Fikih Kurban (Bag. I)

Fikih Kurban (Bag. I)

Fikih Kurban (Bag. I)

Hewan kurban adalah jenis hewan tertentu yang disembelih mulai hari Nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari tasyríq (13 Dzulhijjah) dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah). Menurut madzhab Syafi’i hukum berkurban adalah sunnah ‘ain (sunnah yang dikerjakan secara individual) bagi yang tidak memiliki keluarga dan sunnah kifáyah bagi setiap anggota keluarga yang mampu. Sunah kifayah adalah kesunahan yang sifatnya kolektif. Maksudnya, jika salah satu anggota keluarga sudah ada yang melakukannya, maka sudah dapat menggugurkan hukum makruh bagi yang lainnya. Kurban bisa menjadi wajib jika sebelumnya telah menjadi nadzar.

Syarat-Syarat Berkurban

  1. Hewan yang dijadikan kurban tergolong jenis an’âm, yaitu unta, sapi dan kambing.
  2. Untuk jenis domba harus yang telah tertanggal giginya pada usia setelah enam bulan ataupun mencapai usia satu tahun meskipun belum mengalami kondisi demikian. Untuk jenis sapi dan kambing kacang harus sudah mencapai umur dua tahun. Sementara untuk jenis unta disyaratkan mencapai usia 5 tahun.
  3. Satu ekor kambing hanya diperkenankan dikurbankan untuk satu orang mudhahhi (orang yang berkurban). Sedangkan satu ekor sapi dan unta mencukupi untuk tujuh orang mudlahhi.
  4. Binatang kurban tidak mengalami cacat yang dapat mengurangi kualitas daging atau anggota tubuh lain yang biasa dikonsumsi. Dengan demikian tidak mencukupi hewan yang terlampau kurus, terpotong telinganya, pincang kakinya dan lain sebagainya.
  5. Melakukan prosesi niat ketika menyembelih atau cukup dengan adanya ta’yîn (menentukan binatang yang hendak dibuat kurban) dalam selain permasalahan kurban nadzar. Sedangkan kurban yang dinadzari tidak disyaratkan niat saat menyembelih. Sebab dengan ucapan nadzar sudah mengeluarkan hewan kurban dari kepemilikan pihak yang berkurban, sehingga sudah dianggap cukup tanpa harus diniati.

Waktu Pelaksanaan Kurban

Sejak terbitnya matahari hari nahar sekira melewati masa yang memungkinkan untuk dibuat ritual shalat dua raka’at dan dua khutbah sesuai standar umum, sampai dengan akhirnya hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah). Bila dilakukan di luar rentang waktu tersebut, maka tidak sah sebagai kurban, namun hanya sedekah biasa. Hal ini dalam persoalan kurban sunah. Sedangkan untuk kurban yang wajib, bila disembelih setelah akhir hari tasyriq, maka sah  sebagai kurban dan wajib disembelih dengan status qadla’.

 

Pembagian Daging Kurban

Untuk kurban wajib, seluruh dagingnya harus disedekahkan, bagi mudlahhi tidak diperkenankan memakan sedikitpun darinya. Sementara untuk kurban sunah, tidak harus disedekahkan secara keseluruhan, cukup dengan kadar yang memiliki nominal menurut pandangan umum (aqallu ma yanthaliqu ‘alaihi al-ismu), namun demikian bagi mudlahhidianjurkan untuk makan daging kurban sekedarnya saja dalam rangka tabarrukan (mencari berkah) dan mensedekahkan sisanya.

Status daging kurban yang diberikan kepada orang faqir adalah tamlik (memberi kepemilikan secara penuh), sehingga bagi faqir tersebut boleh mengalokasikan daging kurban secara bebas. Berbeda dengan orang kaya, status daging yang diterimanya adalah ith’am (hidangan), sehingga dia hanya boleh memakannya sendiri, tidak diperbolehkan menjual, memberikannya ke pihak lain, atau beberapa jenis tasharruf  yang dapat menghilangkan kepemilikan.

Tidak diperbolehkan menjual bagian tubuh hewan kurban, termasuk kulitnya ke pihak manapun. Begitu juga tidak boleh diberikan ke pihak jagal atas nama upah (ujrah) dari jasa yang telah dilakukan. Ketentuan ini berlandaskan hadits nabi yang secara tegas melarang hal tersebut.

*) Sumber bacaan: Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, juz.2, hal.563 dan Al-Yaqut al-Nafis, hal. 204-206).

**) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri