Belajar Memaafkan dari Kisah Abu Bakar ash-Shiddiq

Belajar Memaafkan dari Kisah Abu Bakar ash-Shiddiq

Mengapa kita langsung marah dengan seseorang yang mengkhianati kita, padahal semua manusia pada hakikatnya setiap hari berkhianat kepada Allah, yang bukan hanya ngasih kita makan, namun juga memberi penghidupan.

Belajar Memaafkan dari Kisah Abu Bakar ash-Shiddiq

Suatu hari, Abu Bakar geram sekaligus sedih karena ada sebuah fitnah terhadap Aisyah, anak kandungnya. Aisyah difitnah telah berzina dengan salah seorang sahabat Nabi. Tentu ini merupakan fitnah yang keji. Abu Bakar mencari-cari, siapa yang menyebarkan rumor ini. Akhirnya, ketahuanlah bahwa salah satu yang ikut menyebarkan gossip itu adalah Misthah bin Utsasah, yang merupakan sepupunya sendiri. Selain sepupunya sendiri, Misthah adalah seorang fakir yang kehidupannya dibiayai oleh Abu Bakar.

Ketika mengetahuinya, Abu Bakar bak petir di siang bolong. Jika dikonversi menjadi sinema, Misthah bisa menjadi tokoh antagonis paling menyebalkan karena “pengkhianatannya” itu. Bayangkan saja, yang menyebarkan fitnah terhadap anak Abu Bakar adalah sepupunya sendiri yang tiap hari ia penuhi segala hajat hidupnya. Abu Bakar telah berbuat baik kepadanya, namun ia dikhianati oleh keluarganya sendiri.

Memang, Misthah bukanlah pihak yang membuat fitnah itu. Ia adalah orang baik. Ia merupakan bagian dari kalangan Muhajirin yang berpindah dari Makkah ke Madinah. Ia juga pejuang Perang Badar Bersama Rasulullah. Hanya saja, ia termakan isu yang menyebar, dan sayangnya, bukannya mengkonfirmasi kebenarannya, Misthah justru ikut “membantu” menyebarkan fitnah itu.

Oleh karena fitnah itu, kebaikan-kebaikan Misthah menjadi tidak ada artinya. Namanya tercoreng luar biasa. Bagaimana tidak. Menyebarkan fitnah tentang istrinya Nabi Muhammad. Hal ini otomatis memancing amarah di kalangan umat Islam, terutama para sahabat. Mereka secara serempak memberikan sentiment buruk kepada Misthah. Ia dicela, diboikot, dijauhi, bahkan dalam sebuah riwayat, ibu kandungnya sendiri turut mengutuk Misthah. Sejak itulah, Misthah menjadi sangat terpuruk.

Lalu, bagaimana dengan Abu Bakar? Tentu saja ia kecewa luar biasa. Ia marah, geram, dan merasa dikhianati. Sampai-sampai, Abu Bakar bersumpah, seperti yang tertulis dalam hadis riwayat Ahmad,

“Demi Allah selamanya aku tidak akan menafkahi Misthah sedikitpun.”

Abu Bakar bukan sembarang sahabat. Ia adalah orang terdekat Nabi. Orang yang dikenal jujurnya luar biasa. Orang yang santun dan juga sangat pemaaf. Jika seorang dengan kepribadian semegah itu saja sampai menyumpahi Misthah, maka memang tidak main-main kekecewaan Abu Bakar dan sebegitu parahnya kesalahan Misthah. Namun, reaksi Abu Bakar ini rupanya tetap tidak dibenarkan oleh Islam. Allah langsung merespon sumpah serapah Abu Bakar lewat QS. an-Nur: 22,

وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Allah tidak ingin hambanya tidak memaafkan sesamanya sekalipun ia kecewa. Allah menyindir hambanya yang “sok” mempunyai harta, kemudian memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang hanya karena ia dikecewakan.

Kita telah melewati setengah babak Ramadhan tahun ini. Kisah Abu Abu Bakar layak dijadikan sebagai refleksi apakah bulan mulia ini membantu mentransformasi kita menjadi Muslim yang lebih baik. Meskipun kita kecewa, meskipun kita merasa sudah dikhianati oleh orang yang kita “baik” kepadanya, mengapa kita tidak bisa memberi maaf? Allah mengingatkan kita soal “lupa diri” yang seringkali menjangkiti manusia. Padahal, semua manusia pada hakikatnya setiap hari berkhianat kepada Allah, yang bukan hanya ngasih kita makan saja, bukan hanya sekedar baik sama kita saja, tapi ngasih kita nyawa, ngasih rejeki, ngasih kehidupan, dan lain sebagainya.

Dengan itu semua, umat manusia masih sering berkhianat. Umat manusia setiap hari melanggar perintah Sang Maha Pemberi. Meskipun begitu, Allah selalu saja memafkan kita. Meskipun Allah juga tahu, bahwa besoknya kita bakal berbuat dosa lagi. Kesadaran ini yang setidaknya membuat Abu Bakar langsung menarik sumpahnya, dan kembali memperlakukan Misthah seperti dulu lagi.