Belajar Jadi Manusia, Belajar dari Baginda Nabi Muhammad

Belajar Jadi Manusia, Belajar dari Baginda Nabi Muhammad

Nabi Muhammad SAW adalah sosok teladan paling baik jika kita ingin sebenar-benarnya jadi manusia. Sudahkah kita meneladani sosoknya saat maulid Nabi seperti hari ini?

Belajar Jadi Manusia, Belajar dari Baginda Nabi Muhammad

Nabi Muhammad SAW adalah orang biasa, dilahirkan sebagai manusia biasa. Kita para pengagumnya yang kemudian membuat kelahiran beliau menjadi sangat hiperbolis. Keajaiban-keajaiban di luar nalar terjadi seketika: kilatan cahaya, berguncangnya istana Byzantium, pudarnya api pemujaan Persia, dan malam terang benderang penuh bintang, memancarkan cahaya dari Barat dan Timur.

Hingga detik ini, tak ada yang bisa membuktikan kebenarannya. Tapi sejarah penuh mitos itu menyampaikan tanda bagi kita, betapa Nabi sangat mulia, hingga tak ada lagi kata dan rasionalitas yang bisa mewakilinya. Begitu mulia hingga orang-orang yang rindu selalu menyebut-nyebut namanya, menyanjung dan memimpikan bertemu dengannya. Kisah-kisah itu bisa saja sulit dicerna, tapi cinta dan rindu manusia kepadanya tak pernah bisa disanggah.

Pada 29 Agustus 580 M, Nabi lahir ke dunia. Beliau lahir di tengah keluarga tak berpunya. Tak ada gelimangan harta. Ayahnya, Abdullah seorang pedagang kelana. Meninggal bahkan saat dia belum bertemu anak yang diidam-idamkannya. Ibunya, Aminah, seorang perempuan muda tangguh yang merasakan tanda-tanda kenabian bergerak hidup dalam perutnya. Beberapa tahun setelah melahirkan Nabi, Aminah meninggal dunia.

Setelah itu Nabi hidup bersama kakek yang begitu mencintainya, Abdul Muthollib. Saat kakeknya juga meninggal dunia, Muhammad hidup menumpang di rumah Abu Thalib yang telah memiliki banyak anak, yang paling dikenal tentu saja adalah Ali radhiyallahu ‘anhu. Dari sini, perjalanan hidup Muhammad tidak terlihat istimewa, biasa saja.

baca juga: kisah ini akan membuatmu kian jatuh cinta dengan Nabi

Mungkin yang bisa cukup dibanggakan hanyalah ramalan ahli kitab dan ingatan para ahli nasab. Orang-orang Yahudi dan Nasrani meramalkan jika suatu hari akan lahir anak laki-laki bernama Muhammad yang menjadi nabi. Sebelum Nabi lahir, tercatat sudah puluhan orangtua menamakan anak lelakinya dengan “Muhammad”. Umumnya karena mereka mendengar kabar dari para ahli kitab.

Saat Nabi lahir, seluruh keluarga besar amat bergembira, terutama Abdul Muthollib dan Abu Lahab, yang kemungkinan juga mendengar desas-desus itu. Abu Lahab bahkan memerdekakan budak sebagai tanda betapa bahagianya dia atas kelahiran Nabi. Salah seorang ahli dalam ilmu nasab, Abu Bakar juga menyebut-nyebut garis keturunan Nabi sangat istimewa, tersambung utuh hingga Ibrahim ‘alaihi as-salam, khalilullah.

Sistem masyarakat tribal di Mekah kuno menempatkan klannya Nabi, Bani Hasyim, berada lebih tinggi dibanding klan lainnya. Sukunya, Quraisy juga diyakini mempunyai daya tawar yang kuat di antara suku-suku lainnya. Kekuatan itu diantaranya karena statusnya sebagai penjaga tempat ziarah yang suci, Ka’bah.

Penjaga Ka’bah juga punya kewenangan mutlak untuk mengatur sumber air yang konon tak pernah kering, zam-zam. Sumber air adalah kunci bagi perputaran roda ekonomi dan kelangsungan hidup manusia di tengah alam Arabia yang keras, gurun dan gunung batu berhamparan di mana-mana.

Tapi dari semua itu, tak ada satupun yang menjadi faktor penentu, kenapa Muhammad menjadi Nabi? Kita bisa mengetahuinya misal dari beliau sendiri yang tidak pernah membangga-banggakan asal-usulnya, menyebut-nyebut peran strategis keluarganya, atau mengingatkan orang betapa besar jasa marganya menjaga situs keagamaan terbesar di Arabia. Jadi apa sesungguhnya yang membuat Muhammad menjadi seorang nabi?

Melalui firmannya, Allah SWT dengan jelas mengatakan:

وانك لعلى خلق غظيم

“Sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas budi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-Qalam [68]:4)

Dalam hadis, Nabi bersabda: إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق . “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”

Sejak kecil, Nabi dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan berakhlak mulia. Halimah Assa’diyah, ibu susu Nabi, yang mengasuhnya hingga lebih dari dua tahun, merasakan sendiri betapa Nabi memberikan banyak keberuntungan dan kesejahteraan. Dia bahkan menganggap Muhammad sebagai anaknya sendiri.

Akhlak Nabi kepada orang lain terutama orangtua teramat mulia. Beliau pernah mengatakan akan menjawab panggilan dari ibunya, Aminah, jika pun Nabi sedang berada di dalam shalat. Beliau mempercepat shalat berjamaah ketika ada anak kecil menangis karena khawatir terjadi sesuatu kepada anak tersebut juga takut ibunya gelisah. Beliau adalah orang yang tidak kuat melihat penderitaan orang lain bahkan untuk hal-hal yang sering kita anggap sepele dan tak perlu. Dialah orang yang selalu mendahulukan kepentingan yang lain dibandingkan kepentingan dirinya sendiri. Dialah orang yang suka menangis karena kasih.

أدركتني رحمتها فبكيت

“Aku disentuh oleh rahmat Ibu, maka aku menangis.”

Bahkan ketika Nabi mengecam seseorang karena sikapnya yang buruk, bahasa yang keluar dari mulutnya masih terlampau halus: “Mudah-mudahan dahinya kecipratan lumpur!”

Saat Jibril menawarkan diri untuk menghancurkan orang-orang Thaif yang telah menghina dan melukainya, Nabi menolak. Kemudian beliau mendoakan mereka. Tidak ada dendam di hatinya. Nabi memaafkan dan melupakannya.

Banyak diantara para sahabatnya adalah orang-orang yang dulunya menentang dengan keras. Pada saat Fathul Makah, orang-orang kafir Quraisy ketakutan setengah mati. Nabi dan orang-orang muslim dari Madinah datang dengan beribu-ribu pasukan. Saat para sahabat menawarkan diri untuk memporak-porandakan orang-orang Mekah, Nabi menahan mereka. Beliau memaafkan dan melupakan luka-luka lama. Tidak ada dendam dalam hatinya. Islam pun disambut dengan sukacita.

Hampir tak ada satu riwayat pun yang bercerita tentang kebencian Nabi terhadap sesuatu apapun. Termasuk ketika beliau sedang berperang. Cara pandang kita di zaman ini seringkali terkecoh tatkala membaca realitas perang di zaman itu. Perang di zaman tribal saat itu bisa jadi sejenis dengan sistem keamanan model polisi dan tantara pada hari ini. Meski keduanya tidak bisa disamakan secara persis. Perang yang diikuti Nabi selamanya tak bisa kita pahami secara paripurna. Bagaimana bisa, berperang dengan tanpa amarah dan dendam?

Cara Nabi menghadapi kegelapan zaman (Jahiliyah) pun sangat brilian. Beliau tidak menghapus tradisi-tradisi lama yang tidak sejalan dengan visi wahyu. Nabi mengubahnya secara perlahan, dengan jalan-jalan kultural. Seperti membalik tradisi, menawarkan cara alternatif yang lebih adil, manusiawi, dan menggunakan strategi mengubah lewat bahasa. Orang-orang lemah yang tak pernah muncul ke wacana publik, beliau sebut dan perkenalkan. Istilah-istilah yang mengandung bias dan diskriminasi beliau ubah menjadi lebih netral.

Pada akhirnya, jalan yang ingin ditunjukkan Nabi kepada kita semua telah paripurna, yakni jalan untuk menegakkan kemanusiaan, menempatkan manusia pada tempatnya, sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia.

Nabi mengajarkan pada kita cara-cara hidup yang baik sebagai manusia. Menuntut kita untuk kembali menjadi manusia seutuhnya, sebagaimana saat Allah ciptakan kita di atas dunia. Cara-cara hidup itu tak lain adalah keniscayaan seorang makhluk (مخلوق) menapaki jalan Khaliknya (خالق). Cara-cara ini biasa kita sebut sebagai akhlak (اخلاق). Ya, akhlak adalah cara terbaik kita menjadi manusia. Bukankah Nabi diutus hanya untuk itu? Wallahu a’lam. []