1. Tidak semua orang Indonesia itu Muslim yang wajib puasa. Muslim yang baik harus pandai menghormati hak-hak tetangganya yang tidak puasa dan mendapat akses kepada rumah makan.
2. Tidak semua Muslim wajib puasa seperti perempuan haid (justru haram puasa), ibu hamil/menyusui, org sakit, musafir, dan orang tua yang lemah. Mereka semua dapat dispensasi/rukhsah langsung dari Tuhan. Baca QS. Al-Baqarah ayat 183-184, perintah wajib puasa lgsg disertai rukhsah kepada sejumlah kelompok orang yang tidak wajib puasa. Mereka yang menjalani rukhsah Tuhan itu juga harus dihormati haknya untuk memperoleh akses terhadap rumah makan.
3. Secara fikih, banyak pendapat tentang sakit, safar, dan tidak mampu yang membolehkan buka. Ulama sepakat, safar yang membolehkan buka adalah safar ta’at seperti haji, jihad, silaturahim, dan mencari nafkah yang wajib. Safar maksiat, pendapat yang unggul tidak boleh. Safar mubah seperti bisnis, pendapat yang unggul boleh. Tentang jarak safar yang boleh berbuka; ada pendapat sejarak dengan radius qashar salat. Ada yang bilang 48 mil, 42 mil, 36 mil, 30 mil. Apakah berbuka waktu safar itu harus atau opsional? Ada yg berpendapat, berdasarkan redaksi Qur’an …. “dan barang siapa di antara kalian sakit atau safar, maka mengganti di hari lain” hukumnya wajib berbuka saat safar. Hadis sahih muttafaqun alaih menyatakan pesan serupa: “Bukanlah kebaikan puasa di saat safar.” Pendapat imam Syafi’i, lebih utama puasa jika tidak mudharat. Sementara kategori sakit apa yang boleh tidak puasa, banyak pendapat. Wajib tidak puasa jika puasa menimbulkan mudharat kepada fisiknya. Dianjurkan tidak puasa jika puasa disertai masyaqqah/payah. Pendapat Ibnu Sirin yang paling enteng, apa saja yang bisa disebut sakit boleh tidak puasa. Ibnu Sirin pernah ‘kepergok’ buka karena sakit jarinya.
4. Terhadap kategori orang yang bahkan wajib tidak puasa atau dianjurkan tidak puasa berdasarkan firman Tuhan dan tafsir/fikih, lantas akses terhadap pemenuhan rukhshah itu ditutup, apakah kita sudah merasa lbh ‘superior’ dibanding Tuhan? Allah saja membolehkan sejumlah org tdk puasa, otomatis hak terhadap akses makanan harus dibuka, kita malah bertindak melampaui Tuhan dengan memaksa warung-warung tutup. Sebegitu kecilnyakah nyali Muslim yang puasa menghadapi kepulan asap nasi dan seonggok daging rendang? Jika pemilik warung dg kesadaran agamanya secara sukarela menutup warung di siang hari dan baru buka menjelang buka, itu bagus dan baik-baik saja. Tetapi memaksa warung tutup, apalagi oleh aparat yg bawa pentungan, sama sekali tidak dibenarkan secara agama. Saya ngeri membayangkan kelak ibu-ibu sepuh pemilik warung yang dirampas dagangannya itu kelak di akhirat menuntut keadilan di hadapan Tuhan terhadap penguasa yang semena-mena.
5. Kesimpulan, warung makan tidak harus tutup di siang hari bulan puasa. Mari kita hormati hak mereka yang sedang menjalani rukhsah Tuhan. Ada kaidah fikih berbunyi: “i’malur rukhshah mustahabbun” menjalani rukhshah Tuhan itu dianjurkan. Mari kita yang berpuasa belajar ber-husnud dzon bahwa warung yang buka itu memfasilitasi orang-orang yang sedang menjalani rukhshah Tuhan. Jika secara sukarela tutup, itu baik dan bagus-bagus saja.
Berikut saya posting satu caption dari Tafsir Qurthubi, Juz 2, h. 272. Silakan baca sendiri terusannya, trmasuk jenis safar sekadar menunjukkan keragaman penafsiran ulama tentang orang mustahik rukhsah, dari kriteria berat sampai yang paling enteng.
Wallahu a’lam
M. Kholid Syeirazi, Sekjen Ikatan Sarjana NU (ISNU)