
Kehidupan mana yang tak digarap oleh agama? Jawabannya tidak ada. Setelah sekian dasawarsa kebudayaan Islami tercelup di dasar hidup manusia Indonesia, kita seperti berada dalam sebuah zaman yang kian menyadari dan seakan kekurangan nilai agama.
Sebagian masyarakat kita mengukuhkan diri bahkan menjanjikan kedamaian bila agama bisa didaurulang dalam segala hal, tak terkecuali dalam olahraga.
Sebagian kelompok Islam ini ingin merintis jalan lebih menukik ke dalam fenomena yang jauh lebih renik ketimbang mengikuti arus kelompok yang dalam ukuran zaman ini disebut “ muslim tradisional”.
Sebagaimana tergambar dalam gerakan Komunitas MusCal Jakarta (Muslim Kalistenik Jakarta). Komunitas ini didirikan oleh Rehan. Komunitas ini mengendorse diri dalam semboyan: “bersama kami fisik kuat tanpa melanggar syariat!”
Mereka bebas menancapkan agama dalam setiap sendi-sendi otot yang digerakkan dalam ayunan semangat Islami.
Komunitas kalistenik yang dipelopori oleh anak-anak hijrah ini dalam setiap momen membuka pendaftaran untuk bergabung menjadi member komunitas. Namun syaratnya tak tanggung-tanggung, yakni harus laki-laki dan muslim. Aturannya: wajib menutup aurat, tidak ada musik, dan tidak merokok.
Di dalam setiap pamflet yang dibagikan kepada masyarakat luas bertulis: We Are You Nothing Allah. Dan, mereka juga memberi caption dengan hadis-hadis nabi:
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah Azza wa Jallah daripada mukmin yang lemah dan pada keduanya ada kebaikan…” (HR. Muslim no. 2664).
Saya melihat, pendiri dan pengurus kelompok Komunitas MusCal Jakarta ini memiliki idola ustaz-ustaz berlatar belakang salafi. Misalnya, mereka mengidolakan ustaz Khalid Basalamah, Yazid Rahimahullah, Nuzul Dzikri Hafidzahullah, dan Bazar Hafidzahullah.
Mereka juga memanggil sesama anggotanya dengan sebutan “akhi”.
Sejauh ini, mereka juga sering mengadakan kelas-kelas, seminar dan bahkan pernah mendatangkan seorang syekh dari Timur Tengah.
Tafsir saya, kelompok gym salafi kalistenk ini bersiteguh pada realitas tersendiri, dan bermimpi bahwa Islamisasi dianggap melampui ajaran agama itu sendiri.
Maka, ketika mengadakan acara, atau dalam setiap sesi konten-kontennya selalu menyebut “punya circle positif, mengajak sehat, kuat dan taat.”
Bahkan kita akan menemukan taburan hadis-hadis dan bahasa-bahasa khas anak hijrah dalam komunitas ini. Apakah ini salah? Tidak salah sama sekali.
Islamisasi dan komodifikasi agama
Tak ada realitas yang sepenuhnya obyektif. Semuanya memiliki tujuan dan pilihan sendiri.
Saya melihat, kelompok gym salafi kalistenk ini digerakkan dalam nadi “semangat agama” dalam ramuan komodifikasi. Di sana, mereka bebas menentukan keabsahan, tetapi sekaligus mematikan otoritas dan hanya menonjolkan validasi.
Penggunaan bahasa khas seperti “akhi” dan rujukan kepada ustaz-ustaz salafi memperkuat perbedaan identitas kelompok ini dengan kelompok lain, termasuk muslim tradisional atau komunitas kebugaran konvensional yang selama ini telah ada di Indonesia.
Asef Bayat dalam konsep post-Islamisme pernah menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok Islam modern atau muslim urban tidak hanya fokus pada politik Islam tetapi juga pada perubahan gaya hidup dan nilai-nilai sosial.
MusCal Jakarta menurut saya adalah contoh bagaimana Islamisasi dan komudifikasi agama merambah pada dunia olahraga dengan mengadaptasi kalistenik dalam kerangka nilai-nilai salafi.
Dalam dunia modern, saya melihat, komodifikasi agama tidaklah begitu mengherankan. Ini karena, agama tidak hanya menjadi ranah keyakinan dan spiritualitas semata, tetapi juga menjadi bagian dari sistem ekonomi, di mana nilai, simbol, dan praktik keagamaan dikemas, dipasarkan, dan dikonsumsi layaknya produk dalam industri gaya hidup.
Dalam bahasa lain, agama dijalankan sebagai pedoman hidup, sekaligus dijadikan sarana untuk menciptakan pasar dan identitas baru.
Komunitas MusCal Jakarta adalah salah satu contoh yang pantas kita jadikan dalam menerjemahkan fenomena komudifikasi agama. Sebab, seperti yang kita lihat, komunitas ini bukan sekadar wadah olahraga, namun sekaligus menjadi ruang di mana agama dikapitalisasi untuk menciptakan ceruk pasar tersendiri dalam industri kebugaran berbasis Islami.
Atas fenomena ini agama hanya dijadikan sebagai “opium masyarakat”, yakni alat yang bisa memberikan ketenangan sekaligus menjadi sarana bagi pasar untuk mengeksploitasi keyakinan individu demi kepentingan material, seperti merekrut kalangan anak muda dan menonjolkan simbol kesalehan dan identitas hijrah.
Gym berbasis syariah seperti MusCal Jakarta, barangkali menjadi alternatif Islami bagi seseorang/kelompok Islam modern atau muslim urban.
Melihat apa yang ditampilkan ke publik, mereka seakan membatasi diri terhadap budaya kebugaran konvensional yang mereka anggap kurang sesuai dengan nilai-nilai syariat. Bahasa mereka: melanggar syariat!”
Fenomena ini menegaskan bahwa komudifikasi agama bukanlah sesuatu yang dapat dihindari dalam dinamika sosial masyarakat modern. Tapi, sejarah adalah proses produksi kebaharuan dan bertungkus pada pamer kemajuan.
Kemajuan (modern) ternyata bergerak bersama kapitalisme yang melembagakan ketimpangan sosial, mengisap kewarasan, otoritas, jasad dan bahkan jiwa. Dan dengan demikian, jangan tanya saya apakah agama hari hanya sebagai alat pemasaran?