Pengguna Jalan Raya

Jika kamu tidak percaya kalau perilaku melanggar di jalan raya itu berdampak pada “dosa beneran”, kamu harus percaya bahwa ia akan melahirkan “dosa-dosa sosial”.

Fikih Lalu-Lintas: Begini Kaidah dan Dalil Bagi Pengguna Jalan Raya
Ilustrasi: Alwy (Islamidotco)

Kaidah fikih adalah rumus untuk penetapan hukum. Dengan rumus ini, pengambilan hukum analogis dapat dengan mudah diperoleh.

Saya mencoba menyejajarkannya dengan perilaku kita di jalan dan di perjalanan. Sedikit banyak, meskipun tidak sama persis, kaidah fikih itu dapat diterapkan di sana. 

Saya mencoba menformulasikan rumus-rumus itu sambil lalu melakukan perjalanan silaturahmi ke Bali untuk menghadiri Jambore Bismania di Pantai Pandawa. Perjalanan itu terjadi pada hari Jumat, 25 Oktober 2019. 

* * *

Bagi kami di pesantren, khususnya di Madura, hari Jumat adalah hari libur. Kami tidak pergi jauh di hari itu kecuali adanya kemungkinan bisa melakukan shalat jumat di perjalanan. Jika tidak, maka kami harus berangkat sebelum atau menjelang Subuh (dengan asumsi bahwa waktu itu masih termasuk “zona waktu shalat isya-nya hari Kamis”). 

Nah, terkait Jumatan, ia termasuk shalat yang “wajib berjamaah”. Maka,  berjamaah yang semula status hukumnya adalah sunnah, di situ, berubah hukumnya menjadi wajib. Dalilnya begini:

ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب

“suatu kewajiban yang tidak sempurna tanpa adanya kewajiban yang lain maka hukum daripada kewajiban yang lain itu pun juga wajib”

Maka setelah masuk masjid, upayakan kita menempati baris terdepan, atau yang paling dekat dengan imam. Jangan biarkan orang lain menempati posisi utama tersebut selagi kita bisa ‘merebut’-nya, tentu tanpa harus harus senggol-senggolan dan desak-desakan.

Tapi, aturan itu hanya berlaku dalam hal ibadah. Adapun di luar ibadah, misalnya kamu turun dari masjid lalu pergi ke Terminal Pamekasan dan naik bis, maka mempersilakan orang (misalnya saya yang posisinya sedang duduk di deret bangku ketiga) agar maju dan duduk di baris pertama maka itulah yang afdal (utama), lebih-lebih terhadap mereka yang memang mengharapkan posisi di belakang sopir itu sebagai tempat duduk impiannya.

Kaidahnya:

الاء يثار بغيرالعبادة مطلوب

mendahulukan orang di luar urusan ibadah itu dianjurkan”

Adapun kaidah al-yaqinu laa yuzalu bi al-syak (اليقين لا يزال بالشك) jika diterapkan di jalan raya, kira-kira dapat tergambar dalam ilustrasi berikut: 

Bis yang saya tumpangi berjalan menuju kota tujuan, Denpasar, dan agak ngebut karena memang “kejar tayang”. Meskipun demikian, pak sopir tidak boleh menyalip di tikungan karena pandangannya tidak bebas.

Hukum menyalip dalam kondisi seperti itu tidak boleh karena adanya keraguan: apakah nanti akan bersirobok dengan kendaraan lain lalu terjadi “adu kambing” alias tabrakan di tengah tikungan, atau tidak.

Namun, jika yakin dari arah depan tidak akan ada kendaraan lain karena pak sopir sedang nyetir mobil balap F1 di sirkuit, misalnya, maka silakan menyalip sepuasnya. Di tikungan pun tidak apa-apa.

Kembali ke aspal. Setelah sampai di perempatan Kedung Cowek-Kenjeran, lampu menyala merah.

Kira-kira masih 3 detik lagi lampu akan berubah hijau. Eh, klakson sudah bertubi-tubi dari belakang, menuntut orang agar melanggar, agar menjalankan kendaraannya. Bagaimana? Mau lanjut atau tahan?

Saya lalu teringat kalam ulama, begini:

  إذا تعارض المانع والمقتضي ، قدم المانع

“Jika tuntutan dan larangan berpadu, yang diprioritaskan adalah larangan.”

Maka sopir tetap tak boleh jalan, harus menunggu lampu berubah hijau, bukan malah mengikuti perintah si tukang klaskon cerewet itu.

Setelah sampai di tol, ternyata ada laka lantas. Kita tahu, kendaraan tidak boleh lewat di bahu jalan karena ruas jalan di tepian itu hanyalah untuk kendaraan patroli, derek, atau mobil mogok.

Namun, dalam kondisi darurat, hukum yang berlaku adalah al-dharuratu tubihu al-mahdzurat (الضرورات تبيح المحظورات). Artinya, kondisi darurat dapat membuat larangan boleh dilanggar. Maka di saat ada mobil terguling di tengah tol, lewatlah bahu jalan. Yang demikian itu tidak apa-apa.

Tapi ingat, jika area kecelakaan hanya berkisar 100 meter, maka izin melewati bahu jalan hanyalah sekadar cukup untuk bisa melintasi area laka saja, ndak boleh terus-menerus lewat di bahu jalan hanya karena ingin cepat sampai ke tujuan.

Alasannya adalah maa ubiha lidh dharurah yuqaddaru biqadriha (ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها). Sesuatu yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan kadar daruratnya.

Dalam redaksi yang berbeda, kira-kira statemennya menjadi begini: 

كل ما تجوز حده انعكس الى ضده

(Setiap sesuatu yang melampaui batas kewajaran akan memiliki status  hukum sebaliknya, seperti ambil laba niaga boleh selagi wajar, tapi kalau kebangetan maka hukumnya haram).

Di tengah perjalanan, ternyata ada kubangan besar di tengah jalan. Bagi mobil kecil yang tidak melihatnya, maka ada kemungkinan terpental atau terperosok. Kalau naik bis mungkin masih aman. Maka, yang bertanggung jawab terhadap itu (Bina Marga, PU, Dishub, dll) harus bekerja sama untuk memberikan rambu dan memperbaikinya.

Kata kaidahnya adalah begini:

الضرر يزال

(Bahaya harus dihilangkan), bukan dibiarkan, atau sekadar ditempeli pengumuman vinyl yang bakal sobek setelah kena panas dan hujan dalam satu musim.

Bis berjalan terus menuju kota tujuan. Para penumpang ada yang hendak berdagang dan ada pula yang hendak mengunjungi istri dan anaknya yang lama terpisah karena merantau.

Di antaranya ada juga yang ingin silaturahmi, menjumpai kawan-kawannya. Nah, aslinya, hukum silaturahmi itu wajib (dengan analogi hukum kebalikannya, yaitu memutus hubungan silaturahmi yang hukumnya adalah dosa).

Juga, perjalanan dalam rangka silaturahmi itu adalah utama. Maka, kalau kita bisa silaturrahmi hanya sekali dalam setahun, ya, lakukan itu saja.

Ada kaidah usul fikih yang meskipun tidak pas dengannya, tapi sedikit banyak ada kemiripan “semangat”-nya, yaitu kaidah:

ما لا يدرك كله لا يترك كله

(Jika tidak mampu mengerjakan secara keseluruhan, maka tidak boleh meninggalkan kesemuanya). Contoh: Jika tidak mampu salat sunah empat rakaat, maka kerjakan dua rakaat saja). 

Itulah sekelumit coretan saya tentang fikih lalu lintas yang digatuk-gatukkan dengan kaidah fikih. Celoteh yang lain sudah terbit dalam satu buku, “Celoteh Jalanan”.

Dasar dari semua ini adalah lahirnya kesadaran dari masyarakat bahwa perilaku di jalan raya itu bukan soal tilang, pasal sekian nomor sekian, atau sanksi ratusan ribu karena pelanggaran kecepatan yang tertangkap kamera ETLE, tapi lebih dari itu.

Jika kamu tidak percaya kalau perilaku melanggar di jalan raya itu berdampak pada “dosa beneran”, kamu harus percaya bahwa ia akan melahirkan “dosa-dosa sosial”.