Bagi Jokowi, Muhammadiyah-NU Seolah Tidak Penting Lagi

Bagi Jokowi, Muhammadiyah-NU Seolah Tidak Penting Lagi

Muhammadiyah-NU kayaknya sudah ditinggalkan oleh Jokowi dan ini sinyal buruk bagi masa depan negeri; di bawah naungan politisi-oligarki

Bagi Jokowi, Muhammadiyah-NU Seolah Tidak Penting Lagi
Jokowi bersama ketum Muhammadiyah, prof. Haedar Nashir, dalam sebuah kesempatan. Jokowi seperti meninggalkan Muhammadiyah NU pict by Ibtimes

Muhammadiyah NU tampaknya memang sudah tidak penting lagi bagi pemerintahan Jokowi.  Apa pasal? Anda bisa dengan gampang menjentikkan jemari dan selancar di google dan carilah dua ormas itu berkaitan dengan Omnibus Law a.k.a UU Cipta Kerja yang baru disahkan semalam.

Ya, jawaban pencarian pastinya akan bermuara ke satu jawaban: dua-duanya menolak, dua ormas terbesar yang jadi penyangga  negeri ini secara tegas menolak Omnibus Law disahkan. Tapi, pemerintah-DPR ya jalan terus dengan keputusannya. Permintaan dua ormas ini tidak digubriis sama sekali.

Kekhawatiran Muhammadiyah-NU terhadap UU ini memiliki dasar yang logis.  Kedua ormas ini tepat berada di tengah-tengah masyarakat kelas bawah dan secara otomatis, nantinya, jika UU ini berlaku maka korbannya kebanyakan adalah warga Muhammadiyah dan NU.

Sebagai ormas terbesar, NU misalnya, dengan terang-terangan menolak Omnibus Law ini dan menganggapnya sebagai UU berpotensi menciptakan banyak sekali kemudzaratan, bahkan di level tertentu menjadi bentuk kezaliman.

“Jelas sekali bahwa RUU Cipta Kerja ini sarat dengan aneka kezaliman, kalau sarat dengan aneka kezaliman, tentu tidak harus dilanjutkan,” tutur Prof. KH Maksum Machfoeds, wakil ketua umum PBNU.

Beliau mencontohkan, dalam beberapa pasal di UU tersebut begitu berpotensi menjadikan warga kelas bawah menjadi pesakitan di tangan mereka yang memiliki modal. Apalagi potensi terkait pangan dan agraria yang bisa jadi memicu bancakan antar pengusaha.

Sedangkan, NU dengan basis massa yang berada di kelas bawah ini.  Dan, kezaliman seperti yang diwartakan Prof. Maksum ini seolah diberi karpet merah oleh negara. Potensi lebih keras lagi terjadi dan ini jadi kunci; ketika negara tidak lagi memikirkan warganya, tidak bertanggung jawab atas nasib rakyatnya.

baca juga: Omnibus Law tidak sesuai prinsip Islam

Muhammadiyah juga berpotensi mengalami pertarungan yang serupa di kalangan warganya. Bahkan, jauh-jauh hari Muhammadiyah menolak UU ini, bahkan melakukan kajian akademik dengan serius. Bahkan, dalam kajian itu tidak ditemukan naskah akademik laiknya UU lain sebagai prasyarat kelayakan sebuah UU.

“Meminta kepada DPR agar menunda pembahasan RUU yang berpotensi menimbulkan kegaduhan, termasuk RUU Omnibus Law atau Cipta Kerja,” ujar Haedar Nashir dalam keterangan tertulis, Senin (21/9).

Namun, apa lacur, permintaan dari Muhammadiyah lewat ketuanya secara langsung ini tampaknya tidak didengarkan oleh Jokowi, pemerintahannya dan juga wakil-wakil rakyat di DPR sana. Omnibus Law tetap disahkan, meski publik berteriak menolaknya.

Kita tentu saja bisa menengok kembali ke belakang, ketika masa-masa pemilu atau pemerintahan Jokowi di era pertama kepemimpinannya. Jokowi tampak sekali begitu dekat dengan NU dan dianggap tidak terlalu jauh dengan Muhammadiyah. Keakraban antara umaro dan ulama tentu menjadi angin segar dalam perpolitikan kita.

Jokowi sebagai umaro, pemangku kebijakan, bisa mendapatkan nasihat-nasihat penting untuk membuat kebijakan yang terarah, efisien dan tepat sasaran di kalangan bawah. Namun, belakangan, di urusan-urusan yang terkait dengan kebijakan strategis ini kedua ormas ini justru ditinggalkan. Seolah-olah urusan keduanya hanya persoalan mengatasi intoleransi-toleransi, wasatiyah Islam atau perkara-perkara keagamaan belaka.

Kedua ormas yang umurnya lebih tua dari republik ini harusnya lebih didengarkan Jokowi dibanding para politisi atau siapa pun itu yang bisa jadi tidak lebih sering memikirkan negara daripada Muhmmadiyah-NU. Dan ketika Jokowi meninggalkan keduanya di dua kasus terkini; Omnibus Law dan Pilkada Langsung, maka siap-siaplah Jokowi akan sendirian dan bisa jadi bakal cuma ditemani oleh para oligarki, politisi culas dan mereka yang mengingkan kekuasaan tanpa memedulikan rakyatnya.

Duh, adakah yang lebih sedih ketika ulama meninggalkan umaro, atau justru kebalikannya; Jokowi yang meninggalkan Muhammadiyah-NU karena dianggap tidak penting lagi bagi kebijakan-kebijakannya?

Semoga tidak, masih ada waktu Pak Jokowi. Kembalilah ke ulama sebagaimana dulu, dengarkanlah mereka. Suara jernih dari Muhamadiyah-NU lebih dibutuhka negeri ini dibanding para politisi-pengusaha culas yang cuma mementingkan dirinya sendiri.