Suatu pagi, saya terlibat percakapan dengan rekan saya, seorang Kristen Protestan, di warung kopi. Kami berdialog soal konsep teologi yang kami peluk. Sementara dia bertanya banyak soal doktrin-doktrin Islam, saya pun mengajukan banyak pertanyaan soal ajaran-ajaran Kristus. Sampai pada satu titik, saya bertanya,
“Bagaimana sih, rasanya punya Tuhan yang bisa digambar wajahnya?”
Umbu, nama mesra teman saya, merespon dengan datar, “Ya dulu enak. Bisa membayangkan kita ibadah untuk siapa, kita berbuat baik untuk siapa, kita berharap kepada siapa…”
Pertanyaan saya mungkin agak slengean, namun saat itu saya memang penasaran, apakah rupa Tuhan Yesus milik umat Kristen itu mempengaruhi kualitas iman dan ibadah mereka. Berangkat dari teologi yang saya yakini, di mana Islam mengharamkan visualisasi rupa Tuhan, pertanyaan aneh itu muncul.
“Namun, saya merasa ‘dibohongi’ setelah saya makin belajar Kristen!” ujar Umbu. (Ada hehe-nya.)
“Loh, kok bisa?” kejar saya. (Ada hehe-nya juga.)
“Soalnya, rupa Yesus yang selama ini familiar di publik adalah hasil konstruksi Barat. Yesus digambarkan sebagai sosok berkulit putih, berambut lurus, khas ras kaukasoid.”
“Lalu mana yang benar?” tanya saya lagi.
“Ya, Yesus itu bukan kulit putih. Ia bukan orang Eropa, bukan kulit putih. Ia lahir di Afrika dan berkulit gelap. Mukanya pun agak membulat, tidak seperti rupa Yesus yang tirus sebagaimana dibingkai orang-orang Barat.” Ia menjelaskan sembari menunjukkan poto gambar Yesus berkulit gelap di Google.
Saya agak terpingkal mendengar pengalaman batinnya yang tertipu soal wajah Yesus yang ia pikir otentik namun rupanya produk konstruksi Barat.
Kami juga membahas soal penciptaan Adam di dunia. Kami bersepakat bahwa Adam dan Hawa adalah dua manusia pertama yang hidup di dunia. Persamaan itu selesai ketika kami membincang soal anak-anak Adam dan Hawa yang rupanya memiliki kisah yang berbeda.
Akhirnya, sampailah kami pada topik Islam dan Kristen sebagai agama misionaris. Ia bertanya pada saya soal konsep murtad dan muallaf dalam Islam.
“Apakah mungkin orang Islam bisa memeluk agama lain? Seperti misalnya, kita melakukan shalat Jum’at namun juga ikut acara kebaktian di Gereja tiap hari Minggu.” Umbu bertanya.
Saya terdiam sejenak.
“Secara prinsip tidak bisa karena Islam menuntut umatnya untuk menunggalkan Allah.” Saya menjawab sekenanya.
Mendengar jawabanku, ia kemudian merespon panjang lebar yang intisarinya adalah soal peleburan antar agama-agama. Ia membayangkan bahwa konsep konversi dan misionaris di agama-agama Abrahamik itu dihapus, sehingga manusia bisa mengekspresikan keyakinannya tanpa tuntutan doktrin agama.
Saya hanya fokus menyimak sembari ngangguk-ngangguk. Anggukan apresiasi saja karena ia sudah bicara panjang kali lebar.
Saya sadar, perbincangan ini jika dibawa ke ruang publik pasti akan problematis. Menurut beberapa penganut agama, soal teologi adalah dogma. Dogma beda dengan doktrin. Dogma lebih otoritatif daripada doktrin karena melibatkan kewahyuan Tuhan. Dogma sifatnya lebih pakem, statis, dan mengikat. Sedangkan doktrin masih bisa diperdebatkan. Nah, inti dari pembicaraan saya dengan Umbu adalah dalam rangka mendekonstruksi dogma agama. Riskan sekali.
Apa poin dari cerita di atas?
Saya tidak sedang membincang isu teologis yang dibincang dalam obrolan hangat itu. Saya sedang menegaskan soal kegiatan kami itu, yaitu mengobrol. Topik perbincangan itu mungkin sangat kontroversial bagi sebagian kalangan, namun esensinya adalah bagaimana seorang pemeluk Islam bertemu dengan pemeluk Kristen kemudian mengobrol tanpa ada tendensi menyalahkan satu sama lain.
Kami mengobrol sesuai dengan apa yang terlintas di kepala. Tak ada intensi untuk membenarkan doktrin masing-masing, atau menyalahkan satu sama lain. Kami saling bertukar cerita tanpa khawatir akan mengganggu kualitas iman masing-masing. Saya membayangkan bahwa kesadaran akan dialog tersebut dipahami oleh umat-umat beragama di Indonesia.
Tidak musti harus membahas persoalan agama, dialog lintas agama juga bisa melibatkan isu-isu sosial, lingkungan, gender, dan sebagainya. Intinya bukan pada topik yang dibahas, namun soal kemauan umat beragama untuk bersikap terbuka terhadap yang lainnya. Sikap keterbukaan itu akan memberi alasan perlunya menghormati sesama dan menghargai keberagaman.
Saya tidak sedang mengglorifikasi bahwa apa yang kami lakukan adalah benar dan harus ditiru. Saya hanya membayangkan, jika warga Indonesia bisa mengobrol satu sama lain tanpa melihat latar belakangnya, saya yakin Indonesia akan hidup dengan damai. Imajinasi yang utopis memang, namun melalui cerita ini, saya ingin memberi kesan bahwa tidak ada yang salah dalam bergaul dengan penganut agama lain. Indonesia lahir berkat keberagaman. Keberagaman hidup melalui dialog. Dialog muncul dari kesadaran warganya untuk menjaga Indonesia tetap damai.