Coretan dari Tanah Suci; Masjidil Haram dan Kisah Pilu Negeri Seberang (Bag-3)

Coretan dari Tanah Suci; Masjidil Haram dan Kisah Pilu Negeri Seberang (Bag-3)

Berjalan-jalan di Masjidil haram memang sebuah kemewahan bagi muslim dari mana pun ia berasal. Tapi, sebuah cerita pilu kadang didengar tanpa disengaja.

Coretan dari Tanah Suci; Masjidil Haram dan Kisah Pilu Negeri Seberang (Bag-3)
Haji

Kembali menginjakkan kaki tanah suci Mekkah, setelah terakhir kali kala musim haji kemarin, saya teringat lagi tragedi-tragedi yang pernah terjadi waktu itu; ratusan nyawa jamaah haji melayang ketika perjalanan melempar Jumrah di Mina dan runtuhnya crane di Masjidil Haram.

Saat ini pun crane masih banyak di sekitar masjid, kondisi masjid masih compang-camping, suara alat-alat berat proyek menggema di dalam masjid. Kadang ada suara keras seperti benda jatuh membuat seisi masjid kaget. Atap masjid masih telanjang dijejali kabel-kabel dan pipa-pipa yang menempel tidak karuan, debu-debu bangunan beterbangan, bau cat dan material bangunan masih tercium di sana-sini. Entah kapan semua ini selesai. Inilah keadaan Masjidil Haram Mekkah saat ini.

Kebanyakan para peziarah ke Mekkah merasa belum lengkap kalau belum membawa oleh-oleh sajadah, karpet atau hiasan dinding bergambar Masjidil Haram Mekkah. Padahal di tanah air sebenarnya banyak yang menjual barang-barang tersebut. Itulah mengapa saya malas membeli barang-barang itu, apalagi berat bawanya.

Ada lagi alasan, karena kalau saya melihat sajadah atau karpet yang tersedia di toko-toko masih bergambar wajah Masjidil Haram Mekkah yang lama, gambar Masjidil Haram-nya sudah tidak mirip dengan aslinya, kurang kekinian. Mungkin cuma gambar Ka’bahnya saja yang mirip. Ya, sebab bangunan Masjidil Haram terus berevolusi dari tahun ke tahun, wajahnya bergonta-ganti. Atau sebaiknya begini saja, kalau ingin beli barang bergambar Masjidil Haram Mekkah pilih yang gambar klasik sekalian.

Proyek perluasan Masjidil Haram Mekkah kali ini memang besar-besaran, bahkan meliputi kawasan di sekitar masjid. Pembangunan gila-gilaan inilah yang mengakibatkan pemangkasan kuota haji termasuk yang dialami Indonesia. Akibat pemangkasan kuota haji ini, keberangkatan calon jamaah haji reguler di tanah air antri sampai belasan tahun, bahkan ada yang di atas 20 tahun lamanya. Jalur haji plus yang ongkosnya sangat mahal sekarang juga antri sekitar 7 tahun lamanya.

Saya memahami bagaimana kegelisahan orang-orang zaman sekarang yang berhasrat pergi haji tapi apa daya antrian terlalu lama, sementara mereka sudah lanjut usia. Kalau sekarang usia 50 tahun baru daftar haji sementara berangkatnya belasan tahun lagi,  kalaupun diberi usia panjang tentu fisik sudah tak lagi prima.

Semua yang pernah ibadah haji pasti merasakan bahwa haji sejatinya adalah ibadah yang membutuhkan kekuatan fisik. Ritual haji seperti Tawaf (mengelilingi Ka’bah) sebanyak tujuh kali putaran, Sa’i (perjalanan dari Safa ke Marwa), Wukuf di Arafah, menginap di Muzdalifah, menginap di Mina, melempar jumrah, semua ritual tersebut membutuhkan kekuatan fisik. Sementara usia manusia tidak bisa dibohongi. Saya kadang jadi ikut gelisah juga kalau memikirkan hal ini. Saya memaklumi orang-orang kemudian berangkat umrah ke tanah suci meskipun dirinya masih belum haji.

Ketika berziarah ke tanah suci kali ini, sekilas suasananya tak jauh beda dengan musim haji, saya melihat jamaah umrah datang dari berbagai negara, meski jumlahnya tidak membludak seperti musim haji. Senang bisa berjumpa mereka di tempat mulia ini.

Hanya saja, kali ini saya merasakan pengalaman yang berbeda dengan musim haji kemarin, sudah dua pekan di tanah suci saya tidak menjumpai jamaah umrah asal Iran, saya baru ingat, mungkin ini dampak memanasnya hubungan “tuan rumah” dengan negeri mereka. Pemerintah Iran sementara ini memang melarang rakyatnya pergi umrah ke tanah suci.

Ada hal yang memilukan, yakni kisah dari negeri seberang tanah suci, negeri Yaman. Meski berbatasan darat dengan Arab Saudi, saya sama sekali tidak menjumpai peziarah asal Yaman di tanah suci, kecuali mereka adalah tenaga kerja yang sudah lama menetap di Saudi, ini karena situasi perang Yaman tak kunjung usai, dan Arab Saudi juga ambil bagian dalam perang tersebut.

Musim haji kemarin pun mayoritas umat Islam dari Yaman terhalang pergi haji karena konflik ini. Apalagi umat Islam Suriah, mereka sudah 4 tahun dilarang pergi haji oleh Arab Saudi. Suriah mengalami pemberontakan bersenjata sejak tahun 2011 dan Arab Saudi mendukung pihak pemberontak Suriah.

Jadi sekalipun umat Islam di Indonesia antri belasan tahun berangkat haji, setidaknya masih bisa ke tanah suci dengan umrah kapan saja. Malah musim haji 2016 jamaah haji Indonesia mendapat kuota tambahan 10.000, kepastian ini menyusul pertemuan Presiden Joko Widodo dan Raja Arab Saudi tahun lalu di Jeddah.

Saya senang campur sedih mendengarnya. Senangnya, kuota ini jelas akan berpengaruh mengurangi lamanya antrian haji. Sedihnya, jangan-jangan kuota itu sejatinya milik Suriah atau Yaman yang dikasihkan ke Indonesia. []

Iqbal Kholidi adalah Pemerhati Timur Tengah. Bisa ditemui di twitter: @Iqbal__Kholidi

Baca juga: Coretan dari Tanah Suci (Bag. 1) dan Coretan dari Tanah Suci (Bag.2)

Sumber gambar di sini