Babi Ngepet: Supranaturalisme dan Mengapa Kita Percaya Hal Tak Masuk Akal

Babi Ngepet: Supranaturalisme dan Mengapa Kita Percaya Hal Tak Masuk Akal

Geger Babi Ngepet di Depok bikin kita gelisah: Mengapa kita masih saja percaya dengan Babi Ngepet dan fenomena tak masuk akal lainnya?

Babi Ngepet: Supranaturalisme dan Mengapa Kita Percaya Hal Tak Masuk Akal
Babi ngepet menjadi ramai lagi dan di kota yang dianggap paling… ehm, religius: Depok. Pict by Rahman Seblat

Babi Ngepet, hewan jadi-jadian yang dipercaya mencuri duit penduduk ini berhasil ditangkap warga di Kota Depok beberapa hari yang lalu. Dalam video yang viral di media sosial, konon warga punya kiat tersendiri menangkapnya. Untuk menjerat si makhluk jadi-jadian ini, warga harus mengejarnya dengan tanpa mengenakan busana alias bugil. Dan ritual penangkapan itu kabarnya dilakukan oleh bapak-bapak komplek yang akhirnya berhasil menangkap seekor Babi yang dipercaya sebagai Babi Ngepet. Tidak usah dibayangkan bagaimana bapak-bapak itu tanpa busana berlarian ke sana kemari dan tertawa.

Babi ngepet adalah fenomena pesugihan yang marak dipercaya oleh masyarakat, demi meraih harta kekayaan dengan cara pintas. Modus operandinya, istri atau seseorang bertugas menjaga lilin di rumah agar tidak sampai padam, sementara si suami bertugas berkeliling kampung untuk mencuri uang penduduk desa dengan mengubah diri menjadi seekor Babi. Selain Babi Ngepet, pesugihan ini dipercaya juga melalui jalan lain, seperti memelihara Tuyul atau menggunakan azimat tertentu.

Penangkapan Babi Ngepet ini ramai menjadi pembicaraan di media sosial dan telah diwartakan oleh berbagai situs berita online. Di berbagai kolom komentar pemberitaan tersebut banyak yang menertawakan fenomena ini dan ada pula yang membenarkan bahwa hal itu benar-benar nyata terjadi seperti yang pernah terjadi di kampungnya.

Fenomena supranatural yang seperti ini lumrah terjadi di sekitar kita. Dalam kadar yang lebih halus, pembaca sekalian mungkin ingat fenomena dukun cilik Ponari yang dapat menyembuhkan penyakit melalui batu kecilnya. Atau kepercayaan masyarakat terhadap azimat yang dapat menjadi pemikat dan menambah kekuatan.

Fenomena supranaturalisme sebenarnya bukan monopoli masyarakat Indonesia saja. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, kepercayaan terhadap makhluk supranatural seperti ini juga ada, bahkan banyak. Hanya saja, yang menjadi perbedaan adalah manifestasinya. Di sana, supranaturalismenya bukan Babi Ngepet atau Tuyul, tapi dengan makhluk yang kontekstual dengan lingkungan di sana.

Di Barat, upaya untuk menjadikan sains sebagai penerang kehidupan sangatlah masif melalui berbagai lembaga pendidikannya. Namun, makhluk halus tetap saja memiliki tempat dalam kepercayaan masyarakat. Misalnya adalah Zombie, Vampir, Drakula, Lucifer dan berbagai makhluk halus yang terkait dengan kisah abad pertengahan Gereja yang identik dengan masyarakat Barat.

Psikologi Tentang Fenomena Supranatural

Suatu waktu saya terkagum-kagum ketika mengetahui bahwa ada psikolog sosial yang mengkhusukan diri secara serius meneliti fenomena supranatural ini dengan pendekatan Psikologi. Psikolog nyentrik itu bernama Bruce Hood, seorang profesor Psikologi di Universitas Bristol, Inggris.

Gairah akademik para intelektual Barat memang menakjubkan. Dulu saya merasa terkagum-kagum  ketika mendengar bahwa sejarawan Peter Carey  membutuhkan waktu puluhan tahun untuk meneliti sosok Pangeran Diponegoro. Carey memulai karirnya dengan belajar bahasa Jawa selama beberapa tahun di dekat Keraton Yogyakarta.

Dan yang menambah saya kagum lagi ada seorang Psikolog yang mau meneliti perkara supranatural yang seringkali diterima dan diyakini begitu saja. Totalitas Bruce Hood sama seperti Peter Carey, apapun dilakukan untuk menemukan jawaban dari yang ia teliti. Hood konon meneliti subyek yang paling muda adalah bayi yang baru berusia 13 jam.

Bruce Hood melalui bukunya Supersense: Mengapa Kita Percaya Hal Tak Masuk Akal (2020) menjelaskan bahwa salah satu akar kenapa manusia mudah memercayai hal-hal yang tak masuk akal adalah karena sistem berpikir kita yang terobsesi dengan keteraturan.

Manusia gampang sekali meyakini bahwa berbagai fenomena itu memiliki pola keteraturan. Misalnya, fenomena Babi Ngepet maupun Tuyul biasanya ada tuduhan di masyarakat kepada beberapa tetangganya yang kaya raya tapi tidak terlihat bekerja. Masyarakat sering berfikir dengan menghubung-hubungkan bahwa orang kaya yang tak terlihat bekerja tersebut memiliki pesugihan.

Padahal siapa tahu mereka kaya karena warisan atau pekerjaan yang tidak diketahui oleh para tetangga. Apalagi saat ini, pekerjaan tidak lagi bisa dilihat dengan kaca mata seperti dulu bahwa orang bekerja harus berangkat ke kantor pagi hari dan pulang sore hari.

Saat ini, Selebgram hanya dari rumah dapat bekerja membuat konten endorsement, ataupun anak-anak muda bisa bekerja dengan rebahan di kasur sembari menatap layar perkembangan harga saham.  Saat ini ada banyak pekerjaan yang bisa membuat orang kaya raya hanya bermodal rebahan di kasur. Itu bukan karena pesugihan.

Bruce Hood menyebut bahwa obsesi pikiran kita kepada keteraturan pola, seringkali menjebak kita. Kita seringkali menilai fenomena yang sebenarnya acak dengan memaksakan dengan keterkaitan tertentu, padahal tidak ada buktinya.

Ilustrasi: Ilusi Kotak putih dari buku Supersense

Bruce Hood mengatakan bahwa kebanyakan kita akan melihat gambar di atas pada bagian tengahnya adalah kotak berwarna putih. Namun, ternyata hal itu adalah ilusi pikiran kita saja. Sebenarnya, gambar di atas hanyalah empat lingkaran yang masing-masingnya terpotong seperempat bagiannya. Tapi, pikiran kita memiliki obsesi keteraturan. Gambar yang sebenarnya adalah acak ditafsirkan memiliki pola yang bermakna.

Sistem penalaran kita yang terobsesi dengan keteraturan inilah salah satu yang mendasari kita kenapa memercayai hal-hal yang sebenarnya buktinya lemah. Masyarakat mudah curiga dengan tetangganya yang kaya raya namun tak terlihat bekerja. Memangnya sejak kapan para oligarki dan koruptor kaya raya terlihat keras bekerja? Hehe.

Selain karena penalaran kita terobsesi dengan keteraturan, sistem saraf dan hormonal kita menjadi penyebab kenapa kita mudah merinding dengan bulu kuduknya berdiri ketika berada di tempat gelap. Di dalam kegelapan dan kesendirian, meskipun tidak ada apa-apa sama sekali, ranting pohon yang bergesekan dan jatuh gampang membuat merinding dan ditafsirkan sebagai ulah mahluk halus.

Dengan demikian, berbagai kepercayaan kita terkait dengan fenomena Babi Ngepet ataupun fenomena supranaturalisme lainnya bisa jadi adalah ilusi pikiran kita dari hasil sistem penalaran, sistem saraf dan hormonal kita. Secara saintifik semua fenomena ini tidaklah ada.

Namun, meski demikian tidak ada salahnya kita memercayai hal-hal yang supranatural. Di hadapan kehidupan yang tidak ada kepastian, kepercayaan terhadap hal-hal supranatural dapat membantu kesehatan pikiran kita. Supranaturalisme dalam kadar tertentu dapat membuat kita lebih tenang dan menjadi khazanah mitologi masyarakat kita.

Di masyarakat, hal-hal supranatural atau mistis adalah bahan gosip yang mengasyikan. Dan seperti yang pernah dikatakan Yuval Noah Harari, karena gosiplah kita ada dan menjadi manusia hingga saat ini. Wallahua’lam.