Lebih dari setengah jam saya menunggu tokoh NU ini menyelesaikan zikirnya selepas Ashar. Seorang pria berjenggot, bercelana cingkrang, yang shalat belakangan dan membaca doa saya lihat sudah keluar mushalla bandara ini. (Baca: Islam Indonesia di Denmark-red)
Saya harus menunggu beberapa menit lagi untuk menemui lelaki yang mengenakan kaos hitam sore itu. Tangannya saya cium ketika ia berdiri hendak keluar mushalla. Saya tanya beberapa hal berbasa-basi. Saat memakai kaos kaki dan sepatu, ia masih merafal sesuatu. Entah apa yang dibacanya.
Gus Yahya Cholil Staquf, salah seorang delegasi kunjungan Denmark. Saat ngobrol sambil ngopi, saya sangat yakin ia punya gagasan besar mengatasi radikalisme. “Ini pertarungan global. Tidak bisa diatasi sendiri-sendiri”.
“Dunia Islam saat ini tak punya kepemimpinan yang kuat. Negara-negara di Timur Tengah berantakan gara-gara konflik dan perang,” katanya meyakinkan.
Ia yakin Indonesia dapat mengambil peran ini. Asal negara-negara di dunia berjuang bersama. Arab Saudi harus diingatkan untuk mengatasi problem radikalisme dan terorisme.
Salah satu yang ditawarkan adalah rekontektualisasi khazanah Islam yang ada. “Kita harus jujur kekerasan yang dilakukan teroris itu mendapat legitimasi dalam kitab-kitab dan hadis-hadis. Mau apa?”
Pikiran-pikiran itu yang ia lontarkan dalam pertemuan dengan parlemen, pemerintah dan masyarakat di Denmark.
Di pesawat menuju Tanah Air, saya mendengar lagi Katib Syuriah PBNU ini berzikir.