Catatan Haji yang Terserak

Catatan Haji yang Terserak

Ibadah haji memancing orang untuk menulis. Tak terkecuali orang nusantara sebelum merdeka

Catatan Haji yang Terserak

Ibadah haji memancing orang untuk menulis. Tak terkecuali orang nusantara sebelum merdeka.

Allah, Allah, Allah! Tiadalah dapat hendak dikhabarkan bagaimana kesusahannya dan bagaimana besar gelombangnya, melainkan Allah yang amat mengetahuinya. Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali; gelombang dari kiri lepas ke kanan dan yang dari kanan lepas ke kiri. Maka segala barang-barang dan peti-peti dan tikar bantal berpelantingan. Maka sampailah ke dalam kurung air bersemburan, habislah basah kuyup. Maka masing-masing dengan halnya, tiadalah lain lagi dalam fikiran melainkan mati. Maka hilang-hilanglah kapal sebesar itu dihempaskan gelombang. Maka rasanya gelombang itu terlebih tinggi daripada pucuk tiang kapal. Maka sembahyang sampai duduk berpegang.

Maka jikalau dalam kurung itu tiadalah boleh dikhabarkan bunyi muntah dan kencing, melainkan segala kelasi selalu memegang bomba. Maka air pun selalu masuk juga ke dalam kapal. (…) Maka pada ketika itu hendak menangis pun tiadalah berair mata, melainkan masing-masing keringlah bibir. Maka berbagailah berteriak akan nama Allah dan rasul kerana Kep Gamri itu, kata mualimnya, sudah termasyhur ditakuti orang: ‘Kamusekalian pintalah doa kepada Allah, kerana tiap-tiap tahun di sinilah beberapa kapal yang hilang, tiadalah mendapat namanya lagi, tiada hidup bagi seorang, ah, ah, ah!’

Catatan diatas merupakan kesaksian sorang pujangga besar Sumatera, Abdullah bin abdul kadir Munsyi ketika menuaikan ibadah haji. Tulisan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Kisah Pelayaran Abdullah. Ke Kelantan dan ke Judah. Yang disusun oleh Kassim Ahmad. Kisah Pelayaran merupakan bagian catatan dari perjalanan haji zaman dulu. Pengalaman ini dikisahkannya Abdul Kadir ada di wilayah ada Ghamri, dimana semua jamaah haji menggunakan kapal melewatinya.

Masih banyak catatan-catatan tentang haji yang dilakukan oleh orang-orang nusantara. Selain para pujanga yang menulis, ada juga catatan dari orang-orang Belanda terutama konsulnya yang berada di Saudi kala itu. Dalam sejarah haji di Nusantara khsusunya sebelum kemerdekaan banyak sekali kesaksian dari para jamaah.Tidak hanya itu catatan-catatan khusus juga diberikan oleh media masa Belanda maupun pemerintah kolonial. Banyak hal-hal menarik ketika kita membacanya lagi. Ada kisah sedih, ada data sejarah yang penting juga beberapa kisah-kisah yang luar biasa.

Perjalanan haji juga digambarkan dalam karya berbahasa Melayu, Hikayat Hasanuddin. Buku yang dikarang sekitar 1700 mengisahkan Sunan Gunung Jati mengajak anaknya menunaikan haji. Berikut nukilannya : “Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal juga dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!” Setelah sudah ia berkata-kata, maka lalulah ia berjalan dengan anaknya dan dibungkusnya dengan syal.

Maka tiada beberapa lamanya di jalan lalu ia sampai di Makkah, makalalu di Masjidul Haram. Serta sampai di Masjidul Haram maka lalu dikeluarkannya anaknya dari dalam bingkisan, lalu sama-sama ia thawaf ke Baitullah serta diajarnya pada kelakuan thawaf dan do’anya sekalian, serta mencium pada hajarul aswad, dan ziarat kepada segala syaikh, dan diajarkannya rukun haji dan kesempurnaan haji. Setelah sudah ia mendapat haji, maka lalu ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir. Setelah sudah ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir itu, lalu ia pergi ke Medinah serta mengajarkan anaknya ilmu yang sempurna, beserta dengan bai’at demikianlah silsilah dan wirid dan tarekat Naqsyabandiyah serta dzikir dan talkin dzikir [dan] khirqah serta syughul…”

Sufi kontroversial, Hamzah Fansuri, dalam salah satu syairnya pernah menulis perihal perjalana hajinya. Dalam salah satunya syairnya ia mengungkapkan perjalanan ruhaninya selama menunaikan rukun iman ini.

Sidang ‘asyiq mencari Lawan

ke Bait al-Qudus pergi berjalan

kerjanya da’im membuangkan kawan

itulah sedia anak bangsawan

Ialah sampai terlalu ‘asyiq

da’im ia minum pada cawan Khaliq

mabuk dan gila ke Hadhrat Raziq

itulah thalib da‘wanya shadiq

Minuman itu terlalu masak habis

dapat diminum pada fardh yang khamis

jika hendak kau minum sekalian habis

wujud wahmi jangan kau labis

….. …..

Hamzah Fansuri di dalam Makkah

mencari Tuhan di Bait al-Ka‘bah

di Barus ke Qudus terlalu payah

akhirnya dapat di dalam rumah

 

Konsul Belanda, Snouck dan Pewarta Deli

Salah satu catatan-catatan haji yang bias dilihat adalah catatan dari konsul Belanda yang ada DI Mekkah. Berikut adalah berbagai nukilan sejarah haji yang berlangsung pada masa kolonial dan media local. “

28 jamaah haji makassar yang melakukan perjalanan via Bombay dan terlambat tiba di sana sehingga tidak mendapatkan kapal yang ke Jeddah.baru tiba di sini pada akhir November, jauh sesudah berlangsungnya haji dengan demikian mereka harus menunggu haji tahun depannya..” Peristiwa di atas merupakan catatan dari Konsul Belanda pada tahun 1886.

Catatan Van der Meulen, konsul Belanda di Jeddah pada tahun 1927 : “…..orang-orang padang tidak mendapat tiket di Singapura mengambil rute baru. Dari Singapura dengan trein ke Kuala lumpur, kemudian dengan koeli boot ke Madras dengan hanya f1,23 dan dengan trein ke Bombay. Dengan kapal dari sana ke Jeddah..”

Lain halnya dalam tulisan di Pewarta Deli 26 Oktober 1929. Di Koran ini tertulis ; “ Kapal kota Agung berangkat dari belawan jam 4 sore, hari Khamis 24 Agustus 1939 , dan dengan membawa jamaah haji kira-kira 750 orang. Sampai di sabang hari Jum’at 25 Agustus 1929, jam 11siang dan sekalian jamaah disuruh turun dan berkumpul dalam satu gedung seperti kuli-kuli kontrak antre pagi-pagi untuk bekerja di kebun. Jam dua belas setelah hadir segala pegawai maka jamaah haji diperiksa dengan sangat teliti. Pemeriksaan berlangsung hingga jam 2 sore. Jam 5 sore Kota Agung meninggalkan Sabang “

Yang tak kalah penting adalah catatan dari orientalis Snouck Horgrounje. Bahkan ia membuat buku tersendiri mengenai haji ini. Adapun catatannya antara lain sebagai berikut.“ ….sarana untuk mendarat, ruangan dan cara-cara pembersihan kuman, tempat tinggal, pemeliharaan, baik orang sakit maupun yang sehat, sedikitpun tidak memenuhi syarat yang palin primitif yang dapat dituntut orang. Materiil dan personal memang sudah mencukupi, baik kualitas maupun kuantitas. Satu-satunya pekerjaan yang dilakukan dengan ketekunan dan keahlian adalah pemungutan biaya karantina, yang harus dilunasi setiap calon haji…”

Meskipun sejak tahun 1825 pemerintah belanda mewajibkan jamaah haji menggunakan pas jalan, tetapi, masih banyak yang berangkat tanpa pas. Dan sampai dengan akhir abad XIX mereka yang berangkat tanpa pas tidak diberikan pas baru. Dari laporannya pada 1882 konsul menulis banyak jemaah haji dari Aceh datang tanpa pas. Ia tidak menawarkan pas baru pada mereka.