Musim pandemi Covid-19 yang tengah melanda kawasan global, secara tidak langsung berpengaruh terhadap berbagai aktifitas kehidupan manusia, khususnya ummat Islam. Apalagi, di Bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, ada sebuah anjuran untuk melaksanakan ibadah tarawih dan i’tikaf. Khusus untuk i’tikaf, tradisi yang umumnya dilakukan oleh ummat Islam adalah di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
Antara melaksanakan anjuran i’tikaf dan melakukan social distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), campur aduk menjadi satu sehingga membutuhkan langkah penyikapan yang dibenarkan oleh syariat. Namun, bagaimanapun juga, i’tikaf itu adalah sunnah hukumnya. Dengan kata lain, bagi yang tidak melakukan tidak berdosa sementara pihak yang melakukan beraih pahala yang dijanjikan. Adapun pendapat yang justru berlaku wajib adalah menahan diri dari jatuh dalam kerusakan (halak) yang diakibatkan oleh wabah Covid-19. Alhasil, antara melakukan i’tikaf dan tidak, secara umum, hukumnya adalah lebih condong ke arah tidak, mengingat hal yang wajib tidak bisa digantikan oleh perkara sunnah.
Akan tetapi, bagi pihak yang sudah membiasakan diri melakukan i’tikaf di 10 akhir dari bulan Ramadhan, tentu merasa berat bila meninggalkan satu kesempatan ibadah yang jarang dijumpai ini. Belum tentu seseorang bisa menemui Ramadhan lagi di tahun mendatang sehingga aman dari melakukan i’tikaf itu tanpa adanya rasa kekhawatiran. Oleh karena itu, adakah solusinya?
Dalam ranah kajian fikih, hal yang disepakati sebagai syarat dan rukun i’tikaf ada 4, yaitu mu’takif (orang yang beri’tikaf), niat i’tikaf, tempat i’tikaf (masjid), dan diam di masjid. Dari keempat rukun ini, ulama kalangan Hanafiyah hanya mencantumkan rukun niat semata, sementara tiga lainnya bukan merupakan rukun. Kalangan Malikiyah menambahkan 1 rukun lagi, yaitu puasa (shaum). Dengan demikian, pelaku i’tikaf haruslah orang yang berpuasa. Tanpa puasa, tidak ada i’tikaf. Kalangan Syafiiyah dan Hanabilah tetap fokus pada 4 rukun di atas.
Dengan melihat konteks sosial yang terdapat di bulan Ramadhan ini, maka pengikut empat madzhab di atas menjadi bersatu dalam satu kata sepakat, yaitu tidak ada mawani’ (penghalang) bagi tidak sahnya i’tikaf, sebab apa yang disyaratkan oleh masing-masing ulama’ madzhab bersifat masuk semua. Tak terkecuali Madzhab Maliki yang menambahi syarat berpuasa.
Lantas, apa yang dimasalahkan? Rupa-rupanya perbedaan pendapat itu justru terjadi pada dialektika soal masjid. Secara umum, ulama empat madzhab sepakat bahwa i’tikaf itu harus di masjid. Tidak ada i’tikaf tanpa dilakukan di masjid. Namun, masjid di sini, ternyata memiliki sejumlah batasan yang berbeda dari masing-masing ulama madzhab.
Menurut Madzhab Hanafi, masjid yang sah dijadikan tempat i’tikaf hanyalah masjid yang di dalamnya didirikan shalat 5 waktu. Tidak harus masjid jami’ (masjid tempat shalat jum’at). Dengan demikian, tempat shalat yang ada di rumah (masjid bait) pun masuk dalam ranah masjid dalam lingkup madzhab satu ini. Oleh karena itu pula, maka menurut kalangan Hanafiyah, boleh seseorang beri’tikaf di masjid rumahnya, apalagi bagi kaum perempuan. Sebagaimana tersirat dari pendapat kalangan tersebut sebagai berikut:
أن كل مسجد له إمام ومؤذن معلوم وتصلى فيه الخمس بالجماعة
“Sesungguhnya setiap masjid yang memiliki imam rawatib dan muadzin yang diketahui, serta didirikan shalat lima waktu secara berjamaah di dalamnya” (Ibn Nujaim al-Mishry, Al-Bahru al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 2, halaman 526)
Setelah ditelusuri, dasar dari penetapan pendapat ini adalah disandarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لا اعتكاف إلا في مسجد له أذان وإقامة
“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang disitu dikumandangkan adzan dan iqamah.” (Ibn Nujaim al-Mishry, Al-Bahru al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 2, halaman 526)
Menurut Madzhab Maliki, masjid yang bisa dijadikan sebagai i’tikaf haruslah berupa masjid secara mutlak dan mubah.
بمطلق مسجد) مباح، لا بمسجد بيت ولو لامرأة (إلا لمن فرضه الجمعة
“Pokoknya masjid secara mutlak dan mubah (diwakafkan/diidzinkan), akan tetapi bukan masjid rumah meskipun bagi perempuan. Kecuali untuk laki-laki yang memiliki kewajiban jum’ah (maka harus di masjid jami’). (Muhammad ‘Irfah al-Dasuqy, Hasyiyah Al-Dasuqy ala Al-Syarhi al-Kabir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Juz 2, 181).
Maksud dari mubah ini adalah, siapa saja boleh masuk dan shalat di dalamnya. Untuk itulah, maka mushalla-mushalla yang ada di Indonesia seluruhnya, tidak harus masjid tempat shalat Jum’at, adalah masuk dalam bagian dari yang bisa dipergunakan untuk i’tikaf.
Bagaimana dengan mushAlla pribadi yang ada di dalam rumah? Menurut Madzhab ini, maka mushalla pribadi di rumah tidak masuk dalam kategori masjid mutlak-mubah. Oleh karenanya tidak bisa dijadikan sebagai tempat i’tikaf.
Menurut Madzhab Syafii, ada dua kriteria masjid yang bisa dijadikan i’tikaf, dengan merujuk pada pendapat yang terdapat di dalam qaul qadim dan qaul jadid Madzhab Syafii. Akan tetapi, pendapat yang mu’tamad dari kalangan ini adalah harus masjid jami’ (masjid tempat sholat jum’at).
لا يصح الاعتكاف من الرجل ولا من المرأة إلا في المسجد، ولا يصح في مسجد بيت المرأة ولا مسجد بيت الرجل، وهو المعتزل المهيأ للصلاة
“I’tikaf seorang laki-laki dan seorang perempuan hanya sah bila di masjid. Oleh karenanya tidak sah untuk seorang perempuan i’tikaf di masjid rumahnya, demikian pula seorang laki-laki tidak sah i’tikaf di masjid rumahnya. Karena masjid rumah adalah masjid terpisah yang disiapkan untuk shalat semata.” (Al-Majmu Syarah al-Muhadzab, Juz 6, halaman 505).
Alhasil, mushalla-mushalla sebagaimana yang tersebar di Indonesia adalah tidak bisa dijadikan sebagai tempat i’tikaf. Sementara itu pendapat yang lemah (dlaif) akan tetapi pernah disampaikan oleh pendiri madzhab ini adalah bahwa seorang perempuan boleh melakukan i’tikaf di masjid rumahnya.
Menyikapi adanya dialektika mengenai masjid di dalam madzhab ini, ulama Khurasan dan Iraqiyyin berpendapat bahwa:
أصحهما) وهو الجديد هذا (والثاني) وهو القديم: يصح اعتكاف المرأة في مسجد بيتها
“Pendapat yang paling shahih adalah qaul jadid. Pendapat yang kedua adalah qaul qadim, yaitu sah i’tikafnya perempuan di masjid rumahnya.” (Al-Majmu Syarah al-Muhadzab, Juz 6, halaman 505).
Berdasar pendapat yang dlaif, untuk kaum perempuan boleh beri’tikaf di mushalla pribadi di rumahnya. Jika musholla di rumah boleh dijadikan sebagai wahana i’tikaf, maka apalah lagi musholla-musholla yang tersebar di nusantara. Tentu lebih utama kedudukannya dibanding musholla pribadi di rumah. Alhasil, mushalla berdasar qaul qadim ini, boleh dijadikan sebagai tempat i’tikaf pula, berdasar qaidah:
الأمر إذا ضاق اتسع وإذا اتسع ضاق
“Suatu perkara jika sempit maka menghendaki diperluas, dan bila luas, maka menghendaki dipersempit.” (Al-Asybah wa al-Nadhair li al-Suyuthy).
Ulama Kalangan Hanabilah, memberikan penegasan mengenai kriteria masjid yang bisa dijadikan i’tikaf dengan istilah hukman wa haqiqatan. Maksudnya adalah, bahwa masjid yang bisa dijadikan i’tikaf adalah masjid yang secara hukum bisa dikategorikan masjid, dan secara haqiqi dipergunakan sebagai shalat jum’at. Alhasil, menurut kalangan ini, musholla pribadi di rumah, tidak bisa dipergunakan sebagai i’tikaf.
Lantas apa solusi i’tikaf di tengah Pandemi Covid-19 ini?
Dalam hemat penulis, lebih elok bila kita mengikuti dialektika soal masjidnya Madzhab Syafii dengan alasan umat Islam di Indonesia adalah penganut Madzhab Syafii. Dengan demikian, lokasi i’tikaf itu lebih bersifat menyebar dan luas, serta fleksibel dan tidak terkonsentrasi di satu titik. Jadi, untuk meraih fahala keutamaan i’tikaf itu bisa diraih dengan jalan:
- I’tikaf di mushalla rumah sendiri
- I’tikaf di mushalla-mushalla umum yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal, yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia
- I’tikaf di masjid jami’
Sudah pasti, untuk melakukan hal ini tetap harus memperhatikan anjuran agar melakukan social distancing dan PSBB. Mana yang lebih maslahah dan tidak berujung mafsadah, maka di situ kita harusnya memilih pendapat. Kalau memang kita tidak punya mushalla pribadi, sementara untuk i’tikaf di mushalla umum bisa membahayakan diri kita, maka lebih baik menahan diri di rumah untuk sementara, karena bagaimanapun menjaga diri dari bahaya dan kemudaratan adalah kewajiban.