Dalam imaji Aman Abdurrahman butir Pancasila mengandung anjuran kepada Muslim untuk mencintai orang-orang kafir, menggelikan bukan? Menurutnya, mengutip QS. Al-Mujadilah ayat 22, orang yang mencintai para kafir maka mereka bukan orang Islam, bukan orang beriman.
Kata Pak Aman, Pancasila mengajarkan pada kekafiran. Ia pun mengutip QS. Al-Mumtahanah ayat satu dan empat perihal permusuhan terhadap orang kafir seraya menyatakan bahwa Pancasila menyelisihi tauhid. Pancasila yang mengajarkan kasih kepada sesama apapun keyakinannya menurutnya melawan al-Qur’an yang menganjurkan untuk membenci dan memerangi orang kafir. Sebuah imajinasi serius yang perlu ditanggapi dengan biasa saja.
Pak Aman tidak mencermati apakah al-Qur’an benar-benar menganjurkan permusuhan kepada seluruh orang kafir, atau kelompok tertentu saja.
Mengenai sebab turunnya QS al-Mujadilah ayat 22 Imam al-Qurthubi mengutip beberapa riwayat. Al-Suddi menyatakan bahwa ayat ini berkenaan perihal Abdullah bin Abdullah bin Ubay yang memohon sisa minuman kepada Nabi SAW sebagai berkat dan wasilah agar ayahnya, Abdullah Ubay bin Salul yang merupakan tokoh munafik, mendapatkan hidayah dari Allah sehingga disucikan hatinya. Nabi SAW pun memberinya sisa minum beliau tersebut.
Sampai di hadapan ayahnya, Abdullah ditanyai apakah yang ada di tangannya tersebut. Ia pun menjawab bahwa yang ada di tangannya adalah air berkat dari sisa minuman Nabi SAW. Ia katakan sengaja membawanya agar Allah menyucikan hati si ayah. Namun yang diberi justru menimpali bahwa sekiranya si anak membawa air seni ibunya tentulah itu lebih suci dari air yang digenggamnya saat itu.
Abdullah pun mendatangi Nabi SAW kembali, meminta restu untuk membunuh ayahnya. Namun Nabi SAW dengan keluhuran beliau justru menjawab agar Abdullah berlaku lembut dan baik kepada ayahnya.
Ibn Juraij menyatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan Abu Quhafah yang mencela Nabi SAW kemudian Abu Bakr sontak memukul ayahnya tersebut. Sementara Ibn Mas’ud menyatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan Abu Ubaidah yang membunuh ayah al-Jarrah di medan badar.
Dari ketiga pendapat tersebut seluruhnya merujuk pada sosok non-Muslim yang bukan hanya ingkar melainkan juga melakukan pertentangan kepada Nabi SAW. Lebih-lebih konteks perang yang melingkupi bagaimana interaksi sosial masa itu.
Begitu juga dengan konteks pada ayat 1 surat al-Mumtahanah, yang disalahartikan oleh pak Aman, dilatarbelakangi adanya perang antara kaum Muslim dengan orang-orang musyrik Makkah. Ayat ini turun berkenaan dengan Hatib bin Abi Balta’ah yang mengirim surat untuk kerabatnya kaum Musyrik perihal kondisi Madinah serta gerakan kaum Muslimin. Sebagian riwayat menyatakan bahwa surat tersebut berisi peringatan kepada penduduk Makkah agar bersiap menghadapi serangan. Seakan ayat ini hendak menjelaskan bahwa membocorkan rahasia kepada musuh, terlebih dalam kondisi perang, mutlak dilarang. Namun begitu menurut Imam al-Qurthubi kesalahan yang dilakukan oleh Hatib ini tidak menyebabkannya kafir atau keluar dari agama karena ketiadaan iktikad untuk itu.
Kesemua ayat menjelaskan perihal permusuhan yang harus ditampakkan kepada mereka yang juga memusuhi. Adapun kepada mereka yang bukan musuh lebih-lebih tidak dalam zona dan konteks perang maka diperbolehkan tetap menjalin tali kasih satu sama lain. Hal ini pun diterangkan juga dalam Surat al-Mumtahanah, bahwa setelah disebutkan mengenai permusuhan kepada para penentang kebenaran, pada ayat 8 disebutkan perihal bolehnya menjalin tali kasih kepada mereka non-Muslim yang tidak memusuhi.
لَا يَنْهاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS: Al-Mumtahanah ayat 8)
Imam al-Qurthubi mengutip riwayat dari al-Bukhari dan Muslim bahwasanya Asma’ binti Abu Bakr menanyakan kepada Nabi SAW perihal kebolehan untuk tetap menjalin ikatan kepada ibunya yang non-Muslim. Lantas Nabi saw pun membolehkannya. Bahkan Ibn Arabi menyatakan bahwa makna dari perintah wa tuqsithu ilaihim yakni memberi mereka bagian dari harta kalian sebagai wujud ikatan kekeluargaan. Perintah ini bukan untuk berbuat adil, karena menurutnya berbuat adil tetap harus dilakukan kepada siapapun.
Disebutkan juga oleh al-Qurthubi bahwasanya al-Qadhi Abu Bakr dalam Kitab al-Ahkam menyatakan jika ayat ini menunjukkan wajibnya seorang Muslim memberikan nafkah kepada orang tuanya yang kafir. Meskipun al-Qurthubi sendiri tidak sependapat akan kaul tersebut, setidaknya jelas bahwa menjalin ikatan kekeluargaan dengan non-Muslim yang sama sekali tidak memusuhi mutlak diperbolehkan.
Dicertakan bahwa suatu ketika al-Qadhi Ismail bin Ishaq kedatangan seorang dzimmi dan beliau pun memuliakannya. Jemaahnya tidak menerima akan hal tersebut, maka beliau pun membacakan ayat 8 surat al-Mumtahanah ini.
Sementara pak Aman tetap mengimajinasikan bahwa seorang yang beriman kepada Pancasila akan mencintai dan membenci atas dasar Pancasila. Padahal tiada seorang pun umat Muslim Nusantara yang menjadikan Pancasila sebagai rukun iman. Hanya pak Aman seorang yang meyakini bahwa Pancasila adalah agama yang butuh diimani. Setitik imajinasi yang mengotori kerukunan antar umat bergama di Indonesia.
Menurutnya Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila bukanlah Allah, melainkan Garuda Pancasila. Sungguh imaji yang tak ternalar. Tidak seorangpun di bumi Nusantara ini menganggap Garuda Pancasila adalah tuhan, kecuali pak Aman.
Kalau pak Aman ingin komat-kamit bilang tendangan garuda mungkin kita bisa bantu memberinya bola biar halunya tak kebablasan. Tapi kalau pak Aman bilang Garuda Pancasila adalah tuhan, apa boleh dikata, tetap saja kasih bola. Barangkali sebenarnya dia hanya rindu tendangan garudanya.