Bagaimana Efek Filter Algoritma Mempengaruhi Pendapatmu Soal Perang Palestina-Israel

Bagaimana Efek Filter Algoritma Mempengaruhi Pendapatmu Soal Perang Palestina-Israel

Jujur saja, saya tidak mau terjebak ke dalam lubang narasi yang hanya memiliki satu warna, lalu mematikan sakelar kritis akal saya akibat informasi satu pintu. Kalau kamu?

Bagaimana Efek Filter Algoritma Mempengaruhi Pendapatmu Soal Perang Palestina-Israel

Beberapa hari yang lalu, saya menerima sebuah pesan notifikasi di kotak surel saya. Datang email noreply dari @yaqeeninstitute.org dengan subjek yang menurut saya persuasif, “Emergency Episode! The Lies About Palestine”.

Penasaran dengan isi notifikasi tersebut, saya pun membuka pesan itu dan menemukan jika ternyata, alamat email tersebut merupakan perpanjangan tangan dari saluran YouTube Yaqeen Institute.

Mereka sedang mempromosikan video Podcast yang membincang soal konflik Palestina dan Israel, sambil memampang poster wajah tiga orang tokoh (yang saya tidak ketahui siapa) dengan kalimat headline dalam keluku, “Israel’s Hypocrisy”.

Memang, mendapatkan sebuah notifikasi dalam surel di zaman ini merupakan hal yang lumrah terjadi. Bisa dibilang, hampir setiap detik para pengguna internet menerima kabar notifikasi tentang apa pun, di mana pun.

Mulai dari informasi kucing tetangga sebelah yang mati, sampai informasi peperangan yang terjadi di belahan dunia lain, semuanya masuk dalam perputaran notifikasi dari kanal yang mereka langgani (subscribe). Atau begitu mulanya saya kira.

Sebab kanal Yaqeen Institute bukan saluran yang saya kenali, atau secara sadar saya langgani jaringan newsletter nya. Saya masih menerka bagaimana sebuah notifikasi video Podcast yang, kebetulan atau tidak, membahas isu yang sering tampil di lini sosial media saya; tentang perang yang terjadi di Israel dan Palestina; bisa masuk dalam jaringan surel yang notabene bukan pelanggan.

Masalahnya, kenapa notifikasi tersebut bisa ditujukan ke surel pribadi saya? Lalu, alih-alih Israel, kenapa saluran Podcast yang terhubung dengan saya adalah channel yang terkesan lebih pro kepada Palestina?

Sapuan Naratif Filter Algoritma Internet

Soalan bagaimana dinamika perputaran informasi dalam internet bekerja, sebagian dari kita tentu pernah mendengar tentang program filter algoritma yang tertanam dalam jaringan internet, lebih dari satu dekade lalu.

Program filter algoritma adalah mekanisme yang membantu pengguna internet dalam mengatasi banjir informasi. Singkatnya, algoritma ini akan memberikan rekomendasi informasi yang telah dipersonalisasi berdasarkan kebutuhan individu.

Selain itu, algoritma ini memang ditujukan untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi dengan meningkatkan konsumsi media (Haim dkk, 2018). Bagaimana seorang produsen memasarkan produknya, termasuk produk ideologis, kepada orang-orang yang sudah terkelompokkan. Jadi memang algoritma ini diciptakan untuk membantu para pengiklan menyasar target pasarnya (Hartono, 2018).

Bukan rahasia bila narasi yang berkembang di Indonesia (bagaimana pun) akan cenderung memihak Palestina. Selain karena alasan historis bahwa Palestina pernah memberi dukungan atas kemerdekaan Indonesia (Kemenag RI, 2017) dan ketiadaan hubungan diplomatis antara negara Indonesia dengan Israel.

Kenyataan bila warga Indonesia lebih mendukung Palestina karena “solidaritas sesama muslim” juga jadi faktor mengapa gema pro Palestina lebih nyaring terdengar di negara ini.

Saya seorang warga negara Indonesia yang juga seorang Muslimah. Dua variabel yang (mungkin) jadi faktor utama target pasar konten Podcast tersebut, jika dilihat memakai perspektif filter algoritma dalam hal pemasaran ‘produk’. Meski sejatinya, saya tidak memiliki intensi khusus terhadap konflik yang melanda Palestina dan Israel.

Bagi saya, dalam konteks peperangan, siapa pun nanti yang jadi pemenang, kekalahan tetap ada pada rakyat sipil. Antara Israel atau Palestina, korbannya tetap warga sipil dari kedua belah pihak negara. Sementara pemenang sejati adalah pihak yang diuntungkan atas peperangan tersebut. Para supplyer senjata, misalnya.

Sayangnya, program filter algoritma seolah tidak mengizinkan kita untuk memiliki insight dari perspektif lain. Ia justru mengantarkan kita pada sebuah gelembung filter (filter bubble) yang akan mengisolasi kita terhadap informasi di luar gelembung yang biasa kita miliki (Pariser, 2011).

Imbasnya adalah hal yang terjadi saat ini. Di mana kita (baca: dunia) terseret arus polarisasi antara ‘siapa mendukung apa’; Palestina atau Israel. Lihat saja bagaimana trend topik dunia ini terpecah antara opini para pendukung kedua negara tersebut di platform media sosial mana pun; Instagram, Twitter, Facebook, dan lain sejenisnya, yang jadi semakin banal dari waktu ke waktu.

Dari pembacaan saya tentang bagaimana perputaran informasi di dunia digital terjadi, saya melihat sebuah jebakan naratif atas opini benar dan salah dalam konteks peperangan Israel dan Palestina. Bagaimana warna pikiran kita bisa disetel dengan adanya gelembung filter algoritma dalam internet.

Jujur saja, saya tidak mau terjebak ke dalam lubang narasi yang hanya memiliki satu warna, lalu mematikan sakelar kritis akal saya akibat informasi satu pintu. Kalau kamu?