Lebaran tiba. Arus mudik meningkat, para perantau menempuh semacam “ritual” untuk menemui keluarga di kampung halaman. Mudik pun menjadi tampak istimewa karena ia adalah momen usaha menautkan hubungan kembali dengan orang tua dan sanak kerabat.
Telah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia bahwa silaturahmi, baik hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adha, adalah bentuk tradisi yang baik. Setiap orang saling berkunjung, bersalaman dan berbincang setelah sekian lama tak bertemu. Perbincangan pun di luar hal-hal terkait pekerjaan sehari-hari.
Dan rupanya, masyarakat Indonesia juga membiasakan diri untuk saling bermaafan satu sama lain di hari lebaran. Kita tahu, bermaafan itu mestinya bisa dilakukan tiap hari. Mengapa kita membutuhkan momen Idul Fitri sebagai momen saling bermaafan?
Allah memerintahkan kepada umat muslim untuk menjadi umat yang pemaaf:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Jadilah pemaaf, perintahkanlah kepada apa yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang belum mengerti.” (QS. Al-A’raf ayat 199)
Prof. Quraish Shihab menyebutkan dalam Tafsir Al Mishbah terkait ayat di atas, bahwa seorang muslim hendaknya memilih pemaafan, melakukan hal tersebut sebagai aktivitas dan menghiasi diri dengannya, jangan memilih lawannya – yaitu mudah membenci dan tak mudah memberi maaf.
Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa mengapa meminta maaf harus menunda-nunda sampai hari lebaran? Toh minta maaf itu harus disegerakan. Mereka pun berpendapat, ajaran saling meminta maaf pada momen hari raya secara khusus tidak memiliki pijakan jelas dalam hadis-hadis Rasulullah.
Pendapat yang mengatakan ketiadaan dalil untuk saling bermaafan di hari raya, tentu perlu kita hargai. Namun momen saling bermaafan ini, atau dalam budaya kita dinamakan halal bi halal adalah satu kesempatan yang baiknya tidak kita lewatkan.
Mungkin dengan adanya media sosial dan layanan perpesanan, kita mudah saling bermaafan lewat media tersebut, atau mungkin via telepon. Tapi patut Anda sadari, apa hal yang lebih bermakna dari adanya kedua insan yang bisa saling bertemu hanya di momen hari raya, lalu saling bermaafan?
Dalam sebuah hadis, disebutkan:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Artinya: “Tidaklah dua pribadi muslim yang bertemu, lantas saling bersalaman, kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah SWT sebelum mereka berpisah.” (HR. at-Tirmidzi)
Begitu pula dalam hari raya, bersilaturahim diajarkan oleh Nabi. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan dalam Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari bahwa ada riwayat tentang para sahabat Nabi yang saling berjumpa di hari raya. Mereka saling mendoakan satu sama lain dengan taqabbalallahu minna wa minkum.
Selain itu, sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah bersabda bahwa seseorang yang telah berbuat aniaya atau suatu kesalahan kepada saudaranya, hendaknya segera meminta kerelaannya.
Tentu saja bersalaman bukan sekedar jabat tangan, bermaafan alangkah baiknya tak sekedar kata. Jabat tangan disertai maaf, ya, meskipun dicari momennya setahun sekali saat lebaran, tentu diperlukan untuk tetap menjaga kohesi hubungan yang ada antar sesama.
Bermaafan hendaknya tidak hanya di lisan. Ia mesti dilakukan dengan tujuan untuk tidak diulangi kembali di kemudian hari – meskipun sedikit banyak kita tahu, bahwa kesalahan kadang memang mudah terulang lagi. Tapi dengan adanya saling meminta maaf ini, kita pun menjadi menginstropeksi hubungan diri sendiri dengan orang lain.
Tradisi saling bermaafan ini adalah salah satu tradisi khas Indonesia. Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia memasukkannya sebagai salah satu lema. Halal bi halal diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang”.
Ya, tentu saja untuk bisa saling berjumpa, bermaafan, menjalin silaturahmi, memang dianjurkan setiap hari. Adanya ajaran saling bermaafan di hari raya ini tentu bisa menjadi momen saling berjumpa, menghubungkan yang renggang, dan persinggahan untuk menginstropeksi kesalahan kepada sesama yang mungkin telah dilakukan. Hal ini tentu sangat dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.