Cara Media Islam Konservatif Membicarakan Kasus Meilliana

Cara Media Islam Konservatif Membicarakan Kasus Meilliana

Bagaimana media islam konservatif membicarakan kasus Meilliana? Analisis ini membantumu menjernihkan persoalan

Cara Media Islam Konservatif Membicarakan Kasus Meilliana
Kiblat.net justru memberi ruang yang agak keras terkait azan .

[Wawancara] Wasekjen MUI Pusat: Kalau Azan Dilarang Pakai Pengeras Suara, Saya Pimpin Perangnya!

Rusuh Tanjung Balai Adalah Puncak Kekesalan Warga yang Dipendam Sejak Lama

Warga Etnis Cina Arogan, Kerusuhan Bernuansa SARA Pecah Di Tanjungbalai

MUI Tanjungbalai Minta Status Meliana Ditingkatkan Jadi Tersangka

FUI Tanjung Balai: Meliana Si Pemicu Kerusuhan Harus Dihukum

Judul-judul di atas bisa dengan mudah kita temui di laman arrahmah dot com dan nahimunkar dot org. Saya terkejut dan miris mendapati judul-judul itu. Judul-judul itu rasanya terlalu telanjang, terutama judul Wasekjen MUI Pusat: Kalau Azan Dilarang Pakai Pengeras Suara, Saya Pimpin Perangnya! Saya berusaha tidak memberi label “situs pemicu perang” pada dua laman itu. Tapi tak bisa.

Pasalnya, bukan sekali dua kali laman-laman itu membuat judul yang provokatif dan mengobarkan permusuhan. Laman berlabel Islam yang semestinya menghadirkan keteduhan, justru menjadi obor pemicu kebakaran yang lebih luas.

Narasi yang dibangun rupanya masih sama. Dalam sebuah wawancara, Wasekjen MUI Tengku Zulkarnaen, mengatakan: Masalah Tanjungbalai ini sebenarnya hanya pemicu saja, puncak gunung es. Yang jelas orang Islam di mana-mana selalu mengalami tiga kondisi. Pertama kezaliman, kedua ketertindasan, ketiga ketidak berdayaan. Ini yang sebetulnya harus diselesaikan oleh pemerintah. Sehingga kalau dibakar nantinya tidak terbakar. Kalau yang tiga ini tetap ada di mana-mana nantinya akan mudah terjadi.

Mereka selalu menganggap umat Islam dizalimi dan ditindas. Tapi ukuran penzaliman dan penindasan tidak jelas. Dari wawancara itu justru terungkap kebencian terhadap etnis Tionghoa, dengan memberi label Tionghoa arogan, serakah dll. Bahkan, seorang Wasekjen MUI bisa membuat pernyataan serupa ini: …kalau azan dilarang kita lebih baik bacok-bacokan saja, perang. Saya mimpin perangnya, kalau dilarang azan pakai pengeras suara itu. Tampak ia tidak paham permasalahan dan malah menyilakan perumpahan darah.

Pada wawancara yang diunggah 4 Agustus 2016 itu, Tengku Zulkarnaen juga memberi ultimatum: Meliana itu harus ditangkap sebagai tersangka penghinaan agama. Kalau tidak, maka tidak akan bisa meredam. Semakin dendam malah iya. Dari penyataan itu, kita tahu, memang ada pihak-pihak yang menjadi obor. Bukannya berusaha menetralisir keadaan, mengedepankan dialog, tapi justru provokasi demi provokasi yang mereka lancarkan.

Media seperti nahimungkar justru memberi api pada konflik

Tulisan Rusuh Tanjung Balai Adalah Puncak Kekesalan Warga yang Dipendam Sejak Lama tak kalah bermasalah. Di dalamnya terdapat kutipan: Jangan selalu warga disalahkan tanpa melihat apa masalah sebenarnya. Insiden Jumat malam lalu, saya menilai merupakan puncak kekesalan warga yang sudah dipendam selama bertahun-tahun terhadap sikap warga keturunan non Muslim.

Kita yang masih berpikiran jernih tentu menyayangkan dikutipnya pernyataan semacam itu. Tulisan itu sejak awal memang ingin membenarkan terjadinya kerusuhan.

Pernahkah mereka memikirkan dampak sebuah tulisan? Bagaimana jika pembaca laman itu mengamini logika yang sama: karena memendam kekesalan bertahun-tahu, maka boleh-boleh saja melakukan kerusuhan? Lebih-lebih jika yang bikin kesal itu beda agama, dan kita adalah mayoritas.

Saya belum menemukan riset tentang efek buruk setelah mengonsumsi laman-laman seperti arrahmah dan nahimunkar. Hanya saja, jika laman seperti itu terus dibiarkan lenggang kangkung melakukan provokasi tentu sangat berbahaya. Saya teringat wawancara Savic Ali dengan Remotivi, menurut Savic kelompok intoleran itu sebenarnya kecil dalam jumlah, tapi mereka galak dan suaranya lantang, jadi seolah-olah banyak.

Seyogyanya, media-media Islam bisa mendudukan kasus Meliana dengan jernih. Bukan malah menjadi “kompor meleduk” dan memperuncing masalah. Media punya tanggung jawab mengedukasi mayarakat. Itu yang dilakukan media-media bermartabat. Beda cerita jika mereka memilih untuk jadi media tak bermartabat.

Mengenai kasus Meliana ini saya satu pandangan, Alamsyah M Ja’far. Menurutnya delik penodaan agama yang tertera pada pasal 156a KUHP sepatutnya tak lagi digunakan. Tidak setiap hal yang dianggap melukai perasaan orang lain harus dipidanakan. Cara terbaik adalah berdialog, kata Alamsyah sebagaimana dilansir BBC Indonesia.

Sayangnya, suara-suara jernih seperti yang digemakan Alamsyah masih tertutup oleh lantang teriakan kelompok-kelompok yang menghalalkan pertumpahan darah.

Semoga Indonesia selalu dalam lindungan Tuhan.