Dakwah bukanlah penyampaian semata, tetapi moralitas dan perilaku. Dakwah untuk mengajak dalam kebaikan dan menjauhi kemaksiatan merupakan sikap terpuji dan mulia. Namun, semua tidak terlepas dari akhlak dan etika. Tidak hanya sekadar dakwah penyampaian saja. Sebagaimana Nabi SAW saat ingin berbicara dan bersikap maka selalu menyesuaikan siapa dan dengan siapa berbicara dan bersikap. Almarhum kiyai Ali Mustafa Yaqub, pakar ilmu Hadis menjelaskan dalam buku beliau yang berjudul Sejarah dan Metode Dakwah Nabi terkait kode etika Dakwah Nabi SAW yang dapat kita tiru dan teladani.
1. Tidak Memisahkan Antara Ucapan dan Perbuatan
Rasulullah SAW tidak pernah memisahkan antara ucapan dan perbuatan. Artinya, perintah dan larangan yang disampaikan dalam berdakwah berlaku juga untuk diri pendakwah itu sendiri. Etika dakwah seperti ini harus tertanam dalam hati para da’I, jika tidak maka dakwah tersebut tidak berhasil. Karena sejatinya pendakwah adalah role model dari apa yang mereka sampaikan. Sehingga para da’I memiliki integritas dakwah yang baik. Allah SWT menegaskan hal ini dalam surat al-Shaff ayat 2-3 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah SWT bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan”.
2. Tidak Melakukan Toleransi dalam Akidah
Toleransi atau tasamuh sangat dianjurkan, namun tidak dalam masalah akidah. Dahulu, ketika Nabi SAW berada di Mekah, orang musyrikin mengajak berdiskusi atau kompromi keagamaan. Orang musyrikin mengajak Nabi SAW untuk mengikuti agama mereka dan menyembah sesembahan mereka. Kemudian, orang musyrikin akan mengikuti agama yang dibawa Nabi SAW dan menyembah Allah SWT. Mendengar tawaran dan ajakan tersebut, Nabi SAW menjawab “Saya memohon perlindungan Allah SWT agar tidak mempersekutukan Allah SWT dengan yang lain”. Sebab itu, Allah SWT menurunkan wahyu berupa surat al-Kafirun.
3. Tidak Mencerca Sesembahan Lawan
Etika dakwah tidak mencerca atau mencaci sesembahan agama lain juga sangat penting diperhatikan oleh para da’i. Tidak semena-mena mengatakan Tuhan agama lain itu sesat menyesatkan. Hal tersebut dikarenakan dapat menimbulkan kekecewaan umat selain muslim dengan mencerca balik Tuhan yang diimani oleh umat muslim atau bahkan dapat menimbulkan peperangan. Allah SWT menegaskan dalam surat al-An’am ayat 108 yang artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah SWT, karena mereka nanti akan memaki Allah SWT dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.
4. Tidak Melakukan Diskriminasi
Allah SWT tidak memperkenankan Nabi SAW melakukan diskriminasi sosial dalam menjalankan dakwah. Tidak membeda-bedakan perlakuan dakwah untuk kaum elite dan kaum menengah ke bawah hanya karena soal materi semata. Semua diperlakukan sama. Suatu hari, Nabi SAW mengajarkan agama Islam kepada sahabat Nabi SAW yang tergolong miskin seperti Khubab bin al-Aritt,’Abdullah bin Mas’ud dan Bilal al-Habsyi. Tiba-tiba datanglah para pemuka Quraisy seperti al-Arqa bin Habis al Tamimi dan ‘Uyaynah bin Hishn al-Fazari.
Pemuka Quraisy tadi meminta kepada Nabi SAW untuk memisahkan tempat duduk mereka dengan sahabat yang miskin, karena takut dilihat oleh para suku mereka. Akhirnya Nabi SAW mengabulkan permintaan mereka dengan menulis suatu perjanjian. Nabi SAW berpikir bahwa jika para pemuka Quraisy sudah masuk Islam maka suku Quraisy seluruhnya akan ikut masuk Islam. Lalu Bilal menjauh ke sudut ruangan sebelum Nabi SAW menyuruhnya pergi. Allah SWT kemudian menurunkan surat al-An’am ayat 52 yang artinya:
“dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang selalu menyembah Tuhannya pada pagi hari dan petang, sedangkan mereka menghendaki keridhanNya”
Jangan sampai para da’I lebih mendahulukan tawaran untuk mengisi suatu pengajian di masjid yang para jamaahnya adalah orang kaya daripada mengisi pengajian yang jamaahnya adalah orang biasa sebab pemberian amplop ceramah yang jumlahnya lebih besar.
5. Tidak Memungut Imbalan
Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pertama kalangan mazhab Hanafi, berpendapat bahwa memungut imbalan dalam menyiarkan ajaran Islam itu hukumnya haram secara mutlak. Kedua kalangan mazhab Syafi’I, berpendapat bahwa memungut imbalan dalam menyebarkan ajaran Islam itu boleh baik sebelumnya ada perjanjian ataupun tidak. Terakhir yaitu pendapat dari Hasan al-Basri, al-Sya’bi dan Ibnu Sirin bahwa jika ada perjanjian sebelumnya untuk memungut imbalan maka itu diharamkan, namun jika tidak ada perjanjian sebelumnya kemudian orang yang mengajarkan agama Islam itu diberi imbalan maka hal itu hukumnya boleh.
Almarhum kiyai Ali Mustafa Yaqub menekankan dalam hal ini bahwa perbedaan ulama tersebut dalam hal menyebarkan ajaran Islam atau berdakwah, misalnya mengajarkan al-Qur’an, Fikih, Hadis. Sedangkan, jika hanya membacakan al-Quran saja, bukan mengajarkannya maka para ulama sepakat haram hukumnya memungut imbalan. Alasannya, dalam mengajarkan agama Islam ada unsur jasa mentransfer ilmu, sedangkan dalam membaca al-Qur’an saja unsur tersebut tidak ada. Jadi, membaca al-Quran benar-benar merupakan ibadah murni kepada Allah SWT seperti halnya salat.
6. Tidak Mengawani Pelaku Maksiat
Etika yang tak kalah penting dalam berdakwah yaitu tidak mengawani pelaku maksiat, atau menjadikannya sahabat. Karena jika pelaku maksiat dijadikan sahabat atau teman baik maka secara tidak langsung kita sama saja dengan membolehkan perbuatan maksiat yang mereka lakukan. Lalu, siapa lagi yang akan memberikan nasihat kepada para pelaku maksiat ini supaya berhenti? Konteks mengawani dengan mendakwahi itu berbeda. Mereka tetap didakwahi untuk berhenti dari maksiat namun tidak diperlakukan khusus kecuali setelah mereka bertaubat.
Nabi SAW mengemukakan bahwa para ulama yang berkawan baik dengan para pelaku maksiat dan para pelaku dosa lagi melampaui batas akan dilaknat oleh Allah SWT. Nabi SAW menceritakan kisah di surat al-Maidah ayat 78-79 tentang para ulama di kalangan Bani Israil yang dilaknat oleh Allah SWT karena ikut serta bergaul dengan para pelaku dosa. Awalnya ulama tersebut melarang pelaku dosa kaum Bani Israil tetapi mereka tidak mau meninggalkan perbuatan dosanya dan akhirnya para ulama ini mengakrabi para pelaku dosa dan akhirnya baik para ulama dan pelaku dosa semuanya dilaknat Allah SWT. Para da’I harus memiliki sikap tegas dan tegar dalam berdakwah seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW.
7. Tidak Menyampaikan Hal-Hal yang Tidak Diketahui
Para da’i tidak boleh menyampaikan sesuatu yang tidak diketahuinya karena dapat menyesatkan. Jika ditanya suatu perkara atau masalah maka lebih baik menjawab “tidak tahu” atau “wallau a’lam” atau “nanti saya coba buka kitabnya dan cari lagi jawabannya” daripada asal menjawab dan mengikuti selera serta hawa nafsu sendiri dalam menjawab. Allah SWT menegaskan dalam surat al-Isra ayat 36 yang artinya:
“dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan dimintai pertanggungjawaban”.
Beberapa ulama zaman sekarang merasa malu jika menjawab “tidak tahu” saat ditanya oleh jamaahnya karena akan terlihat tidak berilmu atau tidak pintar. Hal ini yang harus diperhatikan, tidak boleh menjawab suatu perkara agama yang jawabannya berasal dari selera dan hawa nafsu atau jawaban kira-kira karena dapat menyesatkan.